Siapa yang tak kenal “al-Khulafa
ar-Rasyidin al-Mahdiyyin”, i.e para pemimpin kaum muslimin yang terbimbing (di
atas Kitabullah wa sunnatu ar-Rasul Shallallaahu ‘alaihi wa sallama); Abu Bakar
as-Shiddiq, ‘Umar bin Khaththab, ‘Ustman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib –radhiyallaahu
Ta’ala ‘anhum-?. Adakah orang-orang sekaliber mereka di zaman ini?. Atau siapa
yang tak pernah mendengar amirul mukminin Umar bin ‘Abdul ‘Aziz –raheemahullaahu Ta’ala-?.
Tidak ada seorang pun yang
sepadan atau setara dengan mereka dalam keimanan, ketakwaan, ilmu, tawadhu’, wara’,
zuhud, qana’ah, keadilan, jihad, dan seterusnya yang hidup di zaman ini atau
setelahnya. Meskipun demikian, kita semua tetap berdoa dan berharap mudah-mudahan
Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk dan kekuatan kepada para pemimpin (dari
kalangan kaum muslimin yang sedang berkuasa di seluruh belahan negeri saat ini,
red) agar mereka mampu mengikuti jejak-jejak para pendahulu mereka yang shalih
tersebut dalam kebaikan dan takwa, amieen.
وعن عوف
بن مالك رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((خيار أئمتكم
الذين تحبونهم ويحبونكم، وتصلون
عليهم ويصلون عليكم، وشرار
أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم، وتلعنونهم ويلعنونكم!)) قال: قلنا: أي رسول
الله، أفلا ننابذهم؟ قال: لا، ما أقاموا فيكم الصلاة، لا، ما أقاموا فيكم الصلاة))
رواه مسلم.
Dari ‘Auf bin Malik
radhiyallaahu ‘anhu dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa sallama bersabda, ‘Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian
cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan
kalian. Dan sejahat-jahatnya pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan
yang membenci kalian, kalian mengutuk mereka dan mereka mengutuk kalian.’ ‘Auf
berkata, ‘Kami bertanya wahai Rasulullah, Bolehkah kami melawan (baca:
memerangi) mereka?’, Beliau menjawab, ‘Tidak, selama mereka masih menegakkan
shalat.’” [HR. Muslim, no. 1855]
al-‘Allamah asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1421 H)
menjelaskan; “Sabda beliau, ‘kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan
kalian.’ Lafazh ash-Shalat (الصلاة) di sini maknanya adalah doa, yakni kalian
mendoakan mereka agar Allah memberikan hidayah kepada mereka, memperbaiki
orang-orang kepercayaan mereka, memberi taufik kepada mereka agar berlaku adil
dan doa-doa lain yang mengandung kebaikan bagi pemimpin. Mereka juga mendoakan
kalian dengan mengatakan, ‘Ya Allah, perbaikilah rakyat kami. Ya Allah,
jadikanlah mereka sebagai orang-orang yang melaksanakan perintah-perintah kami.’
Dan lain sebagainya.” [Syarh
Riyadhus Shaalihin, 3/647-648, Daar al-Wathan Lin-Nashr, Riyadh]
Salah satu pemimpin teladan
ummat yang akan kami nukilkan ucapan-ucapannya dalam artikel kali ini adalah
Amirul Mukminin yang mulia, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz –raheemahullaahu Ta’ala- (w.
101 H), terkhusus pidato-pidato beliau pasca ia terpilih sebagai khalifah yang menggantikan
pemimpin kaum muslimin sebelumnya, Sulaiman bin ‘Abdul Malik –raheemahullaahu Ta’ala-.
Siapakah beliau ini?
هُوَ
عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ بْنِ أَبِي الْعاصِ
بْنِ أُمَيَّةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسِ بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ أَبُو حَفْصٍ الْقُرَشِيُّ
الْأُمَوِيُّ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ .كَانَ عُمَرُ تَابِعِيًّا جَلِيلًا، رَوَى عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ،
وَالسَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، وَيُوسُفَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ،
وَيُوسُفُ صَحَابِيٌّ صَغِيرٌ. وَرَوَى عَنْ خَلْقٍ مِنَ التَّابِعِينَ. وَعَنْهُ جَمَاعَةٌ مِنَ التَّابِعِينَ وَغَيْرِهِمْ.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: لَا أَرَى قَوْلَ أَحَدٍ مِنَ
التَّابِعِينَ حُجَّةً إِلَّا قَوْلَ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ.
Ia adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
bin Marwan bin al-Hakam bin Abu al-Ash bin Umayyah bin ‘Abdu Syam bin ‘Abdu
Manaf, Abu Hafsh al-Qurasyi al-Umawi, Amirul Mukminin. Umar adalah seorang tabi’in
yang mulia, ia meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik, as-Saib bin Yazid, dan
Yusuf bin Abdullah bin Salam –radhiyallaahu ‘anhum-, Yusuf ini adalah sahabat
Yunior. Dan ia meriwayatkan dari banyak tabi’in, dan banyak juga yang
meriwayatkan darinya dari tabi’in dan lainnya. al-Imam Ahmad bin Hambal berkata
(Sirah Umar, al-Hafizh Ibn al-Jawzee, pg. 73), “Aku tidak melihat
perkataan seorang tabi’in pun sebagai hujjah kecuali perkataan Umar bin Abdul
Aziz.” [al-Bidayah
wan-Nihayah, 12/676-677, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul
Muhsin at-Turkiy]
Berkata al-Imam Ahmad (diriwayatkan
oleh al-Hafizh Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 13/287, red) mengatakan dari
‘Abdurrazzaq, dari ayahnya, dari Wahb bin Munabbih, bahwa ia berkata, “Jika di
kalangan umat ini ada seorang mahdi (imam yang terbimbing/ diberikan petunjuk,
red), maka dia adalah Umar bin Abdul Aziz.” Serupa dengan hal ini juga
dikatakan oleh Qatadah, Sa’id bin al-Musayyab dan lebih dari satu orang
lainnya.
Malik (diriwayatkan oleh
al-Hafizh Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 13/287, red) mengatakan, dari
Abdurrahman bin Harmalah, dari Sa’id bin al-Musayyab, bahwa ia berkata, “Para
khalifah adalah Abu Bakar dan dua Umar.” Lalu dikatakan kepadanya, “Abu Bakar
dan Umar telah aku ketahui, lalu siapa Umar yang lainnya?”. Ia berkata, “Jika
engkau masih hidup, engkau akan mengetahuinya.” Maksudnya adalah Umar bin Abdul
Aziz.
Demikian juga yang
diriwayatkan dari Abu Bakar bin Ayyasy, asy-Syafi’i dan lebih dari satu orang
lainnya (diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq,
13/287, red). Para ulama bersepakat secara mutlak, bahwa ia (Umar bin Abdul
Aziz) termasuk para imam yang adil, salah seorang al-Khulafa ar-Rasyidin dan
salah seorang imam yang mendapatkan petunjuk (al-Mahdi). Disebutkan oleh lebih
dari seorang bahwa ia termasuk kedua belas imam yang disebutkan di dalam hadits
shahih. [al-Bidayah
wan-Nihayah, 12/695-696, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul
Muhsin at-Turkiy]
Berikut adalah kutipan pidato-pidato
amirul mukminin Umar bin ‘Abdul Aziz –raheemahullaahu Ta’ala- yang kami ambil
dari kitab al-Bidayah wan-Nihayah karya ulama ahlut tarikh, tafsir dan hadits, al-Imam
al-Hafizh Abul Fida’ Isma’il bin Katsir ad-Dimasyqi asy-Syafi’i –raheemahullaahu
Ta’ala- (w. 774 H)
[1]. Az-Zubair
bin Bakkar (Tarikh Dimasyq, 13/277) berkata, “Muhammad bin Salam
menceritakan kepadaku, dari Sallam bin Sulaim, ia berkata, ‘Ketika Umar bin
Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah ia naik mimbar, dan pidato pertama yang
disampaikannya, ia memanjatkan puja dan puji kepada Allah, kemudian berkata; “Saudara-saudara,
barangsiapa menyertai kami maka silahkan menyertai kami dengan lima syarat,
jika tidak maka silahkan meninggalkan kami; (yakni) Menyampaikan kepada kami
keperluan orang-orang yang tidak dapat menyampaikannya, membantu kami atas kebaikan
dengan upayanya, menunjuki kami dari kebaikan kepada apa yang kami tidak dapat
menuju kepadanya, dan jangan menggunjingkan rakyat di hadapan kami serta jangan
membuat-buat hal yang tidak berguna.” Maka para penyair dan para orator pun
menghilang darinya, lalu tinggal bersamanya para ahli fikih dan para zuhud.
Dan mereka berkata, “Kami tidak akan meninggalkan orang ini hingga perbuatannya
menyelisihi ucapannya.”’ [al-Bidayah
wan-Nihayah, 12/691, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul
Muhsin at-Turkiy]
Kira-kira seperti apa ya orasi
pertama yang disampaikan para pemimpin masa kini ketika ia terpilih menjadi seorang
pemimpin yang membawahi suatu teritorry (wilayah)?, wallaahu a’lam. Apapun itu,
tetap tidak bisa dibandingkan dengan amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz –raheemahullaahu
Ta’ala-.
[2]. Yang
lainnya (Tarikh Dimasyq, 13/279) berkata, “Pada suatu hari Umar bin
Abdul Aziz menyampaikan pidato kepada masyarakat, ia berkata (yang mana ia
telah menghimpun ibrah –pelajaran-), ‘Saudara-saudara, perbaikilah akhirat
kalian niscaya dunia kalian akan baik bagi kalian, dan perbaikilah hal-hal yang
tersembunyi dari kalian niscaya hal-hal yang terbuka dari kalian akan baik bagi
kalian. Demi Allah, sesungguhnya seorang hamba itu, tidak ada lagi bapak di
antara dirinya dan Adam kecuali telah mati, sesungguhnya ia benar-benar terkait
dengan kematian.’”
Pada sebagian pidatonya (Tarikh
Dimasyq, 13/279) ia mengatakan, “Berapa banyak pemakmur (dunia) yang takjub
dengan sesuatu yang sedikit yang akan hancur, dan berapa banyak orang yang
tinggal yang terpedaya oleh sesuatu yang sedikit yang akan sirna. Maka
perbaikilah perjalanan, semoga Allah merahmati kalian, dari dunia dengan
sebaik-baik apa yang dimiliki dengan kehadiran kalian yang berupa tunggangannya
(i.e amal shalih). Karena ketika anak Adam di dunia bersaing di dunia dengan
senang dan bahagia, tiba-tiba Allah memanggilnya (i.e mematikannya) dengan
takdir-Nya, dan melemparnya dengan satu hari yang menghentikannya, lalu
merampas jejak-jejaknya dan dunianya, lalu menjadikannya milik orang lain,
semua hasil pekerjaannya dan penghasilannya. Sesungguhnya dunia itu tidak
senang dengan takdir yang membahayakan, karena hanya bisa senang sebentar namun
sedih berkepanjangan.” [al-Bidayah
wan-Nihayah, 12/692, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul
Muhsin at-Turkiy]
[3]. Isma’il
bin Ayyasy (Tarikh Dimasyq, 13/279) mengatakan, dari ‘Amr bin Muhajir,
Ia berkata, “Ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat khalifah, ia berdiri di depan
khalayak, lalu ia memanjatkan puja dan puji kepada Allah kemudian berkata, ‘Saudara-saudara,
sesungguhnya tidak ada Kitab setelah al-Qur’an dan tidak ada Nabi setelah
Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Sesungguhnya aku bukanlah seorang
penentu, akan tetapi seorang pelaksana, dan sesungguhnya aku bukan seorang yang
mengada-ada akan tetapi seorang pengikut. Sesungguhnya orang yang melarikan
diri dari seorang imam yang zhalim bukanlah seorang yang zhalim. Ingatlah,
sesungguhnya imam yang zhalim adalah orang yang bermaksiat. Ingatlah, tidak ada
ketaatan terhadap makhluk dalam bermaksiat terhadap Sang Pencipta Azza wa Jall.’”
Di dalam riwayat yang
lainnya (Tarikh Dimasyq, 13/279), bahwa di dalam pidato ini ia
mengatakan, “Dan sesungguhnya aku bukanlah seseorang yang lebih baik dari
seseorang dari kalian, akan tetapi aku adalah orang yang paling berat
menanggung beban. Ingatlah, tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam
bermaksiat terhadap Allah. Ingatlah, bukankah aku telah memperdengarkan?”. [al-Bidayah wan-Nihayah, 12/692-693,
Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy]
Ucapan beliau –raheemahullaahu
Ta’ala- sejalan dengan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama
berikut;
وعن ابن
عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((على المرء المسلم السمعُ
والطاعة فيما أحب وكره، إلا أن يؤمر بمعصيةٍ فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة))
متفقٌ عليه.
Dari Ibnu ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama beliau
bersabda, “Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat kepada pemimpin,
baik dalam hal yang dia sukai atau tidak, kecuali dia diperintah untuk
bermaksiat, maka apabila diperintah untuk bermaksiat tidak wajib mendengar dan
tidak wajib taat.” [HR. al-Bukhari, no. 6955, 7144 dan Muslim, no. 1839]
[4]. Jika
poin yang ke-1 berisi nukilan pidato Umar bin Abdul Aziz yang pertama (pasca
terpilihnya beliau sebagai khalifah, red), maka poin yang ke-4 ini adalah
pidato beliau yang terakhir. Ahmad bin Marwan (Tarikh Dimasyq, 13/279)
berkata, “Ahmad bin Yahya al-Halwani meneritakan kepada kami, Muhammad bin
Ubaid menceritakan kepada kami, Ishaq bin Sulaiman menceritakan kepada kami,
dari Syu’aib bin Shafwan, seorang anak Sa’id bin al-Ash menceritakan kepadaku,
ia berkata, ‘Khutbah terakhir yang disampaikan oleh Umar bin Abdul Aziz, ia
memanjatkan puja dan puji kepada Allah, kemudian berkata;
Amma ba’du. Sesungguhnya
kalian tidak diciptakan dengan sia-sia, dan tidak akan dibiarkan begitu saja.
Dan sesungguhnya kalian mempunyai tempat kembali, dimana Allah menempatkan
kalian di dalamnya untuk mengadili kalian dan memberi keputusan di antara kalian,
maka sungguh telah gagal dan merugi orang yang keluar dari rahmat Allah dan
diharamkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.
Tidaklah kalian tahu bahwa
esok tidak ada yang aman kecuali sekarang waspada terhadap Hari Akhir dan
merasa takut akan hal itu, menjual yang fana dengan yang abadi, yang sedikit
dengan yang banyak dan rasa takut dengan rasa aman?, Tidakkah kalian lihat
bahwa kalian berasal dari rangkaian orang-orang yang telah binasa, dan (orang-orang)
setelah kalian, akan menjadi mereka yang masih tersisa, demikian seterusnya,
hingga kita dikembalikan kepada sebaik-baik pewaris. Kemudian sesungguhnya
kalian setiap hari melepas kepergian orang yang pergi di pagi dan sore hari
kepada Allah, yaitu yang telah tiba ajalnya, hingga kalian menghilangkannya di
lubang bumi, di dalam perut lubang tanpa (adanya) bantal maupun alas. Ia telah
meninggalkan orang-orang yang disayangi, bersentuhan dengan tanah dan
menghadapi hisab, maka ia tergadai dengan amalnya, tidak lagi membutuhkan apa
yang ditinggalkannya, ia membutuhkan apa yang telah dipersembahkan (kepada
Allah Ta’ala, red). Karena itu, bertakwalah kalian kepada Allah sebelum
berakhirnya pengawasan-Nya dan turunnya kematian kepada kalian. Sungguh aku
mengatakan ini.’ Kemudian menutupkan ujung sorbannya ke wajahnya lalu menangis,
maka menangis pula orang-orang di sekitarnya.”
Di dalam riwayat lain (Tarikh
Dimasyq, 13/280) disebutkan, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar
mengatakan perkataanku ini dalam keadaan aku tidak tahu bahwa seseorang dari
kalian memiliki dosa-dosa yang lebih besar dari apa yang aku ketahui pada
diriku, akan tetapi sesungguhnya itu adalah sunnah-sunnah yang adil dari Allah;
di dalamnya Allah memerintahkan untuk mentaati-Nya dan melarang bermaksiat
terhadapnya.” Lalu ia beristighfar kepada Allah, kemudian menutupkan kain
lengan bajunya pada wajahnya lalu menangis hingga membasahi jenggotnya. Ia
tidak kembali ke tempat duduknya (tempat ia berkhutbah, red) hingga meninggal,
semoga Allah merahmatinya. [al-Bidayah
wan-Nihayah, 12/693-694, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul
Muhsin at-Turkiy]
Terakhir, perkataan amirul
mukminin yang mulia Umar bin Abdul Aziz berikut ini perlu kita resapi bersama, khususnya oleh mereka yang saat ini memegang amanah untuk memimpin atau memegang urusan umat
(rakyat), terlebih-lebih lagi bagi mereka (para pemimpin, red) yang memiliki
background pendidikan agama yang “mumpuni” (i.e kalangan agamawan, red). Please
listen this carefully!.
Istri beliau –raheemahullaahu
Ta’ala-, Fathimah binti Abdul Malik bin Marwan (Tarikh Dimasyq, al-Hafizh
Ibn Asakir, 13/2941) berkata, “Pada suatu hari aku masuk, saat itu ia
sedang duduk di tempat shalatnya sambil menopangkan pipinya pada tangannya,
sementara air matanya bercucuran di kedua pipinya, maka aku berkata, ‘Ada apa
denganmu?’, ia berkata, ‘Kasihan engkau wahai Fathimah, aku ini telah memegang
urusan umat ini, maka aku memikirkan orang fakir yang kelaparan, orang sakit
yang tidak diurus, orang yang tidak memiliki pakaian yang kesulitan, anak yatim
yang tidak dirawat, para janda yang sendirian (tidak ada yang membiayai), orang
yang dizhalimi yang tidak dapat menuntut haknya, orang asing, tawanan, orang
yang sudah tua renta, orang yang memiliki banyak keluarga namun hartanya
sedikit, dan sebagainya di seluruh penjuru bumi dan di seluruh penjuru negeri. Maka aku tahu, bahwa Rabbku ‘Azza wa Jall akan meminta
pertanggungjawabanku mengenai mereka pada hari kiamat nanti, dan bahwa lawanku
dibalik mereka adalah Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Maka aku takut
tidak memiliki hujjah (alasan) saat aku dituntut, maka aku kasihan terhadap
diriku, maka aku pun menangis.” [al-Bidayah wan-Nihayah, 12/697, Daar Hijr Lit-Thaba’ah,
tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy]
Adalah beliau –raheemahullaahu
Ta’ala-, seorang amirul mukminin yang mengikuti jejak para pendahulunya yang
shalih seperti Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khaththab, ‘Ustman bin ‘Affan dan
‘Ali bin Abi Thalib –radhiyallaahu Ta’ala ‘anhum- dalam perkara zuhud terhadap dunia.
Beliau benar-benar sangat sederhana dan qana’ah. Seandainya beliau hidup di
zaman ini, barangkali beliau adalah seorang pemimpin kaum muslimin yang paling
miskin sejagad, jauh lebih miskin dari seorang Gubernur, Camat, Lurah even
ketua RW sekalipun (note: barangkali sebagian orang akan menganggap perbandingan
ini sebagai sesuatu yang “lebay”, tapi simaklah fakta berikut!).
Malik bin Dinar (Tarikh
Dimasyq, 13/297) berkata, “Mereka mengatakan bahwa ‘Malik (i.e dia sendiri,
red) adalah seseorang yang zuhud’. Menurutku (Malik), zuhud apanya.
Sesungguhnya orang zuhud adalah Umar bin Abdul Aziz. Datang keduniaan kepadanya
dengan melimpah ruah, namun ia meninggalkannya.” Mereka berkata, “Ia hanya
memiliki satu gamis, bila mereka mencucinya, ia tinggal di rumah hingga kering.”
Mereka berkata (Tarikh
Dimasyq, 13/300), “Pada suatu hari ia masuk ke tempat isterinya, lalu ia
memintanya untuk meminjami satu dirham, atau uang untuk membeli anggur, namun
isterinya tidak menemukan apapun, maka ia (sang istri, red) berkata kepadanya, ‘Engkau
adalah Amirul Mukminin, namun dalam pundimu tidak terdapat sesuatu yang
mencukupi untuk membeli anggur?!, Umar berkata, ‘Ini lebih ringan daripada
menguraikan belenggu-belenggu di neraka Jahannam esok.’” [al-Bidayah wan-Nihayah, 12/697, Daar
Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy]
Semoga Allah Azza wa Jall
menempatkan beliau –raheemahullaahu Ta’ala- ke dalam Jannah-Nya yang tertinggi
(i.e Firdaus), amieen. Mudah-mudahan bermanfaat, Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala
a’lamu.