Kisah Sebatang Kayu



Terdapat sebuah kisah yang sangat mengagumkan yang bisa kita jadikan bahan pelajaran (ibrah), bahan introspeksi diri akan pentingnya menjaga amanah dan kepercayaan (yang kini mulai langka), dan menjaga keimanan terhadap Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Kisah mengenai dua orang Bani Israil ini diceritakan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama sebagai berikut:

-----------------------------------------------------------------


Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya dan al-Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnad-nya dari hadits Abu Hurairah, dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama:

Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallama menyebut-nyebut seorang laki-laki Bani Israil yang meminta kepada seseorang dari Bani Israil lainnya agar meminjaminya seribu dinar. Maka berkatalah si pemilik uang:

“Datangkan saksi untukku, agar aku persaksikan kepada mereka.”

Laki-laki yang meminjam itu berkata: “Cukuplah Allah sebagai saksi.”

Si pemilik uang berkata lagi: “Berikan untukku yang menjamin.”

Orang yang meminjam berkata: “Cukuplah Allah sebagai Penjamin.”

Si pemilik uang pun berkata: “Engkau benar.” Lalu dia menyerahkan uang itu sampai waktu yang telah ditentukan.

Kemudian, si peminjam berlayar dan menyelesaikan urusannya. Setelah itu dia mencari angkutan yang akan membawanya kepada temannya karena waktu yang telah ditentukan (i.e karena waktu pengembalian yang disepakati telah tiba, red). Namun, dia tidak mendapatkannya. Akhirnya dia mengambil sebatang kayu lalu melubanginya dan memasukkan seribu dinar itu ke dalamnya disertai sehelai surat kepada sahabatnya. Kemudian dia perbaiki pecahan lubang (kayu tersebut), lalu dibawanya kayu itu ke laut. Diapun berdoa: “Ya Allah. Sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku pernah meminjam dari si Fulan seribu dinar, lalu dia minta jaminan, maka aku katakan: ‘Cukuplah Allah sebagai Penjamin’ dan diapun ridha Engkau sebagai Penjamin. Diapun minta kepadaku saksi, lalu aku katakan: ‘Cukuplah Allah sebagai saksi’, dan diapun meridhainya. Sesungguhnya aku sudah berusaha sungguh-sungguh mencari kendaraan menyerahkan hak ini kepadanya, namun aku tidak kuasa. Dan saya titipkan uang ini kepada Engkau.”

Si laki-laki itu melemparkan kayu itu hingga masuk ke laut. Kemudian dia pulang dalam keadaan tetap mencari kendaraan untuk menuju negeri sahabatnya. Sementara orang yang meminjamkan uang itu keluar menunggu-nunggu, barangkali ada kendaraan yang membawa hartanya. Ternyata dia hanya menemukan sepotong kayu yang di dalamnya ada harta. Diapun mengambil kayu itu sebagai kayu bakar keluarganya. Setelah dia menggergaji kayu itu, dia dapatkan harta dan sehelai surat.

Kemudian, datanglah orang yang dahulu dipinjaminya uang. Orang itu datang membawa seribu dinar. Dia berkata: “Demi Allah, saya selalu berusaha mencari kendaraan untuk menemui engkau dengan membawa hartamu ini. Tapi saya tidak mendapatkan satu kendaraanpun sebelum saya datang ini.

Si pemilik uang berkata: “Apakah engkau pernah mengirimi saya sesuatu?”

Kata si peminjam itu: “Saya terangkan kepadamu, bahwa saya tidak menemukan kendaraan sebelum saya datang ini.”

Laki-laki pemilik uang itu berkata lagi: “Sesungguhnya Allah telah menunaikan hutangmu, (dengan) harta yang engkau kirimkan dalam sebatang kayu. Silakan kembali dengan seribu dinar (yang engkau bawa, red) itu dengan selamat.”

-----------------------------------------------------------------


Penjelasan Redaktur

Perhatikanlah kata-kata si peminjam. Dengan penuh keyakinan dia mengatakan: “Cukuplah Allah sebagai saksi.” Seolah-olah dia hendak mengingatkan saudaranya, bukankah tidak ada satupun yang tersembunyi bagi Allah? Dia Maha Tahu segala sesuatu yang tampak maupun yang tersembunyi. Maha Menyaksikan segala sesuatu. Dia Menyaksikan keadaan dan perbuatan kita.

Kemudian, simaklah apa yang dikatakan si pemilik uang? Sangsikah dia?. Tidak. Dengan tegas pula dia menerima. Seolah-olah dia hendak menyatakan, bahwa dia menerima Allah sebagai saksi, tapi: “Berikan untukku yang menjamin”, yang akan menjamin harta ini, kalau engkau tidak datang melunasinya.

Laki-laki yang hatinya dipenuhi ta’zhim kepada Allah itu dengan keyakinan penuh kembali mengatakan: “Cukuplah Allah sebagai Penjamin”, seakan dia ingin mengingatkan kembali saudaranya: tidak cukupkah bagimu Allah Rabb semesta alam, Yang Menguasai langit dan bumi sebagai Penjamin bagiku?

Pemilik harta yang hatinya juga berisi ta’zhim kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala ini spontan menerima. Kemudian diapun menyerahkan seribu dinar yang diinginkan saudaranya sampai pada waktu yang telah disepakati.

Setelah itu, berangkatlah laki-laki yang meminjam ini berlayar, memenuhi kebutuhannya. Ketika tiba waktu yang dijanjikan, diapun mencari kapal untuk menemui saudaranya, demi memenuhi janjinya. Sekian lama mencari, dia tak kunjung mendapatkan kapal yang membawanya ke negeri saudaranya. Waktu semakin dekat, angkutan kapal belum juga dia dapatkan. Putus asakah dia, lalu meminta uzur? Ternyata tidak, dia tetap berusaha.

Kesungguhannya untuk menunaikan amanah, dilihat oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala (note: Ini sangat penting. Ketika orang yang dipinjami mengatakan, “Maaf, saya belum bisa mengembalikan pinjaman sesuai waktu yang dijanjikan, saya sudah berusaha namun (ternyata, jumlah harta pengganti) masih belum mencukupi”, maka peminjam yang baik akan mengatakan, “Jika memang itu yang terjadi, maka saya tangguhkan”. Peminjam percaya, memahami dan berhusnuzhan bahwa orang yang dipinjami tersebut berkata jujur, berusaha keras untuk bisa mengumpulkan harta sejumlah pinjaman sebelum jatuh tempo sesuai zhahir ucapannya, berusaha keras untuk meminimasi kebutuhan-kebutuhan sekundernya agar bisa menunaikan kewajibannya mengembalikan harta yang dipinjamnya tersebut, hanya saja belum mencukupi. Akhirnya peminjam hanya bisa menyerahkan sepenuhnya (kesungguhan dan kebenaran itikad) orang yang dipinjami kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala Yang menjadi saksi, Yang Maha Menyaksikan dan Yang Maha Mengetahui isi hati orang yang meminjam. Jika sungguh-sungguh, insyaAllah, Allah Ta’ala akan mempermudah jalannya (untuk melunasi hutang-hutangnya), [redaksi peng-copas]). Sehingga Allah Subhaanahu wa Ta’ala kirimkan kepadanya sepotong kayu yang hanyut dibawa gelombang. Melihat kayu itu, dia segera mengambilnya dan melubanginya. Kemudian seribu dinar milik saudaranya, dia masukkan ke dalam kayu itu disertai sepucuk surat, lalu dia perbaiki.

Kemudian, dia bersimpuh, berbisik di hadapan Rabbnya Yang Maha Tahu lagi Maha Mendengar: “Ya Allah. Sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku pernah meminjam dari si Fulan seribu dinar, lalu dia minta penjamin, maka aku katakan: ‘Cukuplah Allah sebagai Penjamin’ dan diapun ridha Engkau sebagai Penjamin. Diapun minta kepadaku saksi, lalu aku katakan: ‘Cukuplah Allah sebagai saksi’, dan diapun meridhainya. Sesungguhnya aku sudah berusaha sungguh-sungguh mencari kapal menyerahkan hak ini kepadanya, namun aku tidak kuasa. Dan saya titipkan uang ini kepada Engkau.” Setelah selesai, kayu itu dilemparkannya kembali ke laut. Kayupun hanyut bersama gelombang.

Perhatikanlah doa dan apa yang dilakukannya. Betapa tebal keyakinan dan kepercayaannya kepada Allah. Salah satu buah dari tauhid yang sempurna. Kemudian, apakah dia berpangku tangan, merasa sudah cukup dengan tindakan itu? Belum. Dia tetap berusaha mencari kapal. Ingin berangkat sendiri menemui saudaranya guna melunasi pinjamannya. Mengapa dia lakukan demikian? Tidak lain, karena khawatir dia menodai kemuliaan Allah yang telah dia jadikan sebagai saksi dan Penjamin.

Sementara sahabatnya, yang dipinjami, menunggu kedatangannya. Di tepi pantai dia melihat ke laut lepas, mudah-mudahan ada kapal yang datang ke daerahnya. Harap-harap cemas muncul. Ternyata tak ada satupun kapal yang berlabuh. Tapi dia tidak berburuk sangka kepada saudaranya. Mereka telah sepakat Allah menjadi Saksi dan Penjamin. Ketika dia mendekat ke pantai, dia melihat sepotong kayu hanyut ke tepi tempat dia berdiri. Diapun memungut kayu itu dan membawanya pulang untuk jadi kayu bakar bagi keluarganya. Begitu tiba di rumah, dia memotong kayu itu. Ternyata di dalamnya dia lihat uang seribu dinar dan sepucuk surat. Kiranya uang itulah yang ditunggunya, dan surat itu adalah pengganti saudaranya yang tak kunjung hadir. Tak lama, datanglah saudaranya yang meminjam uang seribu dinar, dalam keadaan membawa seribu dinar lainnya sebagai ganti, khawatir kalau-kalau uang itu belum sampai di tangan saudaranya. Ketika dia bermaksud menyerahkan seribu dinar itu, saudaranya yang meminjamkan harta itu bertanya: “Apakah engkau pernah mengirimi saya sesuatu?” Laki-laki yang meminjam itu berkata: “Saya terangkan kepadamu, bahwa saya tidak menemukan kendaraan sebelum saya datang ini.”

Kata si pemilik harta: “Sesungguhnya Allah telah menunaikan hutangmu, (dengan) harta yang engkau kirimkan dalam sebatang kayu. Silakan kembali, dengan seribu dinar itu dengan selamat.”

Sebuah kisah yang menakjubkan. Betapa tidak, di saat kebanyakan manusia lupa dengan amanah yang dipikulnya, menelantarkan hak yang wajib ditunaikannya, kisah ini menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi orang-orang yang mau memperbaiki dirinya.

Di antara faedah hadits ini:

1]. Ilmu tentang Tauhidullah, di mana kedua lelaki ini sama-sama mengetahui Tauhidullah sehingga mendorong keduanya naik ke derajat paling tinggi dalam Ilmu Tauhid, yaitu ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah) melalui nama dan sifat-Nya. Si peminjam berkata: “Cukuplah Allah sebagai saksi... cukuplah Allah sebagai Penjamin.”

2]. Lelaki yang mengatakan: “Cukuplah Allah sebagai saksi... cukuplah Allah sebagai Penjamin.” adalah orang yang shalih. Artinya dia seorang yang ikhlas kepada Allah, mengikuti ajaran Nabi-Nya dalam menaati Allah Subhaanahu wa Ta’ala . Begitu pula dengan si pemilik harta, dia ridha dengan ganjaran dan pahala dari Allah, merasa puas dengan kesaksian Allah dan jaminan-Nya (namun hari ini, banyak kita jumpai orang yang memiliki akhlak seperti itu hanya (berada) di salah satu pihak saja, i.e entah di sisi peminjamnya atau orang yang meminjamnya saja, [redaksi peng-copas], red)

3]. Khasy-yah (rasa takut) kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan ma’rifat yang sempurna tentang Allah Subhaanahu wa Ta’ala mendorong lelaki shalih yang meminjam harta ini memikirkan jalan, bagaimana caranya harta itu sampai di tangan saudaranya karena janji yang telah disepakati.

4]. Rasa puasnya dengan tawakal kepada Allah Allah Subhaanahu wa Ta’ala, sementara hal ini sulit ditemukan pada kebanyakan manusia pada hari ini karena lemahnya iman dan jahilnya mereka tentang nama dan sifat Allah Allah Subhaanahu wa Ta’ala.

5]. Allah sendiri yang memelihara batang kayu itu, karena laki-laki shalih tersebut beramal dengan ucapan para Nabi: “Jagalah Allah, niscaya Dia pasti menjagamu.”

6]. Namun demikian, laki-laki shalih ini tetap menjalankan sebab dengan membawa seribu dinar lain untuk sahabatnya (karena khawatir harta yang ia hanyutkan tidak sampai kepada orang yang dipinjam, red).

7]. Dalam hutang piutang dan pinjam meminjam, saksi dan jaminan termasuk hal-hal yang disyariatkan.

8]. Wajibnya melunasi pinjaman, menepati janji dan tidak menunda-nunda (bila mampu).

Mudah-mudahan kisah singkat ini, menjadi cermin dan teladan bagi orang-orang yang ingin hidupnya berbahagia.

-----------------------------------------------------------------

Akhirnya peng-copas yang dha’if ini berdoa:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ.

“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari (hal yang) menyedihkan dan menyusahkan, lemah dan malas, bakhil dan penakut, lilitan hutang dan penindasan orang.” [HR. Al-Bukhari 7/158]

Sumber: www.asysyariah.com




0 Respones to "Kisah Sebatang Kayu"

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula