Belasan tahun yang lalu, ada seorang anak yang begitu gigih memohon dan memelas di hadapan Ibunya, berharap agar ia dibelikan sesuatu. Sang Ibu berkata sembari menyelesaikan pekerjaannya (secara makna), “Nah coba engkau perhatikan orang tua itu nak, ia berjalan jauh membawa kursi (bambu) di pundaknya, hampir setiap minggu ia berlalu lalang di jalan itu, meneriakkan dan menawarkan sesuatu agar orang lain mendengar dan tertarik untuk membelinya (i.e kursi tersebut). Tidakkah engkau bayangkan betapa berat perjuangan hidupnya. Sekarang coba engkau renungkan, bagaimana jika engkau ada di posisinya, atau di posisi anaknya?. Kemudian engkau bandingkan dengan apa yang sudah engkau miliki saat ini. Jangan lupa bayangkan bagaimana jika semua itu hilang darimu. Jika engkau berada di posisi mereka, belum tentu engkau bisa menikmati apa yang engkau nikmati hari ini.”
Sederhana, tapi cukup dalam pesannya. Beliau mencoba bersikap bijak dengan tidak menolak maupun mengiyakan permintaan anaknya. Beliau lantas mengajaknya berpikir kemudian merenungkan keberadaan nikmat-nikmat yang ada padanya dan memintanya membayangkan ketidakberadaannya. Suatu nikmat seringkali baru terasa (besar manfaatnya) setelah nikmat tersebut hilang atau Allah cabut dari diri seorang hamba. Merenungkan ketidakberadaannya akan membantu seorang hamba untuk mensyukuri nikmat-nikmat tersebut.
Saya kembali teringat ucapan seorang Ibu kepada anaknya tersebut tatkala membaca tafsir QS. Al-Qashash: 71-73 berikut, Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman:
قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ جَعَلَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ اللَّيْلَ سَرْمَدًا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَنْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ يَأْتِيكُمْ بِضِيَاءٍ أَفَلا تَسْمَعُونَ (71) قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ جَعَلَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ النَّهَارَ سَرْمَدًا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَنْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ يَأْتِيكُمْ بِلَيْلٍ تَسْكُنُونَ فِيهِ أَفَلا تُبْصِرُونَ (72) وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (73
“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus menerus sampai Hari Kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kamu tidak mendengar?’ Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai Hari Kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?’ Dan karena rahmatNya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebagian dari karuniaNya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepadaNya.” (QS. Al-Qashash: 71-73)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di –rahemahullaahu- menjelaskan:
هذا امتنان من اللّه على عباده، يدعوهم به إلى شكره، والقيام بعبوديته وحقه، أنه جعل لهم من رحمته النهار ليبتغوا من فضل اللّه، وينتشروا لطلب أرزاقهم ومعايشهم في ضيائه، والليل ليهدأوا فيه ويسكنوا، وتستريح أبدانهم وأنفسهم من تعب التصرف في النهار، فهذا من فضله ورحمته بعباده، فهل أحد يقدر على شيء من ذلك؟
“Ini adalah karunia dari Allah –Subhaanahu wa Ta’ala- terhadap hamba-hambaNya. Dia mengajak mereka bersyukur (berterima kasih) kepadaNya, melaksanakan pengabdian kepadaNya dan menunaikan hakNya, karena Dia telah menjadikan untuk mereka sebagian dari rahmat (kasih sayang)Nya berupa siang, agar mereka dapat mencari karunia Allah dan bertebaran untuk mencari rizki dan penghidupan di bawah cahayaNya, dan berupa malam agar mereka merasakan ketenangan dan kedamaian, agar jasad dan jiwa mereka beristirahat dari kelelahan beraktifitas di siang hari. Ini semua bagian dari karunia dan rahmatNya kepada hamba-hambaNya (manusia). Apakah ada seseorang yang mampu melakukan hal itu (yaitu melakukan apa yang diperbuat oleh Allah, red)?”
Tapi kita (khususnya penulis, red) seringkali lupa terhadap nikmat-nikmat tersebut. Katakanlah saat kondisi tubuh kita sehat, sudah berapa banyak amal shalih yang kita tinggalkan, terlena oleh kesenangan dunia yang fana. Bahkan nikmat sehat itu sendiri pun luput dari rasa syukur. Belum lagi nikmat waktu luang yang begitu tinggi harganya. Namun ketika satu-persatu penyakit mulai datang (menyerang) hingga tubuh yang dulunya kokoh tidak lagi bisa digerakkan, mulut yang dulunya lantang tidak lagi bisa mengucapkan sesuatu, mata yang dulunya tajam tidak lagi bisa melihat, telinga yang sebelumnya normal tidak lagi bisa mendengar dll, baru kita tersadar bahwa (ternyata) sehat itu sangat berharga, sehat itu mahal, dan sehat itu nikmat!. Kita juga baru tersadar bahwa amal shalih itu (ternyata) penting melebihi segala-galanya, melebihi apa yang kita kejar-kejar hari ini dari perkara dunia. Di saat sakit, ibadah seseorang tidak lagi bisa leluasa dan seoptimal ketika waktu sehatnya. Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.
Penjelasan asy-Syaikh –raheemahullaahu- selanjutnya sangat “in line” dengan nasihat Ibu di atas. Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- melanjutkan:
وفي هذه الآيات، تنبيه إلى أن العبد ينبغي له أن يتدبر نعم اللّه عليه، ويستبصر فيها، ويقيسها بحال عدمها، فإنه إذا وازن بين حالة وجودها، وبين حالة عدمها، تنبه عقله لموضع المنة، بخلاف من جرى مع العوائد، ورأى أن هذا أمر لم يزل مستمرا، ولا يزال. وعمي قلبه عن الثناء على اللّه، بنعمه، ورؤية افتقاره إليها في كل وقت، فإن هذا لا يحدث له فكرة شكر ولا ذكر
“Di dalam ayat-ayat di atas terkandung peringatan bahwa seorang hamba hendaklah merenungkan karunia dan nikmat-nikmat Allah kepadanya dan berupaya mengenalnya dan menganalogikannya dengan kondisi ketidakberadaannya. Sebab apabila ia membandingkan antara kondisi keberadaan nikmat tersebut dengan kondisi ketiadaannya, maka akalnya akan menyadari letak kebaikan Allah. Berbeda halnya dengan orang yang sudah terbiasa dengan berbagai kebiasaan, dan dia melihat bahwa yang menjadi kebiasaan ini adalah perkara yang akan terus berlanjut, sedangkan mata hatinya buta, tidak bisa memuji Allah atas nikmatNya dan tidak bisa merasakan betapa sangat butuhnya dia kepada nikmat-nikmat tersebut setiap saat, maka hal seperti itu tidak akan menimbulkan pikiran (kesadaran) untuk bersyukur dan tidak pula mengingat (Allah Subhaanahu wa Ta’ala).”
Ketika seseorang berjalan di jalanan yang penuh dengan onak dan duri, ia akan selalu memandang ke bawah agar tidak terperangkap/ terjebak olehnya. Begitu pula dengan sebuah kenikmatan (kecil atau besar), seorang hamba sangat perlu melihat/ memandang ke bawah kepada hamba-hamba Allah Ta’ala lainnya yang tidak mendapatkan kenikmatan tersebut agar ia bersyukur dan tidak meremehkan nikmat-nikmat (yang datang kepadanya), dan perlunya merenungkan kembali bagaimana kiranya jika kenikmatan tersebut hilang darinya untuk selama-lamanya. Berdasarkan penjelasan asy-Syaikh –raheemahullaahu-, sikap seperti itu bisa membangun rasa syukur seorang hamba kepada Rabbnya Azza wa Jalla. Wallaahu Ta’ala a’lamu.
__________
Maraji’: Taiseer al-Kareem ar-Rahman fii Tafsir Kalam al-Mannan vol 5, juz. 20
0 Respones to "Merenungkan Bilamana Nikmat Allah Itu Tiada"
Posting Komentar