Kecenderungan sebagian orang yang merasa dirinya lebih unggul dari yang lain (entah itu kepandaian, jabatan, kekayaan, status sosial, pendidikan, nasab dll) adalah ingin terlihat (paling) menonjol di komunitasnya dan diakui eksistensinya. Tidak masalah sekiranya harus berlomba-lomba (dengan yang lain) asalkan ambisinya (menjadi individu yang terdepan) bisa tercapai, kira-kira begitu. “Pengakuan” (terhadap hal-hal yang tersebut diatas) baik secara formal maupun non-formal dari lingkungan sekitar bisa dibilang cukup krusial demi menjaga kelangsungan eksistensi mereka di masa depan. Adakah sesuatu yang aneh dengan kompetisi?, Tidak, namun bagaimana kiranya jika ia melakukan semua itu demi sebuah pujian dan pengakuan?. Selanjutnya, pernahkah anda mendengar seseorang yang berkata; “Saya berhasil karena kepandaian dan kerja keras saya (selama ini)!.” Ya, bisajadi anda memang pandai dan seorang pekerja keras, namun apakah kesuksesan yang anda dapatkan murni dari hasil usaha anda sendiri atau datang dari anda?, atau dari Rabb anda Tabaaraka wa Ta’ala?. Mau sejenius, setinggi, semulia dan sekeras apapun manusia berusaha, jika Allah Ta’ala tidak berkehendak, semua (yang diusahakan) tidak akan terwujud. Memang benar ia melakukan usaha (secara lahir), namun (tetap) bukan dia yang menentukan hasilnya. Coba kita renungkan firman Allah Ta’ala berikut;
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ (63) أَأَنْتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُونَ (64
“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam! Kamukah yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya?.” (QS. Al-Waqi’ah: 63-64). Apa maknanya?
أي: أأنتم أخرجتموه نباتا من الأرض؟ أم أنتم الذين نميتموه؟ أم أنتم الذين أخرجتم سنبله وثمره حتى صار حبا حصيدا وثمرا نضيجا؟ أم الله الذي انفرد بذلك وحده، وأنعم به عليكم؟ وأنتم غاية ما تفعلون أن تحرثوا الأرض وتشقوها وتلقوا فيها البذر، ثم بعد ذلك لا علم عندكم بما يكون بعد ذلك، ولا قدرة لكم على أكثر من ذلك
“Maksudnya; apakah kalian yang mengeluarkannya dari bumi dalam bentuk tanaman, atau apakah kalian yang menumbuhkannya? Atau apakah kalian yang mengeluarkan bulir dan buahnya sehingga menjadi tanaman yang siap dipanen dan buah yang sudah matang? Atau hanya Allah lah semata yang melakukan itu semua dan menganugerahkannya kepada kalian? Usaha maksimal yang bisa kalian lakukan hanyalah mengolah dan membajak tanah kemudian menabur benih padanya, setelah itu kalian sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi setelah itu dan tidak ada kekuasaan bagi kalian yang lebih dari hal tersebut.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 7 juz. 27)
Ya,.. usaha maksimal yang bisa dilakukan manusia hanyalah menjalankan ikhtiar sekuat dan semampu mereka, berdoa dan berharap agar Allah Ta’ala menurunkan karuniaNya. Selebihnya tidak ada satu pun manusia yang mengetahui apa yang bakal terjadi kemudian (apakah berhasil atau gagal), dan tidak ada satu pun makhluk yang mampu menentukan hasil akhirnya kecuali hanya Allah Subhaanahu wa Ta’ala semata. Jika demikian, apa yang perlu kita sombongkan? Kepandaian, kekayaan, jabatan, pendidikan, nasab?, darimana semua itu datangnya? Atas kehendak siapa?... al-‘Allamah as-Sa’di –raheemahullaahu- mengatakan dalam tafsirnya;
فاحمدوا الله تعالى حيث زرعه الله لكم، ثم أبقاه وكمله لكم، ولم يرسل عليه من الآفات ما به تحرمون نفعه وخيره
“Oleh karena itu, panjatkanlah pujian ke hadirat Allah –Subhaanahu wa Ta’ala- yang telah menanamnya untuk kalian, kemudian memelihara dan menyempurnakannya (hingga waktu panen) dan tidak mengirim perusak-perusak yang membuat kalian tidak dapat memperoleh manfaat dan kebaikannya.”
Jika demikian, yang harus kita lakukan -tatkala keberhasilan itu datang, atau ketika kepandaian/ ilmu kita peroleh, atau ketika kekayaan kita dapatkan- adalah memanjatkan pujian kepada Allah Tabaaraka wa Ta’ala atas nikmat yang diberikanNya tersebut, bukan justru memuji diri sendiri. Beliau –raheemahullaahu- juga mengatakan;
فلما بين من نعمه ما يوجب الثناء عليه من عباده وشكره وعبادته، أمر بتسبيحه وتحميده فقال: ( فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ ) أي: نزه ربك العظيم، كامل الأسماء والصفات، كثير الإحسان والخيرات، واحمده بقلبك ولسانك، وجوارحك، لأنه أهل لذلك، وهو المستحق لأن يشكر فلا يكفر، ويذكر فلا ينسى، ويطاع فلا يعصى
“Ketika Allah menjelaskan sebagian dari nikmat-nikmatNya yang mengharuskan timbulnya pujian kepadaNya dari hamba-hambaNya, berikut syukur kepadaNya dan beribadah kepadaNya, Allah memerintahkan untuk mentasbihkan dan mengagungkanNya, dimana Dia berfirman, ( فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ ) ‘Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Mahaagung.’ Maksudnya, sucikanlah Rabbmu Yang Agung Yang sempurna nama-nama dan sifat-sifatNya, banyak memberikan kebaikan dan balasan kebaikan dan pujilah Dia dengan hati, lisan, dan anggota tubuhmu, karena Dia memang layak untuk itu semua, Dia lah yang berhak disyukuri, maka jangan sampai Dia diingkari, (hendaknya) diingat dan disebut dalam dzikir dan tidak dilupakan, serta ditaati dan tidak dimaksiati.”
Ternyata tidak hanya narsis, sebagian manusia juga sering memanfaatkan kelebihan yang ada pada mereka itu untuk “bermegah-megahan diantara mereka” sebagaimana firman Allah Ta’ala (ketika menjelaskan mengenai hakikat dunia, red);
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur.” (QS. Al-Hadid: 20)
( وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ ) أي: كل واحد من أهلها يريد مفاخرة الآخر، وأن يكون هو الغالب في أمورها، والذي له الشهرة في أحوالها، ( وَتَكَاثُرٌ فِي الأمْوَالِ وَالأوْلادِ ) أي: كل يريد أن يكون هو الكاثر لغيره في المال والولد، وهذا مصداقه، وقوعه من محبي الدنيا والمطمئنين إليها
“( وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ ) ‘Bermegah-megah antara kamu’ maksudnya, masing-masing orang yang memiliki tiap-tiap perhiasan dunia saling membangga-banggakan diri terhadap yang lain dan selalu berusaha untuk menjadi yang terdepan di bidangnya dan yang kondisinya ternama, ( وَتَكَاثُرٌ فِي الأمْوَالِ وَالأوْلادِ ) ‘serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak’ maksudnya, masing-masing ingin menjadi yang terbanyak dari segi harta dan anak dari yang lain. Ini terjadi pada mereka yang gila dunia dan merasa tenang terhadap dunia.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 7 juz. 27)
Akhirnya penyakit hati (i.e ‘ujub, sombong) mendominasi jiwa dan rasa tawadhu’ (rendah hati) pun menjadi sesuatu yang langka. Padahal Allah Ta’ala berfirman;
وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23
“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 23). Siapakah mereka?
أي: متكبر فظ غليظ، معجب بنفسه، فخور بنعم الله، ينسبها إلى نفسه، وتطغيه وتلهيه
“Yakni; orang (yang) angkuh, berhati keras, kasar, merasa kagum terhadap diri sendiri, membanggakan diri dengan berbagai nikmat Allah –Subhaanahu wa Ta’ala- yang dinyatakan sebagai hasil usahanya sendiri, hingga ia pun melampaui batas dan melalaikan kenikmatan-kenikmatan itu.”
Bukankah sikap ini yang musti kita jauhi?. Perlu kiranya kita memahami dan merenungkan –wallaahu Ta’ala a’lamu- bahwa;
a). Hidup di dunia hanyalah sementara dan segala sesuatu yang kita miliki/ banggakan saat ini pasti akan lenyap tak berbekas di kemudian hari. Dengan demikian, apa yang layak dibanggakan dari sesuatu yang sifatnya sementara dan fana (tidak abadi)?. Sungguh bagus penjelasan al-‘Allamah as-Sa’di –raheemahullaahu- mengenai orang-orang yang mengetahui dunia dan hakikatnya;
فجعلها معبرا ولم يجعلها مستقرا، فنافس فيما يقربه إلى الله، واتخذ الوسائل التي توصله إلى الله وإذا رأى من يكاثره وينافسه بالأموال والأولاد، نافسه بالأعمال الصالحة
“Mereka menjadikan dunia sebagai tempat berlalu, bukan dijadikan sebagai tempat tinggal. Mereka selalu berlomba-lomba dan menyaingi segala hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan menggunakan berbagai media yang bisa mengantarkan menuju surga, tempat kemuliaan Allah Ta’ala, ketika melihat orang yang menyainginya dengan memperbanyak harta dan anak, dihadapinya dengan memperbanyak amalan-amalan shalih.”
b). Semua yang terjadi di muka bumi merupakan kehendak, qadha’ dan qadharNya. Allah Ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22
“Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh al-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22)
وأخبر الله عباده بذلك لأجل أن تتقرر هذه القاعدة عندهم، ويبنوا عليها ما أصابهم من الخير والشر، فلا يأسوا ويحزنوا على ما فاتهم، مما طمحت له أنفسهم وتشوفوا إليه، لعلمهم أن ذلك مكتوب في اللوح المحفوظ، لا بد من نفوذه ووقوعه، فلا سبيل إلى دفعه، ولا يفرحوا بما آتاهم الله فرح بطر وأشر، لعلمهم أنهم ما أدركوه بحولهم وقوتهم، وإنما أدركوه بفضل الله ومنه، فيشتغلوا بشكر من أولى النعم ودفع النقم
“Allah Ta’ala mengabarkan hal itu kepada para hambaNya agar kaidah ini lekat di hati mereka. Agar mereka menunjukkan semua kebaikan dan keburukan berdasarkan kaidah tersebut supaya mereka tidak putus asa dan bersedih atas sesuatu yang luput dari mereka, disamping agar hati mereka tidak tamak dan memburu apa yang tidak didapatkan, karena mereka mengetahui bahwa hal itu telah tertulis di Lauhul Mahfuzh yang pasti berlaku dan terjadi, tidak ada cara untuk menolaknya. Tujuan lain adalah agar manusia tidak terlalu bergembira dengan bersikap sombong terhadap pemberian Allah Ta’ala, karena mereka mengetahui bahwa semua yang di dapat bukan karena usaha dan daya mereka, namun didapat karena karunia Allah Ta’ala yang memberi berbagai kenikmatan dan mencegah azab.”
Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu,......
Labels: Ad-Dien
0 Respones to "Narsis Biar Eksis?"
Posting Komentar