Surat Al-Imam An-Nawawi Kepada Sulthan



Beliau adalah seorang imam yang hafidz, tiada bandingannya, sang panutan, Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Husain bin Hizam bin Muhammad bin Jum’ah al-Hizami al-Haurani asy-Syafi’i –rahimahullaahu- (w. 676 H) (atau yang masyhur dengan sebutan al-Imam An-Nawawi –rahimahullaahu-, red), begitu kalimat yang tertera pada muqadimah pentahqiq kitab Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hajjaj.

Berkata al-Imam al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah adz-Dzahabi al-Fariqi –rahimahullahu-, atau yang masyhur dengan nama al-Imam adz-Dzahabi (w. 748 H) mengenai beliau, “Dengan kesungguhannya dalam memerangi hawa nafsunya, kewara’an, selalu mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, selalu berusaha menyucikan hati dari kekotoran maka ia menjadi seorang yang hafal hadits (hafidz), menguasai ilmunya, hafal para perawinya, ‘illat-illatnya, hadits-hadits shahih dan cacatnya dan sebagai tempat untuk meminta pendapat.” [al-Manhaj as-Sawi, hal. 51]

Berikut adalah salah satu nasihat beliau dan para ulama di zamannya yang di tujukan kepada Sulthan (Raja/ Presiden, red) melalui surat.

Ibnu Aththar (beliau adalah al-Hafidz Ala’uddin Ali bin Ibrahim bin Dawud bin Sulaiman Abu al-Hasan bin al-Aththar asy-Syafi’i –rahimahullaahu-, murid dari al-Imam An-Nawawi –rahimahullaahu-, red) bercerita, “Suatu ketika beliau menulis nasihat yang ditujukan kepada Raja Zhahir, berisi tentang keadilan dalam memimpin rakyat dan menghilangkan pungutan bea-cukai (pajak), dan beberapa orang ikut andil dalam tulisan tersebut kemudian mencatatnya dalam kertas dan disampaikan kepada sang pemimpin, yakni Badaruddin Bilbak al-Khazindar, dengan melewati tulisan para ulama untuk disampaikan kepada penguasa. Isi nasihat tersebut adalah sebagai berikut;

Dengan menyebut nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang, dari Abdullah Yahya An-Nawawi, semoga keselamatan, kasih sayang dan berkah Allah Subhaanahu wa Ta’ala atas tuan yang berbaik hati, sang penguasa Raja Badaruddin, mudah-mudahan Allah Yang Mulia selalu mengaruniakan kebaikan kepada anda[1], memimpin dengan cara yang baik, mendengar siapa saja yang mengutarakan keinginan-keinginannya. Dan semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan keberkahan atas anda dalam segala kondisi, amiin.

Para ulama yang mulia memberitahukan, bahwa penduduk Syam pada tahun ini sedang ditimpa kesengsaraan hidup dan kondisi yang mengenaskan karena sedkitnya hujan, harga-harga yang melambung tinggi, berkurangnya hasil bumi dan perkebunan, matinya hewan-hewan ternak dan lain sebagainya. Kalian mengetahui bahwa kasih sayang kepada pemimpin dan rakyat adalah keniscayaan, nasihat untuk kemashlahatannya dan kemashlahatan mereka, karena agama adalah nasihat. Para pelayan syariat telah menulis, mengemukakan nasihat untuk penguasa; karena kecintaan kepadanya, suatu tulisan yang akan mengingatkan dia agar memperhatikan keadaan rakyatnya dan berlaku lembut kepada mereka. Tidak ada suatu kepentingan tertentu, tapi sebuah nasihat yang murni, rasa sayang, dan pengabdian untuk orang-orang yang berakal. Sehingga tanggung jawab Amir –semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala menguatkan anda- untuk menyampaikan tulisan ini kepada raja atau penguasa. Mudah-mudahan Allah Subhaanahu wa Ta’ala selalu memberikan kebaikan kepadanya, dan menyampaikan keluhan ini kepada penguasa agar bersikap lembut kepada rakyat sebagai investasi dia di hadapan Allah Subhaanahu wa Ta’ala kelak.

“(Ingatlah) pada hari (ketika) setiap jiwa mendapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya, (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan. Dia berharap sekiranya ada jarak yang jauh antara (dia) dan hari itu. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksaan)-Nya.” (QS. Ali Imran: 30)

Surat ini ditulis oleh para ulama sebagai amanah dan nasihat kepada Raja, semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala menguatkan pertolongan kepadanya dan kaum muslimin seluruhnya di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, kewajiban bagi kalian para pemimpin untuk menyampaikannya kepada raja, semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala menguatkan pertolongan kepadanya, sedangkan kalian memiliki tanggung jawab terhadap amanah ini, tidak ada udzur bagi kalian untuk memperlambat penyampaian, tidak ada hujjah pula untuk melalaikannya, kelak di hadapan Allah Subhaanahu wa Ta’ala, kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.

“(Yaitu) pada hari (ketiika) harta dan anak-anak tidak berguna.” (QS. Asy-Syu’ara: 88), dan

“Pada hari itu manusia lari dari saudaranya. Dan dari ibu dan bapaknya. Dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukannya.” (QS. Abasa: 24-27)

Alhamdulillah, kalian adalah orang-orang yang menyukai kebajikan, memiliki semangat tinggi untuk mewujudkan kebaikan, dan bersegera menunaikannya. Sedangkan amanah ini termasuk di antara kebajikan yang paling penting, ia adalah sebaik-baiknya keta’atan, dan kalian memiliki keahlian untuk itu, Allah Subhaanahu wa Ta’ala telah menitahkannya pada kalian, ini merupakan karunia dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala, sementara kami merasa khawatir akan bertambah buruknya keadaan apabila kasih sayang tidak segera didapatkan. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman;

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).” (QS. Al-A’raf: 201)[2]

Dan firman-Nya;

“...Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 215)

Para penulis surat ini sedang menantikan buah tulisannya, apabila kalian telah menunaikannya, maka pahalanya ada di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala.

“Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128)

Wassalamu’alaykum warahmatullaahi wa barakaatuh

== Selesai kutipan ==

Dicopy-paste dari Muqadimah Pentahqiq, Al-Mihaj Syarah Shahih Muslim Ibn Al-Hajjaj vol.1 karya al-Imam an-Nawaawi –rahimahullaahu-

­­­­­­­­­______________________

[1]. Inilah adab ulama salaf dalam menasihati para pemimpin sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dan para shahabatnya, bersikap lemah lembut tanpa caci maki, tertutup dan selalu mendoakan kebaikan bagi para pemimpinnya meskipun berbuat salah.

[2]. Berkata asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy –semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala merahmatinya- dalam menafsirkan ayat ini, “Karena hamba pasti lalai dan syaithan berhasil menipunya karena ia terus bersiap siaga menantikan kelengahan dan kelalaiannya, maka Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyebutkan tanda-tanda orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang menyimpang. Adapun orang yang bertakwa, jika ia merasakan dosa dan gangguan dari syaithan, lalu dia melakukan dosa dengan melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib, maka dia segera sadar dari mana syaithan datang dan dari pintu mana syaithan masuk kepadanya, dia menyadari apa yang diwajibkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala atasnya dan apa yang menjadi tuntutan iman, maka ia memohon ampun kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dia menambal apa yang terlewatkan dengan taubatan nashuha dan (mengerjakan) kebaikan yang banyak, maka dia berhasil mengusir syaithannya dengan hina dina dan memporak-porandakan apa yang syaithan dapatkan darinya.” [Taisir al-Karim ar-Rahman fii Tafsir Kalaam al-Manaan vol. 3, juz. 9]



0 Respones to "Surat Al-Imam An-Nawawi Kepada Sulthan"

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula