Kembali, mari kita baca dan renungi lembaran kisah-kisah
(yang terjadi) di masa lampau sebagai bahan introspeksi diri dan ibrah bagi
orang-orang yang berakal.
Allah Ta’ala berfirman;
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي
الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf: 111)
Dahulu kala, di zaman pemerintahan Abdul Malik bin
Marwan, muncul satu pemberontakan yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Muhammad
bin al-Asy’ats bin Qais al-Kindi. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 82
Hijriyah sebagaimana penuturan al-Waqidi raheemahullaahu; “(Pemberontakannya
dimulai) pada tahun 82 Hijriyah.” Dan al-Hafizh Ibnu Katsir asy-Syafi’I raheemahullaahu
menambahkan; “Ibnu Jarir (ath-Thabariy) menuturkannya pada tahun ini (i.e 82 H)
dan kami menyepakatinya.” [al-Bidayaah wan-Nihayah (12/304-305), cet. Daar
Hijr Li al-Thabaa’ah wa al-Nasyr, Beirut, 1418 هـ]
Penyebabnya adalah tindakan sewenang-wenang dari seorang
gubernur Irak yang bernama Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi terhadap penduduk Irak (biografinya,
kejahataannya yang masyhur diulas secara panjang lebar dalam kitab al-Bidaayah
wan-Nihayah, peristiwa tahun 95 Hijriyah. Silahkan merujuk kesana, red).
Dan Ibnu al-Asy’ats yang berada di bawah komando pasukan al-Hajjaj waktu itu berusaha
menggulingkan kepemimpinan al-Hajjaj yang memang terkenal dzalim tersebut. Dia
menyurati salah seorang tabi’in, al-Muhallab bin Abi Shufrah (al-Muhallab pernah
menjabat sebagai gubernur al-Jazirah pada masa pemerintahan ‘Abdullah bin
Zubair radhiyallaahu ‘anhu pada tahun 68 H, kemudian pada awal pemerintahan
al-Hajjaj dia memerangi Khawarij, red), mengajaknya agar mau bergabung dengan
pasukannya, namun dia menolak. Lalu dia menasihati Ibnu al-Asy’ats melalui
surat yang isinya;
إنك يا ابن الأشعث قد وضعت رجلك في ركاب طويل،
ابق على أمة محمد صلى الله عليه وسلم، انظر إلى نفسك فلا تهلكها، ودماء المسلمين فلا
تسفكها، والجماعة فلا تفرقها، والبيعة فلا تنكثها، فإن قلت أخاف الناس على نفسي فالله
أحق أن تخافه من الناس، فلا تعرضها لله في سفك الدماء، أو استحلال محرم والسلام عليك.
“Wahai Ibnu al-Asy’ats, kamu telah menginjakkan kakimu
di sunggurdi yang panjang. Tetaplah sebagai umat Muhammad Shallallaahu ‘alaihi
wa sallama!, takutlah kepada Allah. Lihatlah dirimu dan jangan merusaknya.
Jangan engkau tumpahkan darah kaum muslimin!, jangan pecah belah persatuan umat
dan jangan rusak baiat!. Bila kamu mengatakan, ‘Aku takut kepada manusia atas
diriku’, maka Allah lebih berhak engkau takuti daripada manusia. Janganlah
engkau menentang Allah dengan menumpahkan darah atau menghalalkan sesuatu yang
diharamkan. Wassalamu ‘alaika.” [Tarikh ath-Thabariy (6/388), al-Bidaayah
wan-Nihayah (12/308), cet. Daar Hijr Li al-Thabaa’ah wa al-Nasyr, Beirut, 1418 هـ]
Namun Ibnu al-Asy’ats tetap kukuh pada pendiriannya
untuk mengkudeta al-Hajjaj yang dzalim, sebagian para fuqaha yang mulia pun ikut
membaiatnya. Akhirnya terjadilah peristiwa yang dikhawatirkan oleh al-Muhallab
sebelumnya, pertumpahan darah antara kubu al-Hajjaj dan Ibnu al-Asy’ats.
Keadaan ini (yakni pertumpahan darah antar kaum muslimin) terus berlangsung hingga
para amir berunding bersama Abdul Malik bin Marwan, khalifah yang memerintah saat
itu. Mereka (para amir, red) mengatakan kepadanya;
إن كان أهل العراق يرضيهم منك أن تعزل عنهم الحجاج
فهو أيسر من قتالهم وسفك دمائهم
“Apabila warga Irak suka bila engkau memecat
al-Hajjaj, ini lebih ringan daripada engkau memerangi mereka dan menumpahkan
darah mereka.”
Lalu Abdul Malik bin Marwan mengirimkan surat kepada penduduk
Irak yang isinya;
إن كان يرضيكم مني عزل الحجاج عنكم عزلته ، وأبقيت عليكم أعطياتكم مثل أهل الشام ،
وليختر ابن
الأشعث أي بلد
شاء يكون عليه أميرا ما عاش وعشت ، وتكون إمرةالعراق لمحمد بن مروان
“Apabila kalian suka apabila aku memecat al-Hajjaj
dari jabatan gubernur Irak, aku akan memecatnya dan tunjangan bagi kalian akan
tetap kuberikan seperti tunjangan kepada warga Syam. Adapun Ibnu al-Asy’ats,
dia boleh memilih negeri mana saja yang dia sukai untuk menjadi gubernurnya
selama dia masih hidup dan selama aku masih hidup, kemudian jabatan gubernur
Irak akan dipegang oleh Muhammad bin Marwan.” Dia juga berpesan;
فإن لم يجب أهل العراق إلى ذلك فالحجاج على ما
هو عليه ، وإليه إمرة الحرب ، ومحمد بن مروان وعبد الله بن عبد الملك في طاعته وتحت
أمره ، لا يخرجون [ ص: 320 ] عن رأيه في الحرب وغيره
“Apabila warga Irak tidak mau dengan tawaran ini, maka
al-Hajjaj tetap menjadi gubernur Irak dan tetap menjadi panglima perang.
Muhammad bin Marwan dan ‘Abdullah bin Abdul Malik harus tetap ta’at kepadanya
dan tidak boleh menentangnya baik dalam (keaadan) perang maupun selain perang.”
[al-Bidaayah wan-Nihayah (12/319-320), cet. Daar Hijr Li al-Thabaa’ah wa
al-Nasyr, Beirut, 1418 هـ]
Namun mereka menolak islah tersebut dan mengatakan;
لا والله لا نقبل ذلك; نحن أكثر عددا وعددا ،
وهم في ضيق من الحال ، وقد حكمنا عليهم وذلوا لنا ، والله لا نجيب إلى ذلك أبدا
“Tidak, demi Allah kami tidak mau menerimanya. Jumlah kita lebih
banyak sementara mereka dalam kesulitan. Kami memutuskan untuk memerangi mereka
dan mereka telah merendahkan diri pada kita. Demi Allah, kami tidak mau
selamanya.” [al-Bidaayah wan-Nihayah (12/321), cet. Daar Hijr Li
al-Thabaa’ah wa al-Nasyr, Beirut, 1418 هـ]
Mereka kembali bersepakat untuk memerangi Abdul Malik
bin Marwan. Namun qadarullah, Allah Ta’ala menakdirkan pasukan al-Hajjaj mampu mengalahkan
pasukan Ibnu al-Asy’ats. Pada peristiwa (pemberontakan) ini, banyak para fuqaha
yang gugur di tangan al-Hajjaj yang keji. Di antaranya adalah Kumail bin Ziyad
bin Nahik bin al-Haitsam an-Nakha’I al-Kufiy, Sa’id bin Jubair, Imran bin Isham
adh-Dhuba’I, ‘Abdurrahman bin Abi Laila, Abu ‘Inabah al-Khaulani, Abu Zur’ah
al-Jaudzami al-Filisthini, ‘Abdullah bin al-Harits an-Naufal dll raheemahumullahu.
Dari kejadian mengerikan di atas dan dari peristiwa-peristiwa
serupa lainnya, para ulama (pada akhirnya) berkonsensus (bersepakat) bahwa melawan
kedzaliman para penguasa dengan jalan “pemberontakan” seperti itu (imma para penguasa
tersebut memperoleh kekuasaannya dengan cara yang bathil seperti kudeta,
demokrasi dll, red) merupakan kesalahan yang fatal dan terlarang dilakukan,
meskipun dahulu sebagian para fuqaha salaf pernah terlibat di dalamnya.
al-Hafizh Ibnu Katsir raheemahullaahu mengatakan dalam
kitabnya tatkala menjelaskan keadaan Ibnu al-Asy’ats;
جب كل العجب من هؤلاء الذين بايعوه بالامارة
وليس من قريش، وإنما هو كندي من اليمن، وقد اجتمع الصحابة يوم السقيفة على أن الامارة
لا تكون إلا في قريش، واحتج عليهم الصديق بالحديث في ذلك، حتى إن الانصار سألوا أن
يكون منهم أمير مع أمير المهاجرين فأبى الصديق عليهم ذلك، ثم مع هذا كله ضرب سعد بن
عبادة الذي دعا إلى ذلك أولا ثم رجع عنه، كما قررنا ذلك فيما تقدم
.فكيف يعمدون
إلى خليفة قد بويع له بالامارة على المسلمين من سنين فيعزلونه وهو من صلبية قريش ويبايعون
لرجل كندي بيعة لم يتفق عليها أهل الحل والعقد ؟ ولهذا لما كانت هذه زلة وفلتة نشأ
بسببها شر كبير هلك فيه خلق كثير فإنا لله وإنا إليه راجعون.
“Yang mengherankan adalah bahwa orang-orang (i.e para
fuqaha Irak) membaiatnya (i.e Ibnu al-Asy’ats) meskipun dia bukan orang
Quraisy, melainkan dari suku Kindah di Yaman. Pada hari as-Saqifah para
shahabat sepakat bahwa kepemimpinan itu harus dipegang oleh orang Quraisy.
Ash-Shiddiq (yakni Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu) berargumen dengan
hadits yang menjelaskannya. Bahkan ketika orang-orang Anshar meminta salah
seorang dari mereka dijadikan pemimpin bersama pemimpin Muhajirin, Abu Bakar
menolaknya, sehingga Sa’ad bin ‘Ubadah yang semula mengusulkan agar orang-orang
Anshar diangkat sebagai pemimpin menarik kembali usulannya, sebagaimana telah
kami uraikan sebelumnya. Maka bagaimana bisa mereka melengserkan Khalifah dari
Quraisy (i.e Abdul Malik bin Marwan) yang telah dibaiat bertahun-tahun oleh
kaum muslimin? Lalu mereka membaiat seorang laki-laki Kindah (i.e Ibnu al-Asy’ats)
yang tidak disepakati oleh Ahlul Halli wa al-Aqdi?. Oleh karena itulah
ketika terjadi kesalahan fatal ini (i.e pemberontakan) maka muncul kekacauan
yang besar dan huru-hara yang menewaskan banyak orang. Fainnalillaahi wa
inna ilaihi raaji'un.” [al-Bidaayah wan Nihayah (12/355), cet. Daar Hijr Li
al-Thabaa’ah wa al-Nasyr, Beirut, 1418 هـ]
Hal lain yang perlu kita ketahui adalah bahwa pemberontakan
itu tidak selamanya atau selalu identik dengan pedang atau senjata saja, ucapan
yang bernada provokasi dalam rangka melawan (meskipun tidak disertai dengan
senjata atau turut serta dalam peperangan, red) yang mengakibatkan tertumpahnya
darah kaum muslimin yang tak berdosa karenanya juga termasuk dalam hal ini,
sebagaimana kisah masyhur yang terdapat dalam hadits Dzul Khuwaisirah. Oleh
karenanya al-Imam asy-Sya’bi raheemahullaahu, seorang ‘alim yang tsiqah yang pada
peristiwa itu berada di pihak Ibnu al-Asy’ats mengakui dengan gentle kesalahannya
(atas provokasi yang pernah ia lakukan, red). Dia berkata;
“Setelah aku masuk aku mengucapkan selamat atas
keberhasilannya (i.e al-Hajjaj), lalu aku berkata, ‘Wahai sang gubernur, sesungguhnya
orang-orang telah memerintahkan aku untuk meminta udzur -maaf- kepadamu dengan
selain apa-apa yang telah diketahui oleh Allah bahwasanya itu benar. Dan demi
Allah dalam kesempatan ini aku tidak mengatakan sesuatu kecuali kebenaran.
Sungguh demi Allah kami telah menentangmu dan memprovokasi (menghasut massa) dan
berusaha dengan penuh kesungguhan maka kami bukanlah orang-orang yang bertakwa
lagi baik, namun bukan pula orang-orang yang keji lagi jahat. Allah telah
memberikan pertolongan kepadamu terhadap kami dan mengaruniakan pertolongan
kepadamu terhadap kami dan mengaruniakan keberuntungan dengan kami. Jika engkau
mendera maka itu karena dosa-dosa kami. Tangan-tangan kami sekali-kali tidak
pernah menyentuhmu. Dan jika engkau memaafkan kami maka itu karena kemurahan
hatimu. Selanjutnya bagimulah bukti dan alasan terhadap kami.’” [al-Bidaayah
wan-Nihaayah (12/341), cet. Daar Hijr Li al-Thabaa’ah wa al-Nasyr, Beirut, 1418
هـ]
Akhirnya, mari kita dengarkan dengan hati yang ikhlas,
pikiran yang tenang (tanpa emosi) sembari memohon petunjuk kepada Allah ‘Azza
wa Jall petuah dari al-Hafizh al-Mujahhid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
raheemahullaahu berikut;
أن الله تعالى بعث محمدا صلى الله عليه وسلم
بصلاح العباد في المعاش والمعاد وأنه أمر بالصلاح ونهى عن الفساد فإذا كان الفعل فيه
صلاح وفساد رجحوا الراجح منهما فإذا كان صلاحه أكثر من فساده رجحوا فعله وإن كان فساده
أكثر من صلاحه رجحوا تركه فإن الله تعالى بعث رسوله صلى الله عليه وسلم بتحصيل المصالح
وتكميلها وتعطيل المفاسد وتقليلها فإذا تولى خليفة من الخلفاء كيزيد وعبد الملك والمنصور
وغيرهم فإما أن يقال يجب منعه من الولاية وقتاله حتى يولى غيره كما يفعله من يرى السيف
فهذا رأى فاسد فإن مفسدة هذا أعظم من مصلحته وقل من خرج على إمام ذي سلطان إلا كان
ما تولد على فعله من الشر أعظم مما تولد من الخير كالذين خرجوا على يزيد بالمدينة وكابن
الأشعث الذي خرج على عبد الملك بالعراق وكابن المهلب الذي خرج على ابنه بخراسان وكأبي
مسلم صاحب الدعوة الذي خرد عليهم بخراسان أيضا وكالذين خرجوا على المنصور بالمدينة
والبصرة وأمثال هؤلاء وغاية هؤلاء إما أن يغلبوا وإما أن يغلبوا ثم يزول ملكهم فلا
يكون لهم عاقبة فإن عبد الله بن علي وأبا مسلم هما اللذان قتلا خلقا كثيرا وكلاهما
قتله أبو جعفر المنصور وأما أهل الحرة وابن الأشعث وابن المهلب وغيرهم فهزموا وهزم
أصحابهم فلا أقاموا دينا ولا أبقوا دنيا والله تعالى لا يأمر بأمر لا يحصل به صلاح
الدين ولا صلاح الدنيا وإن كان فاعل ذلك من أولياء الله المتقين ومن أهل الجنة
“Bahwa Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallama demi kemaslahatan para hamba di kehidupan dunia dan akhirat,
dan bahwa beliau memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kerusakan,
maka apabila dalam satu perbuatan terdapat kebaikan dan kerusakan, hendaklah
kaum muslimin mengambil mana yang paling kuat dari keduanya; jika kebaikannya
lebih banyak dari kerusakannya, hendaklah mereka melakukannya. Namun apabila
kerusakannya lebih banyak dari kebaikannya, hendaklah mereka meninggalkannya,
karena sesungguhnya Allah Ta’ala mengutus Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallama untuk menghasilkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta
menghilangkan kemudaratan dan menguranginya.
Maka, jika yang berkuasa dari kalangan khalifah (yang
tidak lebih pantas) seperti Yazid, Abdul Malik, Al-Manshur dan selain mereka;
bisa jadi dikatakan bahwa wajib mencopotnya dan memeranginya sampai ia lengser
dan digantikan oleh yang lainnya, sebagaimana yang dilakukan oleh mereka yang
berpendapat bolehnya pemberontakan, maka ini adalah pendapat yang rusak, karena
sungguh kerusakannya lebih besar dari kemaslahatannya.
Dan pada umumnya, tidaklah mereka memberontak kepada
penguasa kecuali timbul kejelekan yang lebih besar dibanding kebaikan, seperti
mereka yang memberontak kepada Yazid di Madinah, pemberontakan Ibnul ‘Asy’ats
terhadap Abdul Malik di Iraq, pemberontakan Ibnul Mulhab terhadap anaknya Abdul
Malik di Khurasan, pemberontakan Abu Muslim yang menyerukan pemberontakan
terhadap penguasa di Khurasan, juga pemberontakan terhadap Al-Manshur di
Madinah dan Bashroh dan yang semisalnya, pada akhirnya dua kemungkinan, mereka
dikalahkan atau mereka menang lalu berakhir kekuasaan penguasa sebelumnya,
namun yang terjadi adalah tidak ada hasil yang baik bagi para pemberontak
tersebut.
Abdullah bin Ali dan Abu Muslim yang melakukan
pemberontakan dengan membunuh banyak orang akhirnya keduanya dibunuh oleh Abu
Ja’far Al-Manshur, adapun penduduk Al-Harah, Ibnul Asy’ats, Ibnul Mulhab dan
selain mereka akhirnya menderita kekalahan, demikian pula pasukan-pasukannya,
sehingga mereka tidaklah menegakkan agama dan tidak pula menyisakan dunia,
padahal Allah Ta’ala tidak memerintahkan suatu perkara yang tidak menghasilkan
kebaikan bagi agama ataupun dunia, meskipun yang memberontak itu dari kalangan
wali Allah yang bertakwa dan termasuk penduduk surga (perbuatan mereka tidak
dapat dibenarkan).” [Minhaajus Sunnah, 4/313-315, terjemah; al-Ustadz Sufyan
Chalid]
Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu,..