Kemarin siang (Senin, 23/01/12) saya mendapatkan SMS dari kawan saya. Dia bekerja di Semarang, Jawa Tengah. Dahulu kami pernah bekerja di perusahaan yang sama di Jakarta i.e vendor telekomunikasi asing, kami masuk di waktu yang sama dan resign pada waktu yang hampir bersamaan pula. Ketika masih menjadi “fellow workers”, kami sering berdiskusi dan berbicara banyak hal, baik yang terkait dengan pekerjaan ataupun hal-hal lainnya. Walhamdulilah, tali silaturahmi tersebut masih tetap terjalin hingga hari ini.
Kebetulan cuaca siang itu agak cerah sehingga saya bisa menyempatkan diri berkunjung ke rumahnya di daerah Jatihandap, Cicaheum, Bandung. Setiap kali bertemu, tema obrolan kami tidak pernah jauh dari masalah pekerjaan karena kebetulan bidangnya sama i.e telekomunikasi. Diskusi kami sempat terhenti sebentar ketika kawan saya harus menerima telepon dari seseorang. Setelah hajatnya selesai, ia pun bercerita bahwa ia baru saja mendapatkan telepon dari sahabatnya (tepatnya, dari adik sahabatnya, red). Diceritakan bahwa semenjak lulus kuliah dari jurusan Teknik Mesin tiga tahun yang lalu, ia belum pernah mendapatkan pekerjaan. Dua tahun sebelumnya, ia pernah mengalami musibah (i.e kecelakaan hebat) yang membuat lengan kirinya cacat seumur hidup. Kejadian tersebut katanya sempat membuatnya frustasi, namun pada akhirnya ia mampu bangkit kembali. Mungkin karena kondisi fisiknya yang tidak lagi sempurna, ia memutuskan untuk berbisnis (i.e jualan baju batik) di kampung halamannya di Pekalongan, Jawa Tengah sana. Namun ujian dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala ternyata belum usai, usahanya tidak berjalan sesuai harapan hingga hari ini.
Kemudian saya bilang kepada kawan saya, “Ternyata ujian yang saya hadapi selama ini jauh lebih ringan dibandingkan dengan apa yang menimpa dirinya (i.e terkait urusan dunia). Saya diberikan badan yang sehat alhamdulillah, sedangkan Allah mengujinya dengan badan yang cacat. Allah memang pernah menguji saya dengan ketidakjelasan pekerjaan (baca: menganggur) namun tidak pernah lama, adapun dia, harus menunggu lebih dari tiga tahun untuk bangkit dari keterpurukan, kemudian harus berjuang mempertahankan eksistensinya.”
Kemudian kawan saya berujar (secara maknawi bahwa), “Roda memang selalu berputar. Adakalanya diatas, adakalanya dibawah. Jatuh itu memang rasanya menyakitkan, tidak ada bedanya antara orang yang jatuh sekali dengan orang yang jatuh berkali-kali dalam hal ini (i.e mereka tetap sama-sama merasakan sakit, red). Namun secara psikologis (biasanya) orang yang jatuh berkali-kali itu lebih tahan banting dibandingkan orang yang jatuh hanya sesekali karena mereka sudah terbiasa dengan kondisi tersebut. (Di dunia) orang mendapatkan kesulitan/ ujian itu pasti, namun merasakan kebahagiaan dan ketenangan hidup itu belum tentu.”
Kalau disuruh memilih antara mendengarkan kisah orang-orang bawah atau cerita sukses orang-orang atas, saya (penulis) lebih memilih mendengarkan kisah perjuangan saudara-saudara kita yang serba susah dan kekurangan yang hidupnya hanya berputar-putar pada pilihan hidup sederhana dan apa adanya (terpaksa maupun tidak terpaksa, red) daripada mendengarkan cerita sukses nan heroic dari kawan-kawan sejawat mengenai karir professionalnya maupun kerajaan businessnya. Bukan karena sok sederhana, atau sok-sokan gak mau sukses, tapi saya merasa lebih tenang, lebih adem dan lebih bisa merasakan nikmatnya hidup (yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikan sampai hari ini) dengan berkaca melalui mereka. Ucapan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama memang tidak pernah salah, beliau bersabda:
انظروا إلى من هو أسفل منكم. ولا تنظروا إلى من هو فوقكم؛ فهو أجدر أن لا تَزْدروا نعمة الله عليكم
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian dan jangan melihat orang yang lebih di atas kalian. Yang demikian ini (melihat ke bawah) akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.” (HR. Muslim)
Dan itu pasti terbukti!. Sebenarnya pilihan kita hanya berkisar di dua hal (dalam hidup), i.e mensyukuri nikmat dan bersabar. Jika kita memilih sebaliknya i.e kufur dan putus asa/ mengeluh, sudah pasti tidak akan membuat kita lebih baik. Jadi suka atau tidak suka, dua pilihan diatas lah yang paling menguntungkan bagi seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ (5
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang penyabar lagi banyak bersyukur.” (QS. Ibrahim: 5)
Berkata asy-Syaikh as-Sa’dy –raheemahullaahu- ketika menjelaskan makna ayat: لآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
أي: صبار في الضراء والعسر والضيق، شكور على السراء والنعمة فإنه يستدل بأيامه على كمال قدرته وعميم إحسانه، وتمام عدله وحكمته،.
“Yaitu orang yang sangat sabar terhadap kesengsaraan, kesulitan, dan himpitan hidup, bersyukur atas kesenangan dan kenikmatanNya. Sesungguhnya kejadian-kejadian (yang telah Allah tentukan) bisa dijadikan bukti kesempurnaan kekuasaanNya dan luasnya kebaikanNya serta paripurnanya sifat keadilan dan kebijaksanaanNya.” (Taisir al-Kareem ar-Rahman vol. 4, juz. 13)
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ (7
“Dan (ingatlah juga) tatkala Rabbmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya azabKu sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Asy-Syaikh as-Sa’dy –raheemahullaahu- menjelaskan dalam tafsirnya;
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ) أي: أعلم ووعد، ( لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ) من نعمي ( وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ) ومن ذلك أن يزيل عنهم النعمة التي أنعم بها عليهم والشكر: هو اعتراف القلب بنعم الله والثناء على الله بها وصرفها في مرضاة الله تعالى. وكفر النعمة ضد ذلك.
“) وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ ) ‘Dan (ingatlah juga) tatkala Rabbmu memaklumkan’, maksudnya memberitahukan dan menjanjikan. ( لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ) ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu’ dari nikmat-nikmatKu, ( وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ) ‘dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya azabKu sangat pedih’, dan diantara bentuk siksaNya adalah Allah akan melenyapkan nikmat yang telah Allah curahkan dari mereka. Bersyukur hakikatnya pengakuan hati terhadap nikmat-nikmat Allah dan menyanjung Allah karenanya, serta mempergunakanNya dalam keridhaan Allah Ta’ala. Sementara pengingkaran terhadap nikmat Allah mempunyai pengertian yang berlawanan dengannya.” (Taisir al-Kareem ar-Rahman vol. 4, juz. 13)
Dijelaskan diatas bahwa konsekuensi dari sikap tidak bersyukurnya seorang hamba kepada Allah adalah dilenyapkannya nikmat-nikmat tersebut dari mereka. Belum lagi ancaman berupa adzab yang pedih dari Allah Ta’ala. Bukankah ini pilihan yang pahit?. Bagaimana jika ujian hidup tersebut tidak kita hadapi dengan kesabaran?. Kembali asy-Syaikh as-Sa’dy –raheemahullaahu- menjelaskan:
فالجازع, حصلت له المصيبتان, فوات المحبوب, وهو وجود هذه المصيبة، وفوات ما هو أعظم منها, وهو الأجر بامتثال أمر الله بالصبر، ففاز بالخسارة والحرمان, ونقص ما معه من الإيمان، وفاته الصبر والرضا والشكران, وحصل [له] السخط الدال على شدة النقصان.
“Orang yang tidak sabar mendapatkan dua musibah, hilangnya sesuatu yang dikasihi yaitu adanya musibah tersebut, dan hilangnya sesuatu yang lebih besar dari sesuatu yang pertama, yaitu pahala dengan menunaikan perintah Allah yaitu bersabar, akhirnya dia memperoleh kerugian dan kehampaan serta kekurangan iman yang ada padanya, juga kehilangan kesabaran, ridha dan rasa syukur, namun yang ia dapatkan hanyalah kebencian yang menunjukkan banyaknya kekurangan.” (Taisir al-Kareem ar-Rahman vol. 1, juz. 2)
Ini juga merupakan pilihan pahit.. Jadi tetap bersyukur dan bersabar meskipun tidak mendapatkan apa-apa itu masih jauh lebih baik daripada tidak bersyukur dan hanya berkeluh kesah namun tidak mendapatkan apa-apa (pilihan terakhir ini justru mendapatkan ancaman dari Allah Ta’ala, red). Wallaahu a’lam...
Labels: My Notes
0 Respones to "Pelajaran Berharga Dari Sebuah Kunjungan"
Posting Komentar