
Kami yakin, semua orang di
dunia ini sepakat bahwa menyambung tali silaturahmi itu indah, membahagiakan
sekaligus mengharukan. Dengannya tali kekerabatan tetap tersambung, dengannya pula
kebahagiaan hidup terasa sempurna. Siapakah gerangan orang yang akan banyak
membantu anda tatkala anda kesusahan?, Siapakah kiranya orang yang paling
banyak bersedih dan banyak menghibur anda tatkala anda tertimpa musibah?,
siapakah kiranya orang yang paling peduli dan mau berbagi dalam suka maupun
duka kalau bukan kerabat atau saudara anda sendiri?. Qadarullah, ternyata tidak semua manusia
seperti itu, ada pula sebagian dari mereka yang rela memutuskan tali
silaturahmi dengan kaum kerabatnya, saudaranya, kawan-kawannya hanya karena
dunia, kedudukan, status sosial atau kekuasaan. Mereka meninggalkan kaum kerabatnya
karena tidak lagi dianggap selevel atau sekufu!. Fakta ini banyak ditemukan di
sekitar kita. Rabb kita Yang Mahatinggi, Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengingatkan
dan mengancam kita semua yang berbuat hal semacam itu dalam kitab-Nya yang
shahih;
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ
تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ (22) أُولَئِكَ
الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ (23
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?, mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikanNya telinga mereka, dan dibutakanNya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22-23)
al-‘Alim Rabbani, asy-Syaikh
‘Abd ar-Rahman bin Nasheer bin ‘Abdillah as-Sa’dee –raheemahullaahu Ta’ala- (w.
1307 H) menjelaskan ayat diatas;
)أُولَئِكَ الَّذِينَ
) أفسدوا في الأرض، وقطعوا أرحامهم ( لَعَنَهُمُ اللَّهُ ) بأن أبعدهم عن رحمته، وقربوا
من سخط الله. ( فَأَصَمَّهُمْ
وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ ) أي: جعلهم لا يسمعون ما ينفعهم ولا يبصرونه، فلهم آذان،
ولكن لا تسمع سماع إذعان وقبول، وإنما تسمع سماعا تقوم به حجة الله عليها، ولهم أعين،
ولكن لا يبصرون بها العبر والآيات، ولا يلتفتون بها إلى البراهين والبينات
“Mereka itulah orang-orang”,
yakni yang berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan tali kekeluargaan, “dilaknati Allah”, dengan menjauhkan mereka dari
rahmat-Nya dan mendekatkan mereka pada murka-Nya, “dan ditulikanNya
telinga mereka, dan dibutakanNya penglihatan mereka.” Artinya, Allah
Subhaanahu wa Ta’ala menjadikan mereka tidak bisa mendengar nasihat dan petuah
yang membawa manfaat bagi mereka serta tidak dapat melihatnya. Mereka memiliki
telinga tetapi tidak bisa mendengar secara taat dan menerima, mereka hanya
mendengar namun hanya sebagai tegaknya hujjah Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Mereka memiliki mata tetapi tidak bisa melihat berbagai pelajaran dan
tanda-tanda kebesaran Allah Subhaanahu wa Ta’ala, tidak digunakan untuk
menengok berbagai bukti dan penjelasan nyata.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman
fi Tafsir Kalam al-Mannan, 7/1661. Tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail, Cet. Daar
Ibn al-Jawzee)
Di dalam kitab Mukhtashar
Minhajul Qashidin hal. 135 (Tahqiq: Zuhair asy-Syawisy, Cet. al-Maktab
al-Islami, 1421 H), al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisee –raheemahullaahu Ta’ala
- (w. 620 H) membawakan beberapa hadits shahih mengenai hak kerabat dan
silaturaheem, beliau berkata;
وأما حقوق الأقارب والرحم،
ففى الحديث الصحيح، من رواية عائشة، أن النبى صلى الله عليه وآله وسلم قال:
"الرحم معلقة بالعرش، تقول: من وصلنى وصله الله، ومن قطعنى قطعه الله".
Hak-hak kerabat dan raheem disebutkan dalam hadits shahih dari ‘Aisyah -radhiyallaahu ‘anha- bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa ‘aalihi wa sallama bersabda;
“Rahim (kekerabatan)
tergantung di ‘Arsy, ia berkata, ‘Barangsiapa menyambungku, maka Allah
menyambungnya (dengan kebaikan dan berkah), barangsiapa memutuskanku, maka
Allah memutuskannya (dari kebaikan dan berkah)’.” (HR. al-Bukharee no. 5959,
Muslim no. 2555, Shaheehul Jamee’ no. 3523)
وفى حديث آخر من أفراد
البخارى: "ليس الواصل بالمكافئ، ولكن الواصل الذى إذا قطعت رحمه وصلها"
Dalam hadits lain dalam shahih al-Bukharee, “Orang yang menyambung silaturahim bukan orang yang membalas kebaikan, akan tetapi orang yang menyambung silaturahim adalah orang yang bila kerabatnya memutuskan tali rahim (kekerabatan) dengannya, maka dia menyambungnya.” (HR. al-Bukharee no. 5991, Abu Dawood no. 1697, at-Tirmidzee no. 1908, dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallaahu ‘anhu) –selesai kutipan-.
Ternyata, memutuskan tali silaturaheem itu adalah salah satu sifat kaum fasik. Hal ini dikhabarkan oleh Allah ‘Azza wa Jall dalam kitab-Nya;
وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلا
الْفَاسِقِينَ (26) الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ
مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
(27
“Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk mengubungkannya...” (QS. al-Baqarah: 26-27)
Sedangkan sifat orang
mukmin itu adalah menunaikan hak-hak kerabatnya dengan menyambung tali
silaturaheem sebagaimana penjelasan al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman bin Nasheer bin ‘Abdillah
as-Sa’dee –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1307 H) berikut tatkala menjelaskan ayat
di atas;
وهذا يدخل فيه أشياء كثيرة،
فإن الله أمرنا أن نصل ما بيننا وبينه بالإيمان به والقيام بعبوديته، وما بيننا وبين
رسوله بالإيمان به ومحبته وتعزيره والقيام بحقوقه، وما بيننا وبين الوالدين والأقارب
والأصحاب; وسائر الخلق بالقيام بتلك الحقوق
التي أمر الله أن نصلها.
فأما المؤمنون فوصلوا ما أمر الله به أن يوصل من هذه الحقوق، وقاموا
بها أتم القيام، وأما الفاسقون، فقطعوها، ونبذوها وراء ظهورهم; معتاضين عنها بالفسق
والقطيعة; والعمل بالمعاصي; وهو: الإفساد في الأرض
“Banyak hal yang termasuk ke dalam ayat ini, dan Allah Subhaanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada kita untuk menghubungkan antara kita dengan diri-Nya yaitu dengan keimanan kepada-Nya, melaksanakan ibadah hanya semata kepada-Nya, atau antara kita dengan Rasul-Nya yaitu dengan beriman kepadanya, mencintainya, menghormatinya, menunaikan segala hak-haknya, atau di antara kita dengan kedua orang tua, karib kerabat, teman sahabat dan seluruh makhluk yakni dengan menunaikan hak-hak mereka yang mana Allah memerintahkan (untuk) bersilaturaheem. Adapun orang-orang mukmin, maka mereka akan menyambung silaturaheem yang telah Allah perintahkan untuk disambungkan berupa hak-hak tersebut, dan mereka menunaikannya dengan sebaik-baik pelaksanaan, sedangkan orang-orang fasik, maka mereka memutuskannya dan membuangnya dari diri mereka dan menggantinya dengan kefasikan, memutus hubungan, melakukan kemaksiatan yaitu merusak di bumi..” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, 1/51. Tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail, Cet. Daar Ibn al-Jawzee)
Dengan demikian dapat
ditarik kesimpulan bahwa silaturahmi itu memberikan beberapa manfaat;
a).
Dengan menyambung tali silaturhami kepada sanak kerabat berarti kita telah
mematuhi perintah Allah ‘Azza wa Jall dan Rasul-Nya Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama yang tentunya berpahala.
b).
Silaturahmi mempererat tali persaudaraan, dan persahabatan. Pada akhirnya ta’awun
alal birr wa taqwa akan lebih mudah dilakukan dan tentunya juga berpahala.
c). Dengan
bersilaturahmi pintu rejeki semakin luas dan umur akan dipanjangkan sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama;
مَنْ أَ حَبَّ أَنْ يُبْسَطَ
لَهُ فِى رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. al- Bukhari no. 5986 dan Muslim no. 2557)
d). Bersilaturahmi merupakan salah satu sebab masuknya hamba ke dalam surga
sebagaimana hadits berikut; Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari
-radhiyallahu ‘anhu-, bahwasanya ada seorang laki-laki yang bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama: “Wahai Rasulullah, beritahukanlah
kepadaku suatu amal yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku
dari neraka,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda:
تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ
تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ
“Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi.” (HR. al-Bukhari no. 1396 dan Muslim no. 13)
Wallaahu Ta’ala a’lamu

0 Respones to "Silaturaheem Is Beautiful, Isn’t It?"
Posting Komentar