- Sesuatu yang Paling Sulit Dihadapi Adalah Niat
- Keterkaitan Antara Hati, Amal dan Niat
- Nasihat Al-Imam Asy-Syafi’i Raheemahullaahu
- Nasihat Abu Darda’ Radhiyallaahu ‘anhu
Sesuatu yang Paling Sulit Dihadapi Adalah Niat
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Tidak ada sesuatu yang paling berat yang aku hadapi daripada niat, karena niat selalu berubah-ubah.”...read more
Keterkaitan Antara Hati, Amal dan Niat
Mutharrif bin Abdullah berkata, “Baiknya hati karena baiknya amal, dan baiknya amal karena baiknya niat.”...read more
Nasihat Al-Imam Asy-Syafi’i Raheemahullaahu
Imam Asy-Syafi’i berkata “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan jangan kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.”...read more
Nasihat Abu Darda’ Radhiyallaahu ‘anhu
Abu Darda’ Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Ingatlah Allah di waktu senang, niscaya Allah akan mengingatmu di waktu susah.”...read more
0 Belajar Dari Peristiwa Ibnu al-Asy’ats
Kembali, mari kita baca dan renungi lembaran kisah-kisah
(yang terjadi) di masa lampau sebagai bahan introspeksi diri dan ibrah bagi
orang-orang yang berakal.
Allah Ta’ala berfirman;
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي
الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf: 111)
Dahulu kala, di zaman pemerintahan Abdul Malik bin
Marwan, muncul satu pemberontakan yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Muhammad
bin al-Asy’ats bin Qais al-Kindi. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 82
Hijriyah sebagaimana penuturan al-Waqidi raheemahullaahu; “(Pemberontakannya
dimulai) pada tahun 82 Hijriyah.” Dan al-Hafizh Ibnu Katsir asy-Syafi’I raheemahullaahu
menambahkan; “Ibnu Jarir (ath-Thabariy) menuturkannya pada tahun ini (i.e 82 H)
dan kami menyepakatinya.” [al-Bidayaah wan-Nihayah (12/304-305), cet. Daar
Hijr Li al-Thabaa’ah wa al-Nasyr, Beirut, 1418 هـ]
Penyebabnya adalah tindakan sewenang-wenang dari seorang
gubernur Irak yang bernama Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi terhadap penduduk Irak (biografinya,
kejahataannya yang masyhur diulas secara panjang lebar dalam kitab al-Bidaayah
wan-Nihayah, peristiwa tahun 95 Hijriyah. Silahkan merujuk kesana, red).
Dan Ibnu al-Asy’ats yang berada di bawah komando pasukan al-Hajjaj waktu itu berusaha
menggulingkan kepemimpinan al-Hajjaj yang memang terkenal dzalim tersebut. Dia
menyurati salah seorang tabi’in, al-Muhallab bin Abi Shufrah (al-Muhallab pernah
menjabat sebagai gubernur al-Jazirah pada masa pemerintahan ‘Abdullah bin
Zubair radhiyallaahu ‘anhu pada tahun 68 H, kemudian pada awal pemerintahan
al-Hajjaj dia memerangi Khawarij, red), mengajaknya agar mau bergabung dengan
pasukannya, namun dia menolak. Lalu dia menasihati Ibnu al-Asy’ats melalui
surat yang isinya;
إنك يا ابن الأشعث قد وضعت رجلك في ركاب طويل،
ابق على أمة محمد صلى الله عليه وسلم، انظر إلى نفسك فلا تهلكها، ودماء المسلمين فلا
تسفكها، والجماعة فلا تفرقها، والبيعة فلا تنكثها، فإن قلت أخاف الناس على نفسي فالله
أحق أن تخافه من الناس، فلا تعرضها لله في سفك الدماء، أو استحلال محرم والسلام عليك.
“Wahai Ibnu al-Asy’ats, kamu telah menginjakkan kakimu
di sunggurdi yang panjang. Tetaplah sebagai umat Muhammad Shallallaahu ‘alaihi
wa sallama!, takutlah kepada Allah. Lihatlah dirimu dan jangan merusaknya.
Jangan engkau tumpahkan darah kaum muslimin!, jangan pecah belah persatuan umat
dan jangan rusak baiat!. Bila kamu mengatakan, ‘Aku takut kepada manusia atas
diriku’, maka Allah lebih berhak engkau takuti daripada manusia. Janganlah
engkau menentang Allah dengan menumpahkan darah atau menghalalkan sesuatu yang
diharamkan. Wassalamu ‘alaika.” [Tarikh ath-Thabariy (6/388), al-Bidaayah
wan-Nihayah (12/308), cet. Daar Hijr Li al-Thabaa’ah wa al-Nasyr, Beirut, 1418 هـ]
Namun Ibnu al-Asy’ats tetap kukuh pada pendiriannya
untuk mengkudeta al-Hajjaj yang dzalim, sebagian para fuqaha yang mulia pun ikut
membaiatnya. Akhirnya terjadilah peristiwa yang dikhawatirkan oleh al-Muhallab
sebelumnya, pertumpahan darah antara kubu al-Hajjaj dan Ibnu al-Asy’ats.
Keadaan ini (yakni pertumpahan darah antar kaum muslimin) terus berlangsung hingga
para amir berunding bersama Abdul Malik bin Marwan, khalifah yang memerintah saat
itu. Mereka (para amir, red) mengatakan kepadanya;
إن كان أهل العراق يرضيهم منك أن تعزل عنهم الحجاج
فهو أيسر من قتالهم وسفك دمائهم
“Apabila warga Irak suka bila engkau memecat
al-Hajjaj, ini lebih ringan daripada engkau memerangi mereka dan menumpahkan
darah mereka.”
Lalu Abdul Malik bin Marwan mengirimkan surat kepada penduduk
Irak yang isinya;
إن كان يرضيكم مني عزل الحجاج عنكم عزلته ، وأبقيت عليكم أعطياتكم مثل أهل الشام ،
وليختر ابن
الأشعث أي بلد
شاء يكون عليه أميرا ما عاش وعشت ، وتكون إمرةالعراق لمحمد بن مروان
“Apabila kalian suka apabila aku memecat al-Hajjaj
dari jabatan gubernur Irak, aku akan memecatnya dan tunjangan bagi kalian akan
tetap kuberikan seperti tunjangan kepada warga Syam. Adapun Ibnu al-Asy’ats,
dia boleh memilih negeri mana saja yang dia sukai untuk menjadi gubernurnya
selama dia masih hidup dan selama aku masih hidup, kemudian jabatan gubernur
Irak akan dipegang oleh Muhammad bin Marwan.” Dia juga berpesan;
فإن لم يجب أهل العراق إلى ذلك فالحجاج على ما
هو عليه ، وإليه إمرة الحرب ، ومحمد بن مروان وعبد الله بن عبد الملك في طاعته وتحت
أمره ، لا يخرجون [ ص: 320 ] عن رأيه في الحرب وغيره
“Apabila warga Irak tidak mau dengan tawaran ini, maka
al-Hajjaj tetap menjadi gubernur Irak dan tetap menjadi panglima perang.
Muhammad bin Marwan dan ‘Abdullah bin Abdul Malik harus tetap ta’at kepadanya
dan tidak boleh menentangnya baik dalam (keaadan) perang maupun selain perang.”
[al-Bidaayah wan-Nihayah (12/319-320), cet. Daar Hijr Li al-Thabaa’ah wa
al-Nasyr, Beirut, 1418 هـ]
Namun mereka menolak islah tersebut dan mengatakan;
لا والله لا نقبل ذلك; نحن أكثر عددا وعددا ،
وهم في ضيق من الحال ، وقد حكمنا عليهم وذلوا لنا ، والله لا نجيب إلى ذلك أبدا
“Tidak, demi Allah kami tidak mau menerimanya. Jumlah kita lebih
banyak sementara mereka dalam kesulitan. Kami memutuskan untuk memerangi mereka
dan mereka telah merendahkan diri pada kita. Demi Allah, kami tidak mau
selamanya.” [al-Bidaayah wan-Nihayah (12/321), cet. Daar Hijr Li
al-Thabaa’ah wa al-Nasyr, Beirut, 1418 هـ]
Mereka kembali bersepakat untuk memerangi Abdul Malik
bin Marwan. Namun qadarullah, Allah Ta’ala menakdirkan pasukan al-Hajjaj mampu mengalahkan
pasukan Ibnu al-Asy’ats. Pada peristiwa (pemberontakan) ini, banyak para fuqaha
yang gugur di tangan al-Hajjaj yang keji. Di antaranya adalah Kumail bin Ziyad
bin Nahik bin al-Haitsam an-Nakha’I al-Kufiy, Sa’id bin Jubair, Imran bin Isham
adh-Dhuba’I, ‘Abdurrahman bin Abi Laila, Abu ‘Inabah al-Khaulani, Abu Zur’ah
al-Jaudzami al-Filisthini, ‘Abdullah bin al-Harits an-Naufal dll raheemahumullahu.
Dari kejadian mengerikan di atas dan dari peristiwa-peristiwa
serupa lainnya, para ulama (pada akhirnya) berkonsensus (bersepakat) bahwa melawan
kedzaliman para penguasa dengan jalan “pemberontakan” seperti itu (imma para penguasa
tersebut memperoleh kekuasaannya dengan cara yang bathil seperti kudeta,
demokrasi dll, red) merupakan kesalahan yang fatal dan terlarang dilakukan,
meskipun dahulu sebagian para fuqaha salaf pernah terlibat di dalamnya.
al-Hafizh Ibnu Katsir raheemahullaahu mengatakan dalam
kitabnya tatkala menjelaskan keadaan Ibnu al-Asy’ats;
جب كل العجب من هؤلاء الذين بايعوه بالامارة
وليس من قريش، وإنما هو كندي من اليمن، وقد اجتمع الصحابة يوم السقيفة على أن الامارة
لا تكون إلا في قريش، واحتج عليهم الصديق بالحديث في ذلك، حتى إن الانصار سألوا أن
يكون منهم أمير مع أمير المهاجرين فأبى الصديق عليهم ذلك، ثم مع هذا كله ضرب سعد بن
عبادة الذي دعا إلى ذلك أولا ثم رجع عنه، كما قررنا ذلك فيما تقدم
.فكيف يعمدون
إلى خليفة قد بويع له بالامارة على المسلمين من سنين فيعزلونه وهو من صلبية قريش ويبايعون
لرجل كندي بيعة لم يتفق عليها أهل الحل والعقد ؟ ولهذا لما كانت هذه زلة وفلتة نشأ
بسببها شر كبير هلك فيه خلق كثير فإنا لله وإنا إليه راجعون.
“Yang mengherankan adalah bahwa orang-orang (i.e para
fuqaha Irak) membaiatnya (i.e Ibnu al-Asy’ats) meskipun dia bukan orang
Quraisy, melainkan dari suku Kindah di Yaman. Pada hari as-Saqifah para
shahabat sepakat bahwa kepemimpinan itu harus dipegang oleh orang Quraisy.
Ash-Shiddiq (yakni Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu) berargumen dengan
hadits yang menjelaskannya. Bahkan ketika orang-orang Anshar meminta salah
seorang dari mereka dijadikan pemimpin bersama pemimpin Muhajirin, Abu Bakar
menolaknya, sehingga Sa’ad bin ‘Ubadah yang semula mengusulkan agar orang-orang
Anshar diangkat sebagai pemimpin menarik kembali usulannya, sebagaimana telah
kami uraikan sebelumnya. Maka bagaimana bisa mereka melengserkan Khalifah dari
Quraisy (i.e Abdul Malik bin Marwan) yang telah dibaiat bertahun-tahun oleh
kaum muslimin? Lalu mereka membaiat seorang laki-laki Kindah (i.e Ibnu al-Asy’ats)
yang tidak disepakati oleh Ahlul Halli wa al-Aqdi?. Oleh karena itulah
ketika terjadi kesalahan fatal ini (i.e pemberontakan) maka muncul kekacauan
yang besar dan huru-hara yang menewaskan banyak orang. Fainnalillaahi wa
inna ilaihi raaji'un.” [al-Bidaayah wan Nihayah (12/355), cet. Daar Hijr Li
al-Thabaa’ah wa al-Nasyr, Beirut, 1418 هـ]
Hal lain yang perlu kita ketahui adalah bahwa pemberontakan
itu tidak selamanya atau selalu identik dengan pedang atau senjata saja, ucapan
yang bernada provokasi dalam rangka melawan (meskipun tidak disertai dengan
senjata atau turut serta dalam peperangan, red) yang mengakibatkan tertumpahnya
darah kaum muslimin yang tak berdosa karenanya juga termasuk dalam hal ini,
sebagaimana kisah masyhur yang terdapat dalam hadits Dzul Khuwaisirah. Oleh
karenanya al-Imam asy-Sya’bi raheemahullaahu, seorang ‘alim yang tsiqah yang pada
peristiwa itu berada di pihak Ibnu al-Asy’ats mengakui dengan gentle kesalahannya
(atas provokasi yang pernah ia lakukan, red). Dia berkata;
“Setelah aku masuk aku mengucapkan selamat atas
keberhasilannya (i.e al-Hajjaj), lalu aku berkata, ‘Wahai sang gubernur, sesungguhnya
orang-orang telah memerintahkan aku untuk meminta udzur -maaf- kepadamu dengan
selain apa-apa yang telah diketahui oleh Allah bahwasanya itu benar. Dan demi
Allah dalam kesempatan ini aku tidak mengatakan sesuatu kecuali kebenaran.
Sungguh demi Allah kami telah menentangmu dan memprovokasi (menghasut massa) dan
berusaha dengan penuh kesungguhan maka kami bukanlah orang-orang yang bertakwa
lagi baik, namun bukan pula orang-orang yang keji lagi jahat. Allah telah
memberikan pertolongan kepadamu terhadap kami dan mengaruniakan pertolongan
kepadamu terhadap kami dan mengaruniakan keberuntungan dengan kami. Jika engkau
mendera maka itu karena dosa-dosa kami. Tangan-tangan kami sekali-kali tidak
pernah menyentuhmu. Dan jika engkau memaafkan kami maka itu karena kemurahan
hatimu. Selanjutnya bagimulah bukti dan alasan terhadap kami.’” [al-Bidaayah
wan-Nihaayah (12/341), cet. Daar Hijr Li al-Thabaa’ah wa al-Nasyr, Beirut, 1418
هـ]
Akhirnya, mari kita dengarkan dengan hati yang ikhlas,
pikiran yang tenang (tanpa emosi) sembari memohon petunjuk kepada Allah ‘Azza
wa Jall petuah dari al-Hafizh al-Mujahhid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
raheemahullaahu berikut;
أن الله تعالى بعث محمدا صلى الله عليه وسلم
بصلاح العباد في المعاش والمعاد وأنه أمر بالصلاح ونهى عن الفساد فإذا كان الفعل فيه
صلاح وفساد رجحوا الراجح منهما فإذا كان صلاحه أكثر من فساده رجحوا فعله وإن كان فساده
أكثر من صلاحه رجحوا تركه فإن الله تعالى بعث رسوله صلى الله عليه وسلم بتحصيل المصالح
وتكميلها وتعطيل المفاسد وتقليلها فإذا تولى خليفة من الخلفاء كيزيد وعبد الملك والمنصور
وغيرهم فإما أن يقال يجب منعه من الولاية وقتاله حتى يولى غيره كما يفعله من يرى السيف
فهذا رأى فاسد فإن مفسدة هذا أعظم من مصلحته وقل من خرج على إمام ذي سلطان إلا كان
ما تولد على فعله من الشر أعظم مما تولد من الخير كالذين خرجوا على يزيد بالمدينة وكابن
الأشعث الذي خرج على عبد الملك بالعراق وكابن المهلب الذي خرج على ابنه بخراسان وكأبي
مسلم صاحب الدعوة الذي خرد عليهم بخراسان أيضا وكالذين خرجوا على المنصور بالمدينة
والبصرة وأمثال هؤلاء وغاية هؤلاء إما أن يغلبوا وإما أن يغلبوا ثم يزول ملكهم فلا
يكون لهم عاقبة فإن عبد الله بن علي وأبا مسلم هما اللذان قتلا خلقا كثيرا وكلاهما
قتله أبو جعفر المنصور وأما أهل الحرة وابن الأشعث وابن المهلب وغيرهم فهزموا وهزم
أصحابهم فلا أقاموا دينا ولا أبقوا دنيا والله تعالى لا يأمر بأمر لا يحصل به صلاح
الدين ولا صلاح الدنيا وإن كان فاعل ذلك من أولياء الله المتقين ومن أهل الجنة
“Bahwa Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallama demi kemaslahatan para hamba di kehidupan dunia dan akhirat,
dan bahwa beliau memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kerusakan,
maka apabila dalam satu perbuatan terdapat kebaikan dan kerusakan, hendaklah
kaum muslimin mengambil mana yang paling kuat dari keduanya; jika kebaikannya
lebih banyak dari kerusakannya, hendaklah mereka melakukannya. Namun apabila
kerusakannya lebih banyak dari kebaikannya, hendaklah mereka meninggalkannya,
karena sesungguhnya Allah Ta’ala mengutus Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallama untuk menghasilkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta
menghilangkan kemudaratan dan menguranginya.
Maka, jika yang berkuasa dari kalangan khalifah (yang
tidak lebih pantas) seperti Yazid, Abdul Malik, Al-Manshur dan selain mereka;
bisa jadi dikatakan bahwa wajib mencopotnya dan memeranginya sampai ia lengser
dan digantikan oleh yang lainnya, sebagaimana yang dilakukan oleh mereka yang
berpendapat bolehnya pemberontakan, maka ini adalah pendapat yang rusak, karena
sungguh kerusakannya lebih besar dari kemaslahatannya.
Dan pada umumnya, tidaklah mereka memberontak kepada
penguasa kecuali timbul kejelekan yang lebih besar dibanding kebaikan, seperti
mereka yang memberontak kepada Yazid di Madinah, pemberontakan Ibnul ‘Asy’ats
terhadap Abdul Malik di Iraq, pemberontakan Ibnul Mulhab terhadap anaknya Abdul
Malik di Khurasan, pemberontakan Abu Muslim yang menyerukan pemberontakan
terhadap penguasa di Khurasan, juga pemberontakan terhadap Al-Manshur di
Madinah dan Bashroh dan yang semisalnya, pada akhirnya dua kemungkinan, mereka
dikalahkan atau mereka menang lalu berakhir kekuasaan penguasa sebelumnya,
namun yang terjadi adalah tidak ada hasil yang baik bagi para pemberontak
tersebut.
Abdullah bin Ali dan Abu Muslim yang melakukan
pemberontakan dengan membunuh banyak orang akhirnya keduanya dibunuh oleh Abu
Ja’far Al-Manshur, adapun penduduk Al-Harah, Ibnul Asy’ats, Ibnul Mulhab dan
selain mereka akhirnya menderita kekalahan, demikian pula pasukan-pasukannya,
sehingga mereka tidaklah menegakkan agama dan tidak pula menyisakan dunia,
padahal Allah Ta’ala tidak memerintahkan suatu perkara yang tidak menghasilkan
kebaikan bagi agama ataupun dunia, meskipun yang memberontak itu dari kalangan
wali Allah yang bertakwa dan termasuk penduduk surga (perbuatan mereka tidak
dapat dibenarkan).” [Minhaajus Sunnah, 4/313-315, terjemah; al-Ustadz Sufyan
Chalid]
Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu,..
1 Nasihat Amirul Mukminin Umar Bin Abdul Aziz –Raheemahullaahu Ta’ala-
Siapa yang tak kenal “al-Khulafa
ar-Rasyidin al-Mahdiyyin”, i.e para pemimpin kaum muslimin yang terbimbing (di
atas Kitabullah wa sunnatu ar-Rasul Shallallaahu ‘alaihi wa sallama); Abu Bakar
as-Shiddiq, ‘Umar bin Khaththab, ‘Ustman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib –radhiyallaahu
Ta’ala ‘anhum-?. Adakah orang-orang sekaliber mereka di zaman ini?. Atau siapa
yang tak pernah mendengar amirul mukminin Umar bin ‘Abdul ‘Aziz –raheemahullaahu Ta’ala-?.
Tidak ada seorang pun yang
sepadan atau setara dengan mereka dalam keimanan, ketakwaan, ilmu, tawadhu’, wara’,
zuhud, qana’ah, keadilan, jihad, dan seterusnya yang hidup di zaman ini atau
setelahnya. Meskipun demikian, kita semua tetap berdoa dan berharap mudah-mudahan
Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk dan kekuatan kepada para pemimpin (dari
kalangan kaum muslimin yang sedang berkuasa di seluruh belahan negeri saat ini,
red) agar mereka mampu mengikuti jejak-jejak para pendahulu mereka yang shalih
tersebut dalam kebaikan dan takwa, amieen.
وعن عوف
بن مالك رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((خيار أئمتكم
الذين تحبونهم ويحبونكم، وتصلون
عليهم ويصلون عليكم، وشرار
أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم، وتلعنونهم ويلعنونكم!)) قال: قلنا: أي رسول
الله، أفلا ننابذهم؟ قال: لا، ما أقاموا فيكم الصلاة، لا، ما أقاموا فيكم الصلاة))
رواه مسلم.
Dari ‘Auf bin Malik
radhiyallaahu ‘anhu dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa sallama bersabda, ‘Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian
cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan
kalian. Dan sejahat-jahatnya pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan
yang membenci kalian, kalian mengutuk mereka dan mereka mengutuk kalian.’ ‘Auf
berkata, ‘Kami bertanya wahai Rasulullah, Bolehkah kami melawan (baca:
memerangi) mereka?’, Beliau menjawab, ‘Tidak, selama mereka masih menegakkan
shalat.’” [HR. Muslim, no. 1855]
al-‘Allamah asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1421 H)
menjelaskan; “Sabda beliau, ‘kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan
kalian.’ Lafazh ash-Shalat (الصلاة) di sini maknanya adalah doa, yakni kalian
mendoakan mereka agar Allah memberikan hidayah kepada mereka, memperbaiki
orang-orang kepercayaan mereka, memberi taufik kepada mereka agar berlaku adil
dan doa-doa lain yang mengandung kebaikan bagi pemimpin. Mereka juga mendoakan
kalian dengan mengatakan, ‘Ya Allah, perbaikilah rakyat kami. Ya Allah,
jadikanlah mereka sebagai orang-orang yang melaksanakan perintah-perintah kami.’
Dan lain sebagainya.” [Syarh
Riyadhus Shaalihin, 3/647-648, Daar al-Wathan Lin-Nashr, Riyadh]
Salah satu pemimpin teladan
ummat yang akan kami nukilkan ucapan-ucapannya dalam artikel kali ini adalah
Amirul Mukminin yang mulia, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz –raheemahullaahu Ta’ala- (w.
101 H), terkhusus pidato-pidato beliau pasca ia terpilih sebagai khalifah yang menggantikan
pemimpin kaum muslimin sebelumnya, Sulaiman bin ‘Abdul Malik –raheemahullaahu Ta’ala-.
Siapakah beliau ini?
هُوَ
عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ بْنِ أَبِي الْعاصِ
بْنِ أُمَيَّةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسِ بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ أَبُو حَفْصٍ الْقُرَشِيُّ
الْأُمَوِيُّ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ .كَانَ عُمَرُ تَابِعِيًّا جَلِيلًا، رَوَى عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ،
وَالسَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، وَيُوسُفَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ،
وَيُوسُفُ صَحَابِيٌّ صَغِيرٌ. وَرَوَى عَنْ خَلْقٍ مِنَ التَّابِعِينَ. وَعَنْهُ جَمَاعَةٌ مِنَ التَّابِعِينَ وَغَيْرِهِمْ.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: لَا أَرَى قَوْلَ أَحَدٍ مِنَ
التَّابِعِينَ حُجَّةً إِلَّا قَوْلَ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ.
Ia adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
bin Marwan bin al-Hakam bin Abu al-Ash bin Umayyah bin ‘Abdu Syam bin ‘Abdu
Manaf, Abu Hafsh al-Qurasyi al-Umawi, Amirul Mukminin. Umar adalah seorang tabi’in
yang mulia, ia meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik, as-Saib bin Yazid, dan
Yusuf bin Abdullah bin Salam –radhiyallaahu ‘anhum-, Yusuf ini adalah sahabat
Yunior. Dan ia meriwayatkan dari banyak tabi’in, dan banyak juga yang
meriwayatkan darinya dari tabi’in dan lainnya. al-Imam Ahmad bin Hambal berkata
(Sirah Umar, al-Hafizh Ibn al-Jawzee, pg. 73), “Aku tidak melihat
perkataan seorang tabi’in pun sebagai hujjah kecuali perkataan Umar bin Abdul
Aziz.” [al-Bidayah
wan-Nihayah, 12/676-677, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul
Muhsin at-Turkiy]
Berkata al-Imam Ahmad (diriwayatkan
oleh al-Hafizh Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 13/287, red) mengatakan dari
‘Abdurrazzaq, dari ayahnya, dari Wahb bin Munabbih, bahwa ia berkata, “Jika di
kalangan umat ini ada seorang mahdi (imam yang terbimbing/ diberikan petunjuk,
red), maka dia adalah Umar bin Abdul Aziz.” Serupa dengan hal ini juga
dikatakan oleh Qatadah, Sa’id bin al-Musayyab dan lebih dari satu orang
lainnya.
Malik (diriwayatkan oleh
al-Hafizh Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 13/287, red) mengatakan, dari
Abdurrahman bin Harmalah, dari Sa’id bin al-Musayyab, bahwa ia berkata, “Para
khalifah adalah Abu Bakar dan dua Umar.” Lalu dikatakan kepadanya, “Abu Bakar
dan Umar telah aku ketahui, lalu siapa Umar yang lainnya?”. Ia berkata, “Jika
engkau masih hidup, engkau akan mengetahuinya.” Maksudnya adalah Umar bin Abdul
Aziz.
Demikian juga yang
diriwayatkan dari Abu Bakar bin Ayyasy, asy-Syafi’i dan lebih dari satu orang
lainnya (diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq,
13/287, red). Para ulama bersepakat secara mutlak, bahwa ia (Umar bin Abdul
Aziz) termasuk para imam yang adil, salah seorang al-Khulafa ar-Rasyidin dan
salah seorang imam yang mendapatkan petunjuk (al-Mahdi). Disebutkan oleh lebih
dari seorang bahwa ia termasuk kedua belas imam yang disebutkan di dalam hadits
shahih. [al-Bidayah
wan-Nihayah, 12/695-696, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul
Muhsin at-Turkiy]
Berikut adalah kutipan pidato-pidato
amirul mukminin Umar bin ‘Abdul Aziz –raheemahullaahu Ta’ala- yang kami ambil
dari kitab al-Bidayah wan-Nihayah karya ulama ahlut tarikh, tafsir dan hadits, al-Imam
al-Hafizh Abul Fida’ Isma’il bin Katsir ad-Dimasyqi asy-Syafi’i –raheemahullaahu
Ta’ala- (w. 774 H)
[1]. Az-Zubair
bin Bakkar (Tarikh Dimasyq, 13/277) berkata, “Muhammad bin Salam
menceritakan kepadaku, dari Sallam bin Sulaim, ia berkata, ‘Ketika Umar bin
Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah ia naik mimbar, dan pidato pertama yang
disampaikannya, ia memanjatkan puja dan puji kepada Allah, kemudian berkata; “Saudara-saudara,
barangsiapa menyertai kami maka silahkan menyertai kami dengan lima syarat,
jika tidak maka silahkan meninggalkan kami; (yakni) Menyampaikan kepada kami
keperluan orang-orang yang tidak dapat menyampaikannya, membantu kami atas kebaikan
dengan upayanya, menunjuki kami dari kebaikan kepada apa yang kami tidak dapat
menuju kepadanya, dan jangan menggunjingkan rakyat di hadapan kami serta jangan
membuat-buat hal yang tidak berguna.” Maka para penyair dan para orator pun
menghilang darinya, lalu tinggal bersamanya para ahli fikih dan para zuhud.
Dan mereka berkata, “Kami tidak akan meninggalkan orang ini hingga perbuatannya
menyelisihi ucapannya.”’ [al-Bidayah
wan-Nihayah, 12/691, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul
Muhsin at-Turkiy]
Kira-kira seperti apa ya orasi
pertama yang disampaikan para pemimpin masa kini ketika ia terpilih menjadi seorang
pemimpin yang membawahi suatu teritorry (wilayah)?, wallaahu a’lam. Apapun itu,
tetap tidak bisa dibandingkan dengan amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz –raheemahullaahu
Ta’ala-.
[2]. Yang
lainnya (Tarikh Dimasyq, 13/279) berkata, “Pada suatu hari Umar bin
Abdul Aziz menyampaikan pidato kepada masyarakat, ia berkata (yang mana ia
telah menghimpun ibrah –pelajaran-), ‘Saudara-saudara, perbaikilah akhirat
kalian niscaya dunia kalian akan baik bagi kalian, dan perbaikilah hal-hal yang
tersembunyi dari kalian niscaya hal-hal yang terbuka dari kalian akan baik bagi
kalian. Demi Allah, sesungguhnya seorang hamba itu, tidak ada lagi bapak di
antara dirinya dan Adam kecuali telah mati, sesungguhnya ia benar-benar terkait
dengan kematian.’”
Pada sebagian pidatonya (Tarikh
Dimasyq, 13/279) ia mengatakan, “Berapa banyak pemakmur (dunia) yang takjub
dengan sesuatu yang sedikit yang akan hancur, dan berapa banyak orang yang
tinggal yang terpedaya oleh sesuatu yang sedikit yang akan sirna. Maka
perbaikilah perjalanan, semoga Allah merahmati kalian, dari dunia dengan
sebaik-baik apa yang dimiliki dengan kehadiran kalian yang berupa tunggangannya
(i.e amal shalih). Karena ketika anak Adam di dunia bersaing di dunia dengan
senang dan bahagia, tiba-tiba Allah memanggilnya (i.e mematikannya) dengan
takdir-Nya, dan melemparnya dengan satu hari yang menghentikannya, lalu
merampas jejak-jejaknya dan dunianya, lalu menjadikannya milik orang lain,
semua hasil pekerjaannya dan penghasilannya. Sesungguhnya dunia itu tidak
senang dengan takdir yang membahayakan, karena hanya bisa senang sebentar namun
sedih berkepanjangan.” [al-Bidayah
wan-Nihayah, 12/692, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul
Muhsin at-Turkiy]
[3]. Isma’il
bin Ayyasy (Tarikh Dimasyq, 13/279) mengatakan, dari ‘Amr bin Muhajir,
Ia berkata, “Ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat khalifah, ia berdiri di depan
khalayak, lalu ia memanjatkan puja dan puji kepada Allah kemudian berkata, ‘Saudara-saudara,
sesungguhnya tidak ada Kitab setelah al-Qur’an dan tidak ada Nabi setelah
Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Sesungguhnya aku bukanlah seorang
penentu, akan tetapi seorang pelaksana, dan sesungguhnya aku bukan seorang yang
mengada-ada akan tetapi seorang pengikut. Sesungguhnya orang yang melarikan
diri dari seorang imam yang zhalim bukanlah seorang yang zhalim. Ingatlah,
sesungguhnya imam yang zhalim adalah orang yang bermaksiat. Ingatlah, tidak ada
ketaatan terhadap makhluk dalam bermaksiat terhadap Sang Pencipta Azza wa Jall.’”
Di dalam riwayat yang
lainnya (Tarikh Dimasyq, 13/279), bahwa di dalam pidato ini ia
mengatakan, “Dan sesungguhnya aku bukanlah seseorang yang lebih baik dari
seseorang dari kalian, akan tetapi aku adalah orang yang paling berat
menanggung beban. Ingatlah, tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam
bermaksiat terhadap Allah. Ingatlah, bukankah aku telah memperdengarkan?”. [al-Bidayah wan-Nihayah, 12/692-693,
Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy]
Ucapan beliau –raheemahullaahu
Ta’ala- sejalan dengan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama
berikut;
وعن ابن
عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((على المرء المسلم السمعُ
والطاعة فيما أحب وكره، إلا أن يؤمر بمعصيةٍ فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة))
متفقٌ عليه.
Dari Ibnu ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama beliau
bersabda, “Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat kepada pemimpin,
baik dalam hal yang dia sukai atau tidak, kecuali dia diperintah untuk
bermaksiat, maka apabila diperintah untuk bermaksiat tidak wajib mendengar dan
tidak wajib taat.” [HR. al-Bukhari, no. 6955, 7144 dan Muslim, no. 1839]
[4]. Jika
poin yang ke-1 berisi nukilan pidato Umar bin Abdul Aziz yang pertama (pasca
terpilihnya beliau sebagai khalifah, red), maka poin yang ke-4 ini adalah
pidato beliau yang terakhir. Ahmad bin Marwan (Tarikh Dimasyq, 13/279)
berkata, “Ahmad bin Yahya al-Halwani meneritakan kepada kami, Muhammad bin
Ubaid menceritakan kepada kami, Ishaq bin Sulaiman menceritakan kepada kami,
dari Syu’aib bin Shafwan, seorang anak Sa’id bin al-Ash menceritakan kepadaku,
ia berkata, ‘Khutbah terakhir yang disampaikan oleh Umar bin Abdul Aziz, ia
memanjatkan puja dan puji kepada Allah, kemudian berkata;
Amma ba’du. Sesungguhnya
kalian tidak diciptakan dengan sia-sia, dan tidak akan dibiarkan begitu saja.
Dan sesungguhnya kalian mempunyai tempat kembali, dimana Allah menempatkan
kalian di dalamnya untuk mengadili kalian dan memberi keputusan di antara kalian,
maka sungguh telah gagal dan merugi orang yang keluar dari rahmat Allah dan
diharamkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.
Tidaklah kalian tahu bahwa
esok tidak ada yang aman kecuali sekarang waspada terhadap Hari Akhir dan
merasa takut akan hal itu, menjual yang fana dengan yang abadi, yang sedikit
dengan yang banyak dan rasa takut dengan rasa aman?, Tidakkah kalian lihat
bahwa kalian berasal dari rangkaian orang-orang yang telah binasa, dan (orang-orang)
setelah kalian, akan menjadi mereka yang masih tersisa, demikian seterusnya,
hingga kita dikembalikan kepada sebaik-baik pewaris. Kemudian sesungguhnya
kalian setiap hari melepas kepergian orang yang pergi di pagi dan sore hari
kepada Allah, yaitu yang telah tiba ajalnya, hingga kalian menghilangkannya di
lubang bumi, di dalam perut lubang tanpa (adanya) bantal maupun alas. Ia telah
meninggalkan orang-orang yang disayangi, bersentuhan dengan tanah dan
menghadapi hisab, maka ia tergadai dengan amalnya, tidak lagi membutuhkan apa
yang ditinggalkannya, ia membutuhkan apa yang telah dipersembahkan (kepada
Allah Ta’ala, red). Karena itu, bertakwalah kalian kepada Allah sebelum
berakhirnya pengawasan-Nya dan turunnya kematian kepada kalian. Sungguh aku
mengatakan ini.’ Kemudian menutupkan ujung sorbannya ke wajahnya lalu menangis,
maka menangis pula orang-orang di sekitarnya.”
Di dalam riwayat lain (Tarikh
Dimasyq, 13/280) disebutkan, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar
mengatakan perkataanku ini dalam keadaan aku tidak tahu bahwa seseorang dari
kalian memiliki dosa-dosa yang lebih besar dari apa yang aku ketahui pada
diriku, akan tetapi sesungguhnya itu adalah sunnah-sunnah yang adil dari Allah;
di dalamnya Allah memerintahkan untuk mentaati-Nya dan melarang bermaksiat
terhadapnya.” Lalu ia beristighfar kepada Allah, kemudian menutupkan kain
lengan bajunya pada wajahnya lalu menangis hingga membasahi jenggotnya. Ia
tidak kembali ke tempat duduknya (tempat ia berkhutbah, red) hingga meninggal,
semoga Allah merahmatinya. [al-Bidayah
wan-Nihayah, 12/693-694, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul
Muhsin at-Turkiy]
Terakhir, perkataan amirul
mukminin yang mulia Umar bin Abdul Aziz berikut ini perlu kita resapi bersama, khususnya oleh mereka yang saat ini memegang amanah untuk memimpin atau memegang urusan umat
(rakyat), terlebih-lebih lagi bagi mereka (para pemimpin, red) yang memiliki
background pendidikan agama yang “mumpuni” (i.e kalangan agamawan, red). Please
listen this carefully!.
Istri beliau –raheemahullaahu
Ta’ala-, Fathimah binti Abdul Malik bin Marwan (Tarikh Dimasyq, al-Hafizh
Ibn Asakir, 13/2941) berkata, “Pada suatu hari aku masuk, saat itu ia
sedang duduk di tempat shalatnya sambil menopangkan pipinya pada tangannya,
sementara air matanya bercucuran di kedua pipinya, maka aku berkata, ‘Ada apa
denganmu?’, ia berkata, ‘Kasihan engkau wahai Fathimah, aku ini telah memegang
urusan umat ini, maka aku memikirkan orang fakir yang kelaparan, orang sakit
yang tidak diurus, orang yang tidak memiliki pakaian yang kesulitan, anak yatim
yang tidak dirawat, para janda yang sendirian (tidak ada yang membiayai), orang
yang dizhalimi yang tidak dapat menuntut haknya, orang asing, tawanan, orang
yang sudah tua renta, orang yang memiliki banyak keluarga namun hartanya
sedikit, dan sebagainya di seluruh penjuru bumi dan di seluruh penjuru negeri. Maka aku tahu, bahwa Rabbku ‘Azza wa Jall akan meminta
pertanggungjawabanku mengenai mereka pada hari kiamat nanti, dan bahwa lawanku
dibalik mereka adalah Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Maka aku takut
tidak memiliki hujjah (alasan) saat aku dituntut, maka aku kasihan terhadap
diriku, maka aku pun menangis.” [al-Bidayah wan-Nihayah, 12/697, Daar Hijr Lit-Thaba’ah,
tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy]
Adalah beliau –raheemahullaahu
Ta’ala-, seorang amirul mukminin yang mengikuti jejak para pendahulunya yang
shalih seperti Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khaththab, ‘Ustman bin ‘Affan dan
‘Ali bin Abi Thalib –radhiyallaahu Ta’ala ‘anhum- dalam perkara zuhud terhadap dunia.
Beliau benar-benar sangat sederhana dan qana’ah. Seandainya beliau hidup di
zaman ini, barangkali beliau adalah seorang pemimpin kaum muslimin yang paling
miskin sejagad, jauh lebih miskin dari seorang Gubernur, Camat, Lurah even
ketua RW sekalipun (note: barangkali sebagian orang akan menganggap perbandingan
ini sebagai sesuatu yang “lebay”, tapi simaklah fakta berikut!).
Malik bin Dinar (Tarikh
Dimasyq, 13/297) berkata, “Mereka mengatakan bahwa ‘Malik (i.e dia sendiri,
red) adalah seseorang yang zuhud’. Menurutku (Malik), zuhud apanya.
Sesungguhnya orang zuhud adalah Umar bin Abdul Aziz. Datang keduniaan kepadanya
dengan melimpah ruah, namun ia meninggalkannya.” Mereka berkata, “Ia hanya
memiliki satu gamis, bila mereka mencucinya, ia tinggal di rumah hingga kering.”
Mereka berkata (Tarikh
Dimasyq, 13/300), “Pada suatu hari ia masuk ke tempat isterinya, lalu ia
memintanya untuk meminjami satu dirham, atau uang untuk membeli anggur, namun
isterinya tidak menemukan apapun, maka ia (sang istri, red) berkata kepadanya, ‘Engkau
adalah Amirul Mukminin, namun dalam pundimu tidak terdapat sesuatu yang
mencukupi untuk membeli anggur?!, Umar berkata, ‘Ini lebih ringan daripada
menguraikan belenggu-belenggu di neraka Jahannam esok.’” [al-Bidayah wan-Nihayah, 12/697, Daar
Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy]
Semoga Allah Azza wa Jall
menempatkan beliau –raheemahullaahu Ta’ala- ke dalam Jannah-Nya yang tertinggi
(i.e Firdaus), amieen. Mudah-mudahan bermanfaat, Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala
a’lamu.
0 Kembalikanlah Hak Saudaramu (Baca: Piutang)
Sebagai bahan renungan saja bagi
mereka yang gemar berhutang namun enggan menunaikan kewajibannya (i.e melunasi hutang-hutangnya)
atau yang gemar menunda-nunda pengembalian hutang tanpa alasan yang jelas dalam
kondisi ia (sebenarnya) sangat mampu menyelesaikan kewajibannya tepat waktu
(i.e sesuai kesepakatan) baik dengan cara tunai (cash) maupun kredit
(mengangsur, tergantung kebaikan dan kelapangan hati orang yang meminjaminya, red).
al-Imam al-Hafizh Muhyiddin
Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 631 H)
membawakan firman Allah ‘Azza wa Jalla dan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa sallama dalam kitab haditsnya yang masyhur, Riyadhus Shalihin hal. 437-438, Daar
ar-Rayyan Lit-Turats;
Allah Ta’ala berfirman;
قَالَ
الله تَعَالَى: {إنَّ اللهَ يَأمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى
أهْلِهَا} [النساء: 58]
“Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS.
an-Nisaa’: 58)
Allah Ta’ala berfirman;
وقال
تَعَالَى: {فَإن أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ
أمَانَتَهُ} [البقرة: 283]
“Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya).” (QS. al-Baqarah: 283)
وعن أَبي
هريرة - رضي الله عنه: أنَّ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: «مَطْلُ الغَنِيِّ
ظُلْمٌ، وَإِذَا أُتْبعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَع» . متفق عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama
bersabda, “Penangguhan pembayaran hutang oleh orang kaya termasuk kezhaliman.
Jika ada seseorang di antara kalian yang disuruh untuk menagih hutangnya kepada
orang lain (dialihkan pembayarannya), maka terimalah.” (HR. al-Bukhari no.
2287, Muslim no. 1563)
al-‘Allamah al-Mufassir asy-Syaikh
Abd ar-Rahman bin Nashir as-Sa’dy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1376 H)
menjelaskan makna QS. al-Baqarah: 283 di atas;
ومنها:
أنه يجوز التعامل بغير وثيقة، ولا شهود، لقوله: {فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ
الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ}
ولكن في هذه الحال يحتاج إلى التقوى والخوف من الله، وإلا فصاحب الحق مخاطر في
حقه، ولهذا أمر الله في هذه الحال، من عليه الحق، أن يتقي الله ويؤدي أمانته.
“Bahwasannya boleh
bermuamalah tanpa ada pencatatan (dokumentasi) maupun saksi-saksi atas dasar
firman Allah Ta’ala, ‘Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya).’ Namun dalam kondisi yang seperti ini dibutuhkan
sifat ketakwaan dan takut kepada Allah. Karena jika tidak demikian, maka
pemilik hak (i.e orang yang meminjami) dalam posisi dapat dirugikan karena
haknya. Oleh karena itu dalam kondisi seperti ini Allah memerintahkan orang
yang menanggung hak orang lain untuk bertakwa kepada Allah dan menunaikan
amanat yang ditanggungnya.” [Taiseer al-Kareem ar-Rahman, 1/204-205, Daar Ibn al-Jawzee, Riyadh]
Fenomena inilah yang sering
terjadi di tengah-tengah kita pada hari ini. Itikad baik dari orang-orang yang
meminjami (i.e merelakan sebagian harta yang dimilikinya untuk dipinjamkan
kepada saudaranya yang membutuhkan demi meringankan bebannya, menjaga perasaan
saudaranya dengan tidak mendokumentasikan hutang-hutangnya, sebagaimana yang
terdapat dalam kisah sebatang kayu, red) kerap disalahartikan, disalahgunakan, dan
dijadikan celah (oleh peminjam) untuk berbuat dzalim!. Tidak berarti jika orang
yang meminjaminya itu adalah saudaranya, sahabatnya, atau partnernya lantas
ia bisa seenaknya sendiri melanggar perjanjian (kesepakatan) yang sudah
disepakati bersama. Amanah tetaplah amanah, tidak berubah statusnya meskipun orang
yang meminjaminya itu tergolong orang yang mampu. Ada baiknya ia merenungkan; Bagaimana
kiranya jika ia (berada) di posisi orang yang meminjami? Bagaimana pula perasaannya
jika ia diperlakukan sedemikian rupa oleh orang yang berhutang?.
al-Imam al-Hafizh Muhyiddin
Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 631 H)
menjelaskan;
قَوْلُهُ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ) قَالَ الْقَاضِي وَغَيْرُهُ الْمَطْلُ مَنْعُ قَضَاءِ مَا
اسْتُحِقَّ أَدَاؤُهُ فَمَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَحَرَامٌ
“Sabda Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, ‘Penangguhan
pembayaran hutang oleh orang kaya termasuk kezhaliman.’ al-Qadhi [i.e al-Imam
al-Fudhail bin Iyadh –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 187 H), red] dan lainnya
mengatakan, ‘Kata مطل (menunda
pembayaran hutang) maksudnya enggan melunasi apa yang harus ditunaikan. Dengan
demikian, menunda pembayaran hutang oleh orang yang kaya adalah kedzaliman dan
dilarang.” [Syarh Shahih Muslim, 10/227, Daar Ihya at-Turats al-‘Araby, Beirut]
al-Mufaqihul ‘Ashr al-‘Allamah
asy-Syaikh Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin ‘Utsaimin al-Wuhaiby at-Tamimi –raheemahullaahu
Ta’ala- (w. 1421 H) menjelaskan dalam syarhnya terhadap hadits yang terdapat
dalam kitab Riyadhus Shalihin di atas;
“Penulis (i.e al-Imam
an-Nawaawi –raheemahullaahu Ta’ala-) telah mencantumkan dalam kitabnya Riyadhus
Shalihin, ‘Bab Larangan Menunda-nunda Pembayaran Hutang.’ Maksudnya dalam hal
(membayarkan kewajibannya) terhadap orang lain. Menunda-nunda artinya
mengakhirkannya. Perbuatan ini merupakan kedzaliman. Apabila engkau meminjamkan
uang kepada seseorang, tetapi setiap kali engkau menagihnya, ia selalu
mengulur-ulur dan menunda-nundanya. Maka perbuatannya ini adalah salah satu
bentuk kedzaliman, hukumnya haram dan bisa menimbulkan permusuhan.
Contohnya seperti yang dilakukan oleh seorang atasan terhadap bawahannya,
seperti dengan menunda-nunda (pembayaran gaji bawahannya), melakukan intimidasi dan
hak-hak karyawan tidak diberikan. Seorang bawahan yang miskin, meninggalkan
keluarga dan kampungnya hanya demi sesuap nasi, ia harus menunggu empat, lima
bulan atau lebih, sedangkan sang atasan terus menunda-nunda (pembayaran
gajinya) dan mengancamnya, jika ia membuka mulut (maksudnya menceritakan kepada
orang lain, red), maka ia akan dipulangkan ke kampung halamannya.
Tidakkah orang-orang yang
berbuat demikian mengetahui bahwa Allah Mahakuasa, Mahatinggi dibandingkan
mereka?, sungguh mungkin bagi Allah menyuruh seseorang untuk menyakitinya
sebelum ajal menjemput (semoga kita diselamatkan) karena mereka itu adalah
orang-orang miskin. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama telah bersabda
di dalam hadits qudsinya, ‘Ada tiga golongan yang akan
menjadi musuh-Ku di hari Kiamat kelak. Orang yang berjanji atas nama-Ku lalu ia
tidak menepati janjinya.’ Maksudnya ia telah berjanji atas nama Allah,
lalu ia mengingkarinya. ‘Dan seorang yang menjual orang
merdeka lalu memakan hasil penjualannya, dan seseorang yang mempekerjakan
seorang buruh, lalu setelah ia menyelesaikan tugasnya, sang majikan tidak mau
memberikan upahnya.’ (HR. al-Bukhari no. 2227 dan 227 dari Abu
Hurairah radhiyallaahu Ta’ala ‘anhu), maka mereka-mereka itulah yang akan
menjadi musuh Allah di hari Kiamat kelak.
Perbuatan mereka ini adalah
kedzaliman. Hari-harinya hanya diisi dengan kedzhaliman sehingga jaraknya
dengan Allah semakin jauh. Sedangkan kezhaliman adalah kegelapan di hari Kiamat
kelak.
Betapa banyaknya
orang-orang yang didatangi untuk segera melunasi pembayaran hutang atau gaji,
ia hanya berkata, ‘besok atau lusa’. Padahal uangnya sangat banyak tersimpan di
brankasnya, ia telah dipermainkan setan. Seolah-olah uangnya tersebut akan
beranak pinak jika terus berada di rumahnya. Ia tidak mau uangnya berkurang
karena diambil oleh orang-orang yang memang berhak untuk menerimanya. Orang-orang
bodoh dan sesat seperti mereka ini sangat mengherankan. Apa mereka mengira
bahwa jika mereka menunda-nunda pembayarannya, maka kewajibannya akan gugur atau
berkurang?, kewajibannya tetap ada pada dirinya, dibayarkan
hari ini, sepuluh hari atau sepuluh tahun kemudian. Mereka adalah orang-orang
yang dipermainkan oleh setan. Padahal Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama bersabda, ‘Penangguhan pembayaran hutang oleh
orang kaya termasuk kezhaliman.’ Hadits ini menunjukkan bahwa jika
seorang yang miskin menunda-nunda (pembayaran hutang) tidak dikatakan dzalim
(karena ketiadaan atau minimnya harta yang ada pada dirinya, red), sebaliknya
orang yang menagih hutangnyalah yang telah berbuat dzalim. Oleh karena itu
apabila temanmu serba kekurangan, maka engkau harus menangguhkan penagihan
utangnya dan tidak menagihnya. Allah Ta’ala berfirman;
لقول
الله تعالى {وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة}
“Dan jika (orang yang
berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tanguh sampai dia berkelapangan.”
(QS. al-Baqarah: 280)
Allah Ta’ala mewajibkan
kita untuk menangguhkannya sampai datang kemudahan.” [Syarh Riyadhus Shalihin,
6/302-304, Daar al-Wathan Lin-Nashr, Riyadh]
al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdullah
bin ‘Abdurrahman bin Shalih ‘alu Bassam –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1424 H)
menjelaskan dalam kitab al-Buyu’, di dalam syarhnya terhadap kitab ‘Umdatul
Ahkam karya al-Imam al-Hafizh ‘Abdul Ghani al-Maqdisy –raheemahullaahu Ta’ala-
(w. 600 H);
مطل
الغنى: أصل " المطل " المد. تقول: مطلت الحديدة أمطلها، إذا مددتها
لتطول. و المراد تأخير ما استحق أداؤه بغير عذر. و" مطل " مصدر مضاف.
إلى فاعله، والتقدير: مطل الغنى غريمه، ظلم.
في هذا
الحديث الشريف أدب من آداب المعاملة الحسنة. فهو صلى الله عليه وسلم يأمر
المدين بحسن القضاء، كما يرشد الغريم إلى حسن الاقتضاء. فبين صلى الله عليه
وسلم أن الغريم إذا طلب حقه، أو فهم منه الطلب بإشارة أو قرينة، فإن تأخير
حقه عند الغنى القادر على الوفاء، ظلم له، للحيلولة دون حقه بلا عذر.
“مطل
الغنى
Lafazh
المطل (al-Mathlu)
berarti memanjangkan. Jika dikatakan; مطلت الحديدة أمطلها
berarti aku mengulurnya hingga menjadi panjang. Yang dimaksudkan disini adalah
menunda-nunda kewajibannya untuk memenuhi hak tanpa ada alasan.
Di dalam hadits yang mulia
ini terkandung adab muamalah yang baik. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama menyuruh orang yang berhutang untuk segera melunasi hutangnya,
sebagaimana beliau memberi petunjuk kepada orang yang memberi hutang untuk
menagih hutangnya dengan baik. Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallama menjelaskan
bahwa jika orang yang memberi hutang meminta haknya, maka ia bisa menagih
hutangnya dengan isyarat atau penyerta. Penundaan pelunasan hutang oleh orang
yang kaya yang mampu melunasinya, merupakan kedzaliman tanpa alasan.” [Taisirul ‘Alaam
Syarh ‘Umdatul Ahkam, 2/107, Daar al-Maiman, Riyadh]
Kami ambil penjelasan
asy-Syaikh ‘alu Bassam –rahemahullaahu Ta’ala- di dalam kitab syarhnya di atas sebagai
penutup;
a). Pengharaman penundaan
pembayaran hutang oleh orang kaya dan keharusan melunasi hutangnya terhadap
orang yang memberi hutang.
b). Pengharaman (tersebut) dikhususkan
bagi orang kaya yang memungkinkan melunasi hutang. Adapun orang miskin atau
orang yang lemah karena alasan-alasan tertentu, maka dia dimaafkan.
Terakhir, mari kita
renungkan sejenak nasihat asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –raheemahullaahu
Ta’ala- berikut (i.e terkait hutang);
وأنه لا ينبغي للإنسان أن يتساهل به، ومع الأسف أننا في عصرنا الآن
يتساهل الكثير منا في الدين، فتجد البعض يشترى الشيء وهو ليس في حاجة إليه، بل هو
من الأمور الكمالية، يشتريه في ذمته بالتقسيط أو ما أشبه ذلك، ولا يهمه هذا الأمر.
وقد تجد إنساناً فقيراً
يشترى سيارة بثمانين ألفاً أو يزيد، وهو يمكنه أن يشتري سيارة بعشرين ألفاً، كل
هذا من قلة الفقه في الدين، وضعف اليقين، احرص على ألا تأخذ شيئاً بالتقسيط، وإن
دعتك الضرورة إلى ذلك فاقتصر على أقل ما يمكن لك، الاقتصار عليه بعيداً عن الدين.
نسأل الله أن يحمينا وإياكم مما يغضبه، وأن يقضي عنا وعنكم دينه ودين عباده.
“Tidak sepantasnya seseorang
menganggap remeh al ini (i.e hutang). Namun sangat disayangkan, di zaman
sekarang ini kita begitu meremehkan masalah hutang. Banyak kita temukan
sebagian orang membeli sesuatu yang sebenarnya ia tidak begitu membutuhkannya,
bahkan hanya sebagai barang pelengkap saja, ia membelinya dengan tanggungan
kredit (plus dengan bunganya, red) atau lain sebagainya, dan ia tidaklah
memperhatikan hal ini. Terkadang kita menemukan seseorang yang fakir membeli
mobil dengan harga delapan ribu riyal atau lebih (sepertinya yang dimaksud oleh
Syaikh di sini adalah secara kredit, wallaahu a’lam, red), padahal bisa saja ia
membeli mobil dengan harga dua puluh ribu riyal (secara cash, wallaahu a’lam,
red). Semua ini terjadi karena rendahnya pemahaman dalam agama dan lemahnya
keyakinan (iman, red). Jagalah, jangan sampai membeli sesuatu dengan jalan
kredit, walaupun kita sangat memerlukannya. Hematlah sehemat mungkin agar
terjauh dari hutang. Kita meminta kepada Allah agar menjaga kita dari hal-hal
yang di murkai-Nya dan melepaskan kita dari hutang kepada-Nya dan kepada
hamba-Nya.” [Syarh Riyadhus Shalihin, 2/527, Daar al-Wathan Lin-Nashr, Riyadh]
Wallaahu Subhaahu wa Ta’ala
a’lamu.
0 Koruptor Itu Kafir. Benarkah?
Jujur, kami baru mendengar
kalau ternyata ada sebuah buku yang berjudul “Koruptor Itu Kafir: Telaah Fiqih Korupsi Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama” (diterbitkan oleh penerbit syi’ah, Mizan, red). Di
beberapa forum, buku ini banyak diperbincangkan, terlebih-lebih ketika ada
seorang penulis sekaligus “intelektual muda NU” (demikian menurut penuturan
wikipedia, red) bernama Zuhairi Misrawi (yang belakangan kami ketahui sebagai
aktivis JIL lulusan Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir jurusan Filsafat, red)
berkicau di twitternya (tanggal 3 Februari 2013 yang lalu);
Maksud orang ini adalah merujuk
kepada fatwa kedua organisasi Islam yang tercantum pada buku tersebut. Lantas kami
bertanya dalam hati, “Apakah benar koruptor itu kafir, How come?”. Kemudian
apakah benar buku tersebut merupakan hasil pengkajian resmi oleh dewan riset
ilmiah kedua organisasi Islam terbesar di negeri ini atau hanya hasil
telaah beberapa individu yang kemudian menisbatkan hasil kajian mereka kepada dua
induk organisasi tersebut?, wallaahu a’lam. Sebelum mencari tahu status hukum
para koruptor (apakah dia kafir atau tidak) dari kacamata syar’i, ada baiknya jika
kita memahami definisi Korupsi terlebih dahulu. Berdasarkan keterangan dari
wikipedia, istilah Korupsi berasal dari bahasa latin, i.e; corruptio, dari kata
kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan,
menyogok. Adapun definisi korupsi secara lebih luas adalah tindakan pejabat
publik, baik politisi atau pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam
tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal (ilegal) menyalahgunakan
wewenang, jabatan atau kepercayaan publk yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak (baik untuk kepentingan pribadi maupun golongan,
red). Dari sisi syar’i, tindak kejahatan ini termasuk dosa besar –kategori: mengkhianati amanah- [1]
(sebagaimana riba, zina, durhaka kepada orang tua, mencuri, membunuh dll, red)
yang pelakunya harus dihukum dengan hukuman ta’ziir. Apa itu ta’ziir?
al-‘Allamah asy-Syaikh
‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Shalih ‘alu Bassam –raheemahullaahu Ta’ala- (w.
1424 H) menjelaskan dalam syarh-nya (kitab al-Huduud);
التعزير- لغة- هو مصدر (عزَّر) وأصل العز ر: المنع، فأخذ منه، لأنه
يمنع من الوقوع في المعصية. وشرعاً: - التأديب على ذنب لا حد فيه ولا كفارة، كالاستمتاع من
المرأة بما دون الفرج، أو السرقة من غيرِ حرز، والقذف بغير الزنا، والمعاصي التي
لم يقدر لها حدود، هي الكثرة الغالبة.
“at-Ta’ziir menurut bahasa
merupakan mashdar dari ‘azzara. Asal makna al-‘Azru ialah pencegahan. Dari
makna inilah diambil kata ini (i.e ta’ziir), karena ia mencegah terjadinya
kemaksiatan. Menurut syariat berarti pemberian pengajaran atau dosa yang tidak
ada ketetapan hukumannya dan tidak ada pula penyebutan kafaratnya, seperti
mencumbui wanita selain kemaluannya atau mencuri barang yang tidak disimpan dan
dijaga, menuduh selain zina dan berbagai kemaksiatan yang tidak ada ketetapan
hukumnya, yang jenisnya amat banyak sekali.” [Taisirul ‘Allaam Syarh
‘Umdatul Ahkam, 2/379. Daar al-Maiman, Riyadh]
Bentuk hukuman ta’ziir
sendiri diserahkan kepada hakim, imam atau penguasa suatu negeri dan merekalah yang menetapkannya sebagaimana penjelasan asy-Syaikh berikut ini;
فينبغي
للحاكم ملاحظة الأحوال، والظروف، والملابسات، ليكون على بصيرة من أمره، ولتكون
تعزيرا ته وتأديباته واقعة مواقعها، وافية بمقصودها، وهو راجع إ إلى رأي الحاكم،
فقد يكون بالتوبيخ، وقد يكون بالهجر، وقد يكون بالجلد، وقد يكون بالحبس، وقد يكون
بأخذ المال، وقد يكون بالقتل.
“Hakim atau imam harus
mempertimbangkan kondisi, situasi dan berbagai faktor secara cermat tentang
masalah yang dihadapi, agar ta’ziir yang ditetapkannya benar-benar efektif dan
sesuai dengan sasarannya, karena ta’ziir ini dikembalikan kepada keputusannya.
Adapun ta’zir itu bisa berupa teguran, pengucilan, dera, penjara, menahan harta
dan bisa juga berupa hukuman mati.” [Taisirul ‘Allaam Syarh ‘Umdatul Ahkam,
2/381. Daar al-Maiman, Riyadh]
Nah sekarang, bagaimana
status hukum dari sang pelaku itu sendiri?. Jujur saja, kami pribadi belum pernah mendengar atau
mengetahui ada fatwa ulama ahlus sunnah yang mengafirkan seorang koruptor, padahal kejahatan seperti ini sudah ada sejak zaman dahulu. Mencoba berhusnuzhan, mungkin penulis buku tersebut tidak
bermaksud mengkafirkan para koruptor dari sisi aqidahnya –wallaahu a’lam- sebagaimana
keterangan Sekjen Khatib ‘Am Nahdlatul Ulama, Malik Madani yang menyatakan bahwa
seorang muslim yang melakukan korupsi belum kehilangan imannya atau menjadi
kafir. Ia berkata, “Perbuatannya (i.e korupsi) kita kutuk keras, tapi ia tidak
menyebabkan (pelakunya) kafir dari segi akidah”. Ia juga berkata, “(Status
pelakunya masih) Islam, tapi imannya tidak beres.” Namun di lapangan tidak
sedikit manusia yang memahami kata kafir (yang terdapat pada buku tersebut pasca membacanya tentunya, red) sebagai kafir i’tiqadi (yang mengeluarkan pelakunya
dari dienul Islam). Berikut adalah salah satu contoh kongkretnya;
Salah seorang penulis
resensi mengatakan; “Korupsi menjelma fakta dan realitas kejahatan yang
multikompleks dan ironis. Dampak negatifnya, korupsi lebih dari segala bentuk kejahatan
yang ada. Buku ini menjelaskan banyak unsur kejahatan kriminal yang menyatu dalam
korupsi. Dari aspek kepemimpinan, korupsi dekat dengan suap (risywah). Dari
praktek, korupsi dekat dengan pencurian (sariqah). Sementara dari segi penggelapan,
ia lebih dekat kepada ghulul (merampas harta
rampasan perang atau baitul mal). Kerusakan yang ditimbulkan lebih luas daripada
kerusakan para pelaku kejahatan perampokan (hirabah). (hlm. 127-133). Korupsi juga
mengandung unsur merampas harta dengan jalan memaksa (mukabarah atau ghasab),
menjambret (intikhab), mencopet atau mengutil (ikhtilas) dan merupakan tindakan
mengambil sesuatu secara tidak sah dalam berbagai aspeknya (ahlu suht). (hlm.
29). Segenap unsur kandungan korupsi itulah yang membuat NU dan Muhammadiyah dengan
tegas menyatakan para koruptor adalah kafir. Dosa besar korupsi tidak bisa diampuni,
sama dengan dosa syirik (menyekutukan Tuhan).” [2]
Penulis resensi di atas menyimpulkan
bahwa dosa pelaku korupsi itu tak terampuni, sama besarnya dengan dengan dosa
syirik. Bukankah ini merupakan takfir terhadap pelaku korupsi?. Judul
buku yang menurut kami –CMIIW- tidak pas (karena terlalu umum. Jika diganti dengan fasiq barangkali lebih pas, red) yang bisa
menggiring opini masyarakat terhadap pemahaman atau kesimpulan yang salah, yang -bisa jadi- tidak sejalan dengan pemahaman penulisnya (jika memang penulisnya tidak
bermaksud mengkafirkan koruptor dari sisi i’tiqad-nya, red). Korupsi adalah
perbuatan fasiq kecil yang tidak sampai mengeluarkan seseorang dari dienul
Islam. Para ulama ahlul sunnah dari dulu hingga sekarang –faktanya- sepakat
bahwa dosa besar selain syirik (fasiq kecil) itu tidak mengeluarkan seseorang
dari agama ini. Pelaku tetap dianggap sebagai seorang muslim, hanya saja keimanannya
tidak sempurna (akibat perbuatan maksiat/ dosa besar tersebut, red). Berikut
kami nukilkan pernyataan para ulama ahlus sunnah sekaligus kritikan terhadap
kesimpulan aneh sang penulis resensi –yang tergesa-gesa dalam menghukumi- di atas di antaranya;
al-Imam al-Hafizh Abu
Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawaawi asy-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- (w.
631 H) menjelaskan dalam syarh-nya ketika menafsirkan hadits
riwayat al-Imam Muslim berikut;
(لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ
مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا
يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ الْحَدِيثَ) وَفِي
رِوَايَةٍ وَلَا يَغُلُّ أَحَدُكُمْ حِينَ يَغُلُّ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَفِي رِوَايَةٍ
وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ
“Tidaklah seseorang
melakukan perbuatan zina dan pada saat melakukannya ia dalam keadaan beriman,
tidaklah seseorang mencuri pada saat melakukannya ia dalam keadaan beriman, dan
tidaklah seseorang meminum khamr pada saat melakukannya ia dalam keadaan
beriman.” Dalam riwayat lain, “Dan tidaklah salah seorang dari kamu berkhianat pada saat berkhianat dia dalam keadaan
mukmin.” Dalam riwayat yang lain, “Dan (kesempatan) bertaubat dibentangkan
setelah itu.”
Para ulama memperselisihkan
makna hadits-hadits ini dan pendapat yang benar menurut para pentahqiq adalah
janganlah seseorang melakukan perbuatan maksiat ini sedangkan ia beriman secara
sempurna. Redaksi inilah yang dijadikan sandaran dalam peniadaan iman pada seseorang.
Sedangkan yang dimaksud dengan peniadaan iman adalah peniadaan tentang
kesempurnaannya sebagaimana seseorang yang mengatakan, “Tidak ada ilmu kecuali
yang bermanfaat, tidak ada harta kecuali unta, tidak ada kehidupan kecuali
kehidupan akhirat.”
Kami menafsirkannya seperti
(keterangan) di atas karena berdasarkan hadits Abu Dzar –radhiyallaahu ‘anhu-
bahwa, “Barang siapa yang mengucapkan Laa ilaha illallaah, maka ia masuk surga
meskipun ia berzina dan mencuri.” Selain itu, hadits ‘Ubaidah bin ash-Shamit
–radhiyallaahu ‘anhu- menjelaskan bahwa mereka berbai’at kepada Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallama untuk tidak mencuri, tidak berzina, tidak
bermaksiat dan seterusnya. Kemudian Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama
berkata kepada mereka, “Maka barangsiapa di antara kamu yang memenuhinya maka
ia mendapatkan pahala dari Allah, dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari
perbuatan tersebut lalu ia dihukum di dunia, maka itu adalah penebusnya, dan
barangsiapa yang melakukannya dan dia tidak dihukum maka urusannya kepada
Allah, jika Dia menghendaki (untuk mengampuni) maka Dia akan mengampuninya dan
jika Dia menghendaki (untuk mengadzab), maka Dia akan mengadzabnya.” Dua hadits
shahih ini semakna dengan firman Allah ‘Azza wa Jall;
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لمن يشاء
“Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik) dan Dia mengampuni
dosa yang selain itu (syirik) bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nisaa:
48)
Kami juga berpedoman
pada ijma’ (kesepakatan para ulama) bahwa pezina, pencuri, pembunuh dan
selain mereka yang termasuk dosa besar selain syirik bahwa mereka tidak menjadi
kafir karena melakukan perbuatan tersebut, tetapi mereka adalah orang yang
tidak sempurna keimanannya. Jika mereka bertaubat, maka akan
gugur hukumannya, jika mereka meninggal dalam keadaan terus melakukan dosa
besar, maka (mereka) berada dalam kehendak Allah Ta’ala, jika Dia menghendaki,
maka Dia akan mengampuni mereka dan langsung memasukannya ke dalam surga, dan
jika Allah Ta’ala mengendaki, maka Dia akan mengadzab mereka terlebih dahulu
(di dalam neraka, red) kemudian memasukannya ke dalam surga.” [Syarh Shahih
Muslim, 2/41-42. Daar Ihyaa at-Turaats al-‘Arabiy, Beirut]
al-Imam al-Hafizh Abu Muhammad
bin Husain bin Mas’ud al-Farra’ al-Baghawiy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 516 H)
menjelaskan dalam bab: “Barangsiapa mati dan tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatu apapun”;
قَالَ
الإِمَامُ الْحُسَيْنُ بْنُ مَسْعُودٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ: اتَّفَقَ أَهْلُ
السُّنَّةِ عَلَى أَنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَخْرُجُ عَنِ الإِيمَانِ بِارْتِكَابِ
شَيْءٍ مِنَ الْكَبَائِرِ إِذَا لَمْ يَعْتَقِدْ إِبَاحَتَهَا، وَإِذَا عَمِلَ
شَيْئًا مِنْهَا، فَمَاتَ قَبْلَ التَّوْبَةِ، لَا يُخَلَّدُ فِي النَّارِ، كَمَا
جَاءَ بِهِ الْحَدِيثُ، بَلْ هُوَ إِلَى اللَّهِ، إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ، وَإِنْ
شَاءَ عَاقَبَهُ بِقَدْرِ ذُنُوبِهِ، ثُمَّ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ،
كَمَا وَرَدَ فِي حَدِيثِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فِي الْبَيْعَةِ.
“al-Imam al-Husain bin
Mas’ud –raheemahullaahu- berkata: Ahlus sunnah sepakat bahwa orang mukmin tidak akan keluar dari
keimanan (baca: kafir) lantaran melakukan dosa besar bila dia tidak meyakini
kehalalannya. Jika dia melakukan dosa besar tersebut lalu mati dan belum
sempat bertaubat maka dia tidak akan kekal di dalam neraka sebagaimana yang
diterangkan dalam hadits. Urusannya diserahkan kepada Allah, Jika Dia
berkehendak, Dia bisa mengampuninya, namun jika tidak Dia bisa menghukumnya
sesuai kada dosanya itu, kemudian dia akan dimasukkan ke dalam surga
berdasarkan rahmat-Nya sebagaimana yang diterangkan oleh hadits ‘Ubadah bin
ash-Shamit tentang bai’at.” [Syarhus Sunnah Lil Baghawi, 1/103. al-Maktab
al-Islamiy, Dimasyq]
Keponakan sekaligus murid
dari al-Imam Isma’il bin Yahya bin Isma’il al-Muzani asy-Syafi’i
–raheemahullaahu Ta’ala- (w. 264 H), al-Imam Hujjatul Islam Abu Ja’far Ahmad
bin Muhammad bin Salamah bin Salimah bin ‘Abdul Malik ath-Thahawiy al-Hanafiy
–raheemahullaahu Ta’ala- (w. 321 H) berkata;
وأهل الكبائر من أمة
محمد صلى الله عليه وعلى آله وسلم في النار لا يخلدون، إذا ماتوا وهم موحدون وإن
لم يكونوا تائبين، بعد أن لقوا الله عارفين "مؤمنين" وهم في مشيئته
وحكمه، إن شاء غفر لهم وعفا عنهم بفضله، كما ذكر عز وجل في كتابه: (ويغفر
ما دون ذلك لمن يشاء) وإن شاء عذبهم في النار بعدله: ثم يخرجهم منها
برحمته وشفاعة الشافعين من أهل طاعته: ثم يبعثهم إلى جنته
“Para
pelaku dosa-dosa besar dari ummat Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama
masuk neraka, akan tetapi mereka tidak kekal (sebagaimana orang kafir,
red), apabila mereka mati dalam keadaan bertauhid. Jika mereka tidak
bertaubat setelah (nanti) mereka bertemu Allah sebagai orang-orang yang
mengetahui lagi beriman, dimana mereka berada di bawah kehendak (masy’iah) dan
ketentuan hukum-Nya, maka jika Allah menghendaki, Dia (bisa) mengampuni mereka
dengan karunia-Nya, sebagaimana yang Allah ‘Azza wa Jall sebutkan di dalam
kitab-Nya, “Dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu (syirik) bagi
siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa: 48). Dan jika Dia menghendaki,
Dia (bisa) mengadzab mereka di dalam neraka dengan keadilan-Nya, kemudian Allah
mengeluarkan mereka darinya (neraka, red) dengan rahmat-Nya dan syafa’at para
pemberi syafa’at dari orang-orang yang ta’at kepada-Nya, lalu Allah akan
mengirimkan mereka ke surga-Nya.”
asy-Syaikh DR. Shalih bin
Fauzaan bin ‘Abdullah al-Fauzaan –hafizhahullaahu Ta’ala-
menjelaskan dalam syarh-nya terhadap ucapan al-Imam ath-Thahawiy di atas; “Dosa-dosa
besar adalah dosa-dosa selain syirik akan tetapi di atas dosa-dosa kecil.
Prinsip dasar suatu dosa dikatakan dosa besar adalah: setiap dosa yang harus
ditegakkan hukuman (had) atasnya, atau yang mendapatkan ancaman murka atau
laknat Allah, atau neraka, atau Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama
antipati terhadap orang-orang yang melakukannya. Inilah dosa besar, seperti
misalnya sabda beliau;
غشنا
فليس منا. أخرجه مسلم (رقم101)
“Barangsiapa yang menipu
kami maka dia bukan dari kami.” (HR. Muslim, no. 101)
Juga sabda beliau;
من حمل
علينا السلاح فليس منا أخرجه
البخاري (رقم 6874) ومسلم (رقم 98، 100، 101).
“Barangsiapa yang membawa
senjata untuk melawan kami, maka dia bukan dari kami.” (HR. al-Bukhari, no.
6874 dan Muslim, no. 98, 100, dan 101)
Semua poin prinsip dasar
ini menunjukkan bahwa dosa bersangkutan adalah dosa besar, akan tetapi di bawah
dosa syirik. Pelaku dosa-dosa besar tersebut tidak
keluar dari iman (baca: kafir), akan tetapi dia tetap seorang mukmin yang
kurang imannya, atau bisa juga dinamakan orang fasiq. Inilah pandangan ahlus
sunnah wal jama’ah; mereka tidak mengkafirkan (seorang muslim) karena dosa-dosa
besar selama dia bukan syirik, akan tetapi mereka juga tidak memberikan
kepadanya iman secara mutlak. Mereka memberikannya iman kepadanya yang
diberi batasan, sehingga dikatakan; ‘Dia mukmin dengan imannya, akan tetapi
fasiq dengan dosa besarnya (i.e yang dilakukannya). Maka tidak dikatakan bahwa
orang semacam ini adalah seorang mukmin dengan keimanan sempurna sebagaimana
yang dikatakan golongan murji’ah. Tetapi juga tidak dikatakan bahwa dia keluar
dari Islam (kafir) sebagaimana yang dikatakan oleh Khawarij dan Mu’tazilah.” [at-Ta’liqaatu
al-Mukhtasharatu ‘ala Matni al-‘Aqidah ath-Thahaawiyyah hal. 154-155. Daar
al-‘Ashimah Li an-Nashr wa at-Tawzi’, Riyadh]
Al-Imam Muwafaqquddin Abu
Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisy ad-Dimasyqi
ash-Shaalihi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 629 H)
berkata dalam kitab aqidahnya;
ولا نكفر أحدا من أهل القبلة بذنب، ولا نخرجه عن الإسلام بعمل
“Kita
tidak (boleh) mengkafirkan seseorang pun dari ahli kiblat karena suatu dosa
dan kita tidak mengeluarkannya dari Islam karena suatu perbuatan (dosa).” [Lum’atul
I’tiqad, hal. 38]
al-‘Allamah asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin at-Tamimi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1421 H)
menjelaskan ucapan al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisy di atas di dalam syarh-nya;
أهل
القبلة هم المسلمون المصلون إليها لا يكفرون بفعل الكبائر ولا يخرجون من الإسلام
بذلك ولا يخلدون في النار
“Ahli kiblat adalah kaum
muslimin yang shalat menghadap ke (arah) sana. Mereka
tidak boleh dikafirkan karena melakukan dosa-dosa besar dan tidak boleh
dikeluarkan dari Islam karena itu, dan tidak dinyatakan kekal di dalam
neraka.” [Syarh Lum’atul I’tiqad al-Haadi ila Sabiil ar-Rasyad, hal. 149.
Maktabah Adhwaa’ as-Salaf, Riyadh]
al-Hafizh Syaikhul Islam Taqiyuddin
Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdussalam bin ‘Abdullah bin al-Khidr
bin Muhammad bin Taimiyyah an-Numairy al-Harani ad-Dimasyqi al-Hambaliy –raheemahullaahu
Ta’ala- (w. 728 H) berkata ketika menjelaskan tentang Iman di
dalam kitabnya, yakni;
قَوْلٌ،
وَعَمَلٌ. قَوْلُ: الْقَلْبِ، وَاللِّسَانِ. وَعَمَلُ: الْقَلْبِ،
وَاللِّسَانِ، وَالْجَوَارِحِ. وَأَنَّ الْإِيمَانَ: يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ، وَيَنْقُصُ
بِالْمَعْصِيَةِ. وَهُمْ مَعَ ذَلِكَ، لَا يُكَفِّرُونَ أَهْلَ الْقِبْلَةِ بِمُطْلَقِ
الْمَعَاصِي وَالْكَبَائِرِ، كَمَا تَفْعَلُهُ «الْخَوَارِجُ» ، بَلْ الْأُخُوَّةُ
الْإِيمَانِيَّةُ ثَابِتَةٌ مَعَ الْمَعَاصِي. كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي آيَةِ الْقِصَاصِ: {فَمَنْ
عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوف} [البقرة: 178] .
“Perkataan dan amal
perbuatan, perkataan: hati dan lisan, amal perbuatan: hati dan lisan, serta
anggota badan. Dan bahwa iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang
dengan kemaksiatan. Namun demikian, mereka (ahlus
sunnah wal jama’ah, red) tidak mengkafirkan ahlul kiblat dengan berbagai kemaksiatan
dan dosa besar secara mutlak yang jelas-jelas ia lakukan, sebagaimana yang
dilakukan oleh kelompok khawarij; akan tetapi ukhwah imaniyyah tetap ada,
sekalipun dengan adanya berbagai kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah
Subhaanahu wa Ta’ala di dalam ayat qishash, ‘Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang ma’ruf.’ (QS. al-Baqarah: 178).. dst.” [al-‘Aqidah al-Wasithiyyah,
hal. 113. Maktabah Adhwaa’ as-Salaf, Riyadh]
Dan masih banyak lagi
ucapan para ulama ahlus sunnah yang lain yang senada dengan ucapan para ulama salaf
di atas (meskipun mereka berbeda mahzab fiqh). Jika ada orang yang beropini
bahwa orang fasiq (kecil) atau pelaku dosa besar selain syirik itu telah kafir
atau keluar dari Islam (sebagaimana yang dikatakan oleh sekte khawarij, red), maka pendapat tersebut bertentangan
dengan ijma’ as-salaf ash-shalih. Akhirnya, jangan sampai kebencian kita
terhadap seseorang e.g para pelaku dosa besar (semisal koruptor)
menimbulkan musibah lain yang justru menimpa diri kita sendiri (i.e fitnah
takfir) akibat kejahilan kita terhadap ‘ilmu ad-dien. Tidak ada manusia yang sempurna
dan maksum dari dosa kecuali Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, dan adalah Allah Subhaanahu wa Ta’ala, Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap
hamba-hamba-Nya yang bertaubat. Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.
__________
[1]. Klik sumbernya di sini
[2]. Klik sumbernya di sini
Langganan:
Postingan (Atom)