Kerap “amnesia” ketika mendapat nikmat/ kesenangan, dan putus asa ketika ditimpa musibah/ kesulitan, that’s we are all about!. You may disagree, but Allah سبحانه و تعالى Himself who declared it directly through His commandment as follows;
وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الإِنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَى بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَئُوسًا (83
“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia, niscaya berpalinglah dia, dan membelakangi dengan sikap yang sombong, dan apabila ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa.” (QS. Al-Isra’: 83)
هذه طبيعة الإنسان من حيث هو، إلا من هداه الله، فإن الإنسان- عند إنعام الله عليه - يفرح بالنعم ويبطر بها، ويعرض وينأى بجانبه عن ربه، فلا يشكره ولا يذكره ( وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ ) كالمرض ونحوه ( كَانَ يَئُوسًا ) من الخير قد قطع ربه رجاءه، وظن أن ما هو فيه دائم أبدًا وأما من هداه الله فإنه- عند النعم -يخضع لربه، ويشكر نعمته، وعند الضراء يتضرع، ويرجو من الله عافيته، وإزالة ما يقع فيه، وبذلك يخف عليه البلاء.
“Begitulah tabiat manusia dari sudut pandang dzatnya, kecuali orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah. Manusia itu saat meraih kenikmatan dari Allah, maka dia bersuka cita dengannya, menyombongkan diri dengannya, berpaling dan menjauhi Rabbnya, tidak bersyukur kepadaNya dan tidak mau mengingatNya. وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ ) ) “dan apabila dia ditimpa kesusahan” seperti sakit atau selainnya, ( كَانَ يَئُوسًا ) “niscaya dia berputus asa” dari kebaikan. Dia berputus asa dari harapan (mendapatkan rahmat) Rabbnya dan menyangka bahwasanya keadaan yang menimpanya itu akan terjadi selamanya. Adapun orang yang mendapatkan hidayah Allah, maka dia merendahkan diri dan bersyukur kepada Rabbnya tatkala mendapatkan kenikmatan. Apabila ditimpa musibah, maka dia memohon dengan merendahkan diri kepada Rabbnya dan mengharap kekuatan kepada Allah supaya segera dihilangkan musibah yang telah menimpanya. Dengan itu, akan lebih meringankan beban cobaannya.” [Taisir al-Kareem ar-Rahman vol. 4, juz. 15]
Ya,.. tidak sedikit manusia yang takabur atas kesukesan dan kesenangan yang sudah ia dapat dan nikmati seolah-olah semuanya itu datang dari sisinya, bukan dari sisiNya. Padahal Allah سبحانه و تعالى memperingatkan;
وَلا تَمْشِ فِي الأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولا (37
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. Al-Isra’: 37)
يقول تعالى: ( وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا ) أي: كبرا وتيها وبطرا متكبرا على الحق ومتعاظما على الخلق ( إِنَّكَ ) في فعلك ذلك ( لَنْ تَخْرِقَ الأرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولا ) في تكبرك بل تكون حقيرا عند الله ومحتقرا عند الخلق مبغوضا ممقوتا قد اكتسبت أشر الأخلاق واكتسيت أرذلها من غير إدراك لبعض ما تروم
“Allah Ta’ala berfirman, ( وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا ) ‘Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong’ yaitu congkak, pamer, sombong terhadap kebenaran dan merasa lebih besar di hadapan makhluk. ( إِنَّكَ ) ‘Sesungguhnya kamu’, dengan perbuatanmu itu ‘sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung’ (yakni) dengan perbuatanmu. Bahkan kamu menjadi hina di sisi Allah, nista pada pandangan makhluk, dalam keadaan dimurkai dan dibenci. Engkau telah meraup perilaku-perilaku yang seburuk-buruknya, dan engkau telah menyandangi diri dengan moral yang paling rendah tanpa mendapatkan sebagian yang kamu inginkan.” [Taisir al-Kareem ar-Rahman vol. 4, juz. 15]
Lawan dari sombong adalah tawadhu’ (rendah hati), dan Allah سبحانه و تعالى memerintahkan kita untuk melakukan hal itu. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda;
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ , وَ لاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan hati sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berlaku zhalim atas yang lain.” (HR. Muslim No. 2588)
Orang yang berilmu dan tidak berilmu memang berbeda. Yang dimaksud dengan berilmu disini bukanlah mereka yang hanya sekedar memiliki gelar pendidikan yang tinggi atau kedudukan/ jabatan yang tinggi (tapi jauh dari agamanya), namun yang dimaksud disini adalah mereka yang Allah Ta’ala berikan bashirah untuk memahami dan mengamalkan ilmu dien ini dengan baik sebagaimana mereka, para ulama rabbani. Jadi kalau ada pepatah yang mengatakan, “Bagai ilmu padi, semakin tua semakin merunduk” itu adalah tepat adanya. Semakin seseorang mengetahui dan memahami suatu masalah dalam ad-dien ini, semakin seseorang itu merasa bodoh (karena ternyata banyak hal yang belum dan tidak diketahuinya, red) sehingga celah untuk ‘ujub/ sombong/ takabur semakin sempit.
Adapun lawan dari putus asa adalah optimis. Allah سبحانه و تعالى berfirman;
وَلا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ ...
“.. Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. Yusuf: 87)
Mengapa demikian?....
فإن الرجاء يوجب للعبد السعي والاجتهاد فيما رجاه، والإياس: يوجب له التثاقل والتباطؤ، وأولى ما رجا العباد، فضل الله وإحسانه ورحمته وروحه،
“Karena optimisme akan mendorong seorang hamba kepada usaha dan ketekunan serius untuk mencapai apa yang diharapkannya. Sedangkan putus asa, hanya akan mengakibatkan perasaan berat dan bermalas-malasan baginya. Pengharapan yang paling utama diinginkan oleh seorang hamba ialah kemurahan dan curahan kebaikan Allah, rahmat dan kasihNya.” [Taisir al-Kareem ar-Rahman vol. 3, juz. 13]
Akhirnya penulis yang dhaif lagi jahil ini berdoa;
رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ
“Ya Rabbku, masukanlah aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku ke tempat keluar yang benar”, (أي) maksudnya:
اجعل مداخلي ومخارجي كلها في طاعتك وعلى مرضاتك، وذلك لتضمنها الإخلاص وموافقتها الأمر
“Jadikanlah tempat masuk dan tempat keluarku semuanya dalam keta’atan dan keridhaanMu. Karena hal ini memuat sifat keikhlasan dan keselarasan dengan perintah.”
وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
“Dan berikanlah kepadaku dari sisiMu kekuasaan yang menolong”, (أي) maksudnya:
حجة ظاهرة، وبرهانًا قاطعًا على جميع ما آتيه وما أذره وهذا أعلى حالة ينزلها الله العبد، أن تكون أحواله كلها خيرًا ومقربة له إلى ربه، وأن يكون له -على كل حالة من أحواله- دليلا ظاهرًا، وذلك متضمن للعلم النافع، والعمل الصالح، للعلم بالمسائل والدلائل وقوله
“Hujjah yang nyata dan petunjuk yang pasti pada seluruh (amalan) yang aku kerjakan dan aku tinggalkan. Ini adalah keadaan yang paling mulia yang mana Allah menempatkan hambaNya disana. Yakni, supaya seluruh keadaanNya baik dan mengarahkan kepada kedekatan terhadap Rabbnya. Dan supaya dia memiliki dasar petunjuk yang jelas dalam setiap keadaannya. Hal ini mencakup ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, yaitu ilmu tentang berbagai problematika dan dalil-dalil petunjuk.” [Taisir al-Kareem ar-Rahman vol. 4, juz. 15]
والله سبحانه و تعالى أعلم
0 Respones to "Lupa Di Saat Senang, Putus Asa Di Saat Susah"
Posting Komentar