My Father, My Inspiration



Esok hari, 1 October 2012 adalah akhir dari perjalanan karir nan panjang seorang pendidik, sekaligus hari terakhir ia mengajar murid-muridnya di sekolah dasar (secara formal). Tak terasa sudah empat puluh tahun ia mengabdi kepada negeri ini, tak terhitung banyaknya ujian hidup yang sudah ia lalui selama itu. Hampir 2/3 umurnya ia habiskan untuk mendidik anak-anak desa nan lugu, membantu mereka mewujudkan cita-citanya yang tinggi. He’s my great teacher, my beloved father, and my best partner. Ia lahir di Yogyakarta, enam puluh tahun yang lalu, atau tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan. Ia lahir dan besar di tengah-tengah keluarga yang sangat sederhana, menjadi anak yatim sejak belia. Ia merupakan anak tertua dari tiga bersaudara. Kedua orang tuanya berprofesi sebagai petani, “Kerjo neng alas” kata orang sana. Sepetak sawah yang tidak luas menjadi mata pencaharian utama kedua orang tuanya. Diceritakan, jika mereka mempunyai rejeki lebih, mereka membeli ternak untuk dipelihara. Seandainya suatu saat kebutuhan hidup sehari-hari tidak tercukupi (karena musim paceklik misalnya, red) maka ternak-ternak itulah yang menjadi sumber penghasilannya. Ternak adalah investasi yang paling berharga dan paling mudah diliquidasi waktu itu. Cita-citanya sederhana, “menjadi seorang guru”. Puluhan kilo meter harus ia tempuh setiap harinya demi mengejar impiannya itu. Ia pernah bercerita bahwa bekerja keras adalah keharusan agar ia tidak putus sekolah. Bisa dimaklumi karena tulang punggung utama keluarga (i.e ayahnya) sudah lama tiada. Tidak ada namanya sepeda onthel atau sepeda motor, yang ada hanyalah berjalan kaki!. Pengorbanannya tidak sia-sia, Allah Subhaanahu wa Ta’ala menjawab dan mengabulkan doanya. Setelah lulus dari SPG (Sekolah Pendidikan Guru, setingkat SMA, red) ia diterima sebagai guru (PNS). Waktu itu melamar sebagai PNS tidak sesulit dan serumit masa sekarang. Ia ditempatkan di sebuah daerah yang berjarak ratusan kilo meter dari tempat kelahirannya.


Setelah berkarir beberapa tahun lamanya, berbekal keseriusan dan itikad baik untuk membangun sebuah keluarga yang samara, ia memberanikan diri melamar seorang gadis cantik (versi ayah kami). Pinangannya “tak bertepuk sebelah tangan” alias diterima. Kemudian mereka menikah. Dengan tabungan seadanya mereka memilih hidup mandiri, menempati rumah sederhana yang agak jauh dari kedua orang tuanya. Jangan dibayangkan kalau rumah-rumah di pedesaan waktu itu bertembok dan beralaskan keramik, yang ada hanyalah bilik-bilik bambu dan lantai tanah. Tak lama berselang, anak pertama mereka lahir (seorang perempuan, red), disusul anak kedua tiga tahun kemudian (anak laki-laki, red).


Alhamdulillah, itulah kalimat yang paling pantas saya ucapkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Azza wa Jalla. “Segala puji bagi Allah”;

 ( الْحَمْدُ لِلَّهِ ) [هو] الثناء على الله بصفات الكمال, وبأفعاله الدائرة بين الفضل والعدل, فله الحمد الكامل, بجميع الوجوه

“Adalah pujian kepada Allah dengan sifat kesempurnaan dan dengan perbuatan-perbuatanNya yang berkisar di antara kemuliaan dan keadilan, bagiNya pujian yang sempurna dalam segala bentuknya.” Demikian penjelasan al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman bin Nasheer as-Sa’dee –raheemahullaahu- dalam tafsirnya[1].


Dan Dia -Azza wa Jalla- adalah Rabb yang memelihara keluarga kami, menjaga keluarga kami, memberikan rejeki dan hidayah kepada keluarga kami.

هي خلقه للمخلوقين, ورزقهم, وهدايتهم لما فيه مصالحهم, التي فيها بقاؤهم في الدني

“Dia menciptakan makhluk, memberi rizki kepada mereka, memberi hidayah mereka kepada hal-hal yang berguna bagi mereka yang merupakan sarana terpenting bagi mereka dalam mempertahankan hidup di dunia.”[2]


Allah Ta’ala mentakdirkan saya lahir dan besar di tengah-tengah mereka, bisa melihat, dan merasakan perjuangan mereka dari bawah. Itulah salah satu nikmat (dunia) terbesar yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada saya yang dhaif ini. Sekedar mengenang moment-moment “indah waktu kecil bersama keduanya; saya ingat ketika Allah Ta’ala mengirimkan musibah (banjir) di pertengahan malam kepada kami (waktu itu saya berusia sekitar 6-7 tahun, red), arus air yang sangat deras (setinggi pinggang orang dewasa) hampir saja merobohkan dan menghanyutkan gubuk kami. Seluruh perabotan terapung-apung, lantai rumah yang terbuat dari tanah itu tergerus habis dan hampir rata. Allah menyelamatkan kami dari bencana tersebut. Demikianlah, selalu ada hikmah dibalik musibah, keluarga kami cepat berbenah, membangun kembali rumah permanen (yang jauh lebih kokoh) yang bertahan hingga hari ini. Saya mengalami masa dimana aliran listrik belum menjangkau desa kami. Satu-satunya penerangan yang paling terang waktu itu adalah lampu petromak. Itu pun hanya dinyalakan dari pukul 18.00 – 21.00, demi mengakomodasi waktu belajar kami. Jika di waktu shubuh kami dibangunkan (oleh salah satu dari keduanya) untuk belajar, lampu tempel-lah yang setia menerangi. Satu-satunya moda transportasi yang ayah miliki waktu itu adalah sepeda tua nan kokoh. Kendaraan inilah yang selalu setia mengantar kami berempat kemana pun kami pergi. Qadarullah, “harta” berharga kami satu-satunya itu hilang dicuri orang, namun beberapa tahun kemudian Allah Ta’ala menggantinya dengan sesuatu yang lebih bermanfaat. Hiburan mingguan (baca: weekend) yang paling menarik hanyalah berkunjung/ bersilaturahmi ke tempat para kerabat atau ke rumah guru-guru lain seprofesinya. Keluar kota?, bisa dihitung dengan jari. Ayah selalu mengunjungi rumah-rumah mereka yang terdapat anak kecil seusia kami agar kami tidak bosan. Hampir setiap minggu selalu begitu, entah itu dengan bersepeda maupun berjalan kaki. Berangkat ba’da maghrib dan pulang sebelum tengah malam. Ayah kami dikenal sebagai sosok yang disiplin di sekolah, tidak pernah pilih kasih, tidak pernah membeda-bedakan termasuk kepada anaknya sendiri. Pernah suatu ketika ia mengajar mata pelajaran favoritnya (i.e matematika) di kelas; adalah saya, objek yang paling banyak dikritik olehnya (di hadapan teman-teman). Porsi bermain yang lebih banyak daripada belajar, menjadi alasan teguran keras waktu itu. Well, baginya, semua anak didiknya itu sama. Jika mereka rajin ia puji, jika mereka malas ia tegur. Demikian salah satu uslub yang ia terapkan dalam mendidik. Ia lakukan secara turun-temurun kepada murid-muridnya, dari generasi ke generasi.


Seandainya tolok ukur keberhasilan adalah kekayaan, niscaya hanya ada sedikit orang-orang yang dianggap berhasil di dunia ini. Ayah kami bukanlah orang yang kaya harta (hingga hari ini, red), tapi bagi kami ia adalah seorang panutan yang berhasil. Pengabdiannya yang sangat panjang dalam mengentaskan kebodohan di pedesaan layak diapresiasi. Ia membantu mencerdaskan anak-anak desa nan lugu, mengajarinya budi pekerti luhur dan membuka wawasan baru tentang kehidupan. Sosok yang bertanggungjawab, mencintai istri dan kedua anaknya. Bagi kami itu sudah lebih dari cukup, wallaahi.


Kini usianya tidak muda lagi, sebagian besar nama dan wajah anak didiknya terdahulu tidak bisa ia ingat kembali. Ada cerita yang menarik, Iedul Fithri yang lalu ada seorang pemuda dan keluarganya (ia adalah seorang enterpreneur, red) yang datang berkunjung ke rumah kami, ia bercerita bahwa sejak puluhan tahun yang lalu ia tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah kelahirannya itu. Setelah mengunjungi sisa-sisa kerabatnya di desa, ia sempatkan diri untuk singgah ke rumah kami. Ia bertanya kepada ayah kami waktu itu, “Apakah bapak masih ingat saya?. Saya dahulu yang demikian dan demikian itu Pak.” Ayah kami hanya tersenyum dan berkata, “Yang mana ya, maaf, saya sudah lupa.”


Ada satu prinsip hidup yang menjadi pegangan ayah kami dalam memimpin keluarganya (selama puluhan tahun itu), sebuah pepatah Jawa;



“Ngudi Kratoning Narimo Nggayuh Swargo Tentrem”. Intinya adalah; Jalani hidup apa adanya, terima dan syukuri apapun dan berapapun rizki yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikan, merasa cukup (qana’ah) terhadapnya, tidak putus asa terhadap rahmatNya, dan bertawakal kepadaNya, sehingga beban hidup yang terasa berat akan menjadi lebih ringan untuk dihadapi dan (hati) akan terasa lebih tentram. Hal ini sejalan dengan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala;

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya.” (QS: ath-Thalaq: 3)

(وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ) أي: في أمر دينه ودنياه، بأن يعتمد على الله في جلب ما ينفعه ودفع ما يضره، ويثق به في تسهيل ذلك (فَهُوَ حَسْبُهُ) أي: كافيه الأمر الذي توكل عليه به، وإذا كان الأمر في كفالة الغني القوي [العزيز] الرحيم، فهو أقرب إلى العبد من كل شيء

‘Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah,’ dalam urusan agama dan dunianya dengan bergantung sepenuhnya kepada Allah Ta’ala dengan maksud untuk mendapatkan apa-apa yang bermanfaat dan menghindari apa-apa yang mudharat serta percaya sepenuhnya kepada Allah Ta’ala bahwa ia akan diberi kemudahan, ‘niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya.’ Maksudnya, Allah Ta’ala akan mencukupi keperluan yang disandarkannya kepada Allah Ta’ala. Dan ketika suatu urusan berada dalam tanggungan Yang Mahakaya, Makakuat, Mahaperkasa lagi Mahapenyayang, maka Dia paling dekat dengan hambaNya melebihi segala sesuatu.” Demikian penjelasan al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman bin Nasheer as-Sa’dee –raheemahullaahu- dalam tafsirnya.[3]


Baginya, melihat anak-anaknya sukses, berakhlak luhur, lebih baik daripada mengisi perabotan rumahnya dengan barang-barang mewah tak berguna. Mesin jahit, lampu petromak, lampu tempel, dan tumpukan buku-buku pelajaran sekolah dari kurikulum ke kurikulum, dari generasi ke generasi itu merupakan “saksi bisu” perjuangannya. Mudah-mudahan Allah Azza wa Jall menjaganya (guru kami, ayah kami), memanjangkan umurnya, memperbaiki agama dan amal shalihnya, menjadikan sisa hidupnya bermanfaat bagi dirinya, keluarga, kerabat dan tetangga-tetangganya, amieen.


From your son and those who love and respect you.....


______________
[1]. Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 1, juz. 1, tafsir QS. al-Fatihah: 1
[2]. Idem
[3]. Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 7, juz. 28, tafsir QS. ath-Thalaq: 3
[Baca Selengkapnya...]


Pemikiran GanJIL Sang Tokoh JIL (Bag. 2)




Kemudian Allah Ta’ala menyebut golongan kedua seraya berfirman, ‘Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal shalih,’ maksudnya mereka yang menggabungkan antara keimanan kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, Hari Akhir dan takdir baik dan buruk dengan amal shalih, dari yang wajib maupun yang mustahab, ‘tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik.’ Amalan yang baik maksudnya apabila seorang hamba menginginkan dengan amalannya itu Wajah Allah dan mengikuti syariat Allah dan (juga tidak) sedikit pun (tersia-siakan). Bahkan, Allah menjaganya untuk orang-orang yang mengamalkannya dan memberikan balasan yang sempurna dengan pahala sesuai amalan mereka.

Allah Ta’ala menyebutkan pahala mereka dengan berfirman, ‘Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga ‘Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang mas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah’.(Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 4, juz. 15, tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail)


Penjelasan di atas menurut kami sangat jelas, dan sekaligus merupakan sanggahan terhadap pernyataan/pendapat nyleneh bin rancu dari Pak Yai MFM tersebut. Apalagi Allah Ta’ala berfirman dalam ayatNya yang lain;

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)

Artinya agama selain Islam itu tidak diridhai dan tidak diterima di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Al-‘Allamah as-Sa’dy –raheemahullaahu (w. 1376 H) menjelaskan; “Allah Ta’ala memberitakan, ‘Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah,’ maksudnya, agama yang mana Allah tidak memiliki agama selainnya dan tidak pula diterima selainnya adalah ‘Islam’, yang artinya ketundukan kepada Allah semata, secara lahir maupun batin dengan apa yang disyariatkanNya melalui lisan rasul-rasulNya, Allah Ta’ala berfirman;

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85)

Maka barangsiapa yang beragama dengan selain agama Islam, maka hakikatnya ia tidak beragama untuk Allah. Karena ia tidak menempuh jalan yang disyariatkanNya melalui lisan rasul-rasulNya.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 1, juz. 3, tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail)


Keganjilan dan “keajaiban” lain dari pendapat Pak Yai ini bisa kita temukan pada kutipan selanjutnya sebagai berikut;



What?, apa kami tidak salah dengar Pak Yai?, “Yahudi atau Nasrani, asal mereka punya iman yang kokoh dan beramal saleh, bagi mereka pahala yang besar. Itu diakui.” Kira-kira di al-Qur’an surat apa dan ayat ke berapa ya?. Bagaimana dengan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikut?;

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. al-Furqan: 23)

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ (39

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. An-Nur: 39)

مَّثَلُ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لاَّ يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُواْ عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلاَلُ الْبَعِيدُ

“Orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS. Ibrahim: 18)

Al-‘Allamah as-Sa’dy –raheemahullaahu- (w. 1376 H) menjelaskan;

(لا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ) ولا على مثقال ذرة منه لأنه مبني على الكفر والتكذيب

‘Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia).’ Bahkan tidak (mampu mendapatkan manfaat) sebesar biji dzarrah pun dari amalannya. Pasalnya, amalan tersebut berpondasi pada kekufuran dan pendustaan.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 4, juz. 13, tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail)


Pak Yai juga bilang, “Surga itu tidak milik satu agama tertentu.” Bukankah ini statement yang subjective Pak Yai?, dalilnya apa?. Sudah berlalu penjelasannya bahwa satu-satunya agama yang Allah Ta’ala ridhai hanyalah Islam. Maka tidak masuk akal jika Allah Ta’ala menyediakan pula surgaNya bagi penganut agama lain selain Islam (yang nyata-nyata tidak Dia ridhai). Tahukah anda para pembaca yang budiman (note: kalau Pak Yai seharusnya sudah tahu lah, jadi pertanyaan ini kami tujukan hanya untuk para pembaca, red), bahwa kelak di akhirat, orang-orang kafir itu menginginkan sekiranya dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim?. Kalau tidak percaya, perhatikan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikut;

الر تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ وَقُرْآنٍ مُبِينٍ (1) رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ (2) ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ (3

“Alif, laam, raa. (Surat) ini adalah (sebagian dari) ayat-ayat Al-Kitab (yang sempurna), yaitu (ayat-ayat) Al-Qur'an yang memberi penjelasan. Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS. al-Hijr: 1-3)

Itulah harapan orang-orang kafir (baik itu dari kalangan Yahudi, Nashara, Majusi dan penyembah berhala lainnya) yang tidak akan pernah terwujud di akhirat kelak i.e keingingan menjadi orang-orang muslim (di dunia). 

Al-‘Allamah as-Sa’dy –raheemahullaahu- (w. 1376 H) menjelaskan;

أن ما هم عليه باطل وأن أعمالهم ذهبت خسرانا عليهم

“Mereka akan mengetahui bahwa keyakinan yang mereka pegangi adalah bathil, amalan-amalan mereka akan lenyap menjelma menjadi kerugian yang musti mereka tanggung.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 4, juz. 14, tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail)


Terakhir Pak Yai bilang, “Jadi jangan melecehkan orang lain karena perbedaan agama.” Pak Yai juga harus bilang ke mereka dong (biar adil), “Janganlah kalian lecehkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Rabb kalian semua wahai Yahudi dan Nashara.” Apa bukti pelecehan mereka?, Tatkala Allah Ta’ala menjelaskan kepada makhluqNya (mengenai diriNya) bahwa;

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
“Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan.” (QS. al-Ikhlas: 3)

Mereka, kaum Yahudi dan Nashara itu malah melecehkan Allah Ta’ala dengan mengatakan;

قَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah.’ Dan orang-orang Nashrani berkata: ‘Al-Masih itu putera Allah.’ Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut-mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu, dilaknati Allah-lah mereka. Bagaimana mereka sampai berpaling?.” (QS. at-Taubah: 30)

Manakah ucapan yang lebih keji Pak Yai, melecehkan sesama makhluq atau melecehkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala?. Kalau ada orang yang mengimani dan mengatakan secara terang-terangan bahwa Yahudi dan Nashrani itu kafir, tempat mereka kelak adalah neraka Jahannam itu dianggap sebagai tindakan pelecehan terhadap mereka, maka bagaimanakah sikap Pak Yai terkait firman Allah Ta’ala yang sangat tegas berikut?;

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putera Maryam”.” (QS. Al Maidah: 17)

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab (Yahudi dan Nashara) dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al Bayyinah: 6)


Silahkan dipikirkan Pak Yai. Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.



Sumber:
2). Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 1, vol. 4 dengan tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail
[Baca Selengkapnya...]


Pemikiran GanJIL Sang Tokoh JIL (Bag. 1)



Jumlah orang pinter di negeri ini sebenarnya melimpah ruah, tapi yang benar-benar istiqamah (baca: tidak keblinger, red) di atas jalan yang lurus itu tidaklah banyak –wallaahu a’lam-. Ada yang sedari awal memposisikan dirinya sebagai tokoh “antagonis” melalui berbagai pernyataan dan sikap kontroversialnya terhadap syariat, melontarkan stigma buruk terhadap mutaqaddimin dan mutaakhirin yang konsisten menyerukan al-Haq, wala’ dan gandrung terhadap ideologi sekuler dan liberal, dan intim dengan para pengusungnya. Ada pula yang sedari awal bersikap “protagonis” terhadap syariat, vokal dalam menyuarakan kebenaran, namun belakangan menjadi lemah, bersikap moderat (yang) tidak pada tempatnya dan kerap mengaburkan esensi kebenaran itu sendiri. Bisajadi karena jabatan, harta, popularitas, atau kepentingan politis lain –wallaahu a’lam-. Sosok yang terkenal idealis dan berilmu pun nyatanya bisa berubah menjadi pragmatis (sedemikian rupa), lantas bagaimana dengan orang-orang awamnya ya? (just a rhetorical question). Barangkali mereka khawatir, jika mereka berbicara blak-blakan (apa adanya), popularitasnya menjadi menurun, penilaian masyarakat menjadi berubah dan konstituennya menjadi berkurang karenanya. Atau karena alasan klasik lainnya; i.e bisa memecah belah persatuan!. Ini adalah dampak dari berbagai macam penyakit kronis (yang menimpa ummat), mulai dari fitnah infiltrasi ideologi, politik praktis produk demokrasi yang ternyata tidak syar’i itu dan fitnah dunia. Contoh “cerdik pandai” yang terjebak dalam pusaran ideologi seperti itu adalah Kyai MFM, seorang pengurus inti organisasi keagaamaan terbesar di Indonesia, sekaligus tokoh liberalis masa kini. Ia berkata dalam wawancaranya dengan Majalah Detik Edisi 27 Agustus – 2 September 2012)[1];


Memang betul Pak Yai bahwa urusan surga dan neraka itu bukan urusan makhluq, melainkan urusan Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Hanya Dia semata yang berhaq menentukan seseorang itu berada di surgaNya atau di nerakaNya. Namun tidak berarti pula bahwa manusia itu tidak diberikan pilihan sama sekali untuk menentukan masa depannya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala sudah memberikan petunjuk jalan yang terang kepada manusia agar bisa merasakan kenikmatan abadi di surgaNya yang luas dan (sebaliknya) Dia juga sudah memberikan peringatan (warning) kepada hamba-hambaNya (melalui lisan para RasulNya, red) agar tidak melalui jalan-jalan kesesatan yang (hanya) akan membawa mereka masuk ke dalam nerakaNya yang panas. Itulah mengapa Allah Ta’ala menganugerahkan kehendak kepada makhluq. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman;

مِنكُم مَّن يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ الآخِرَةَ

“Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” (QS. Ali Imran: 152)

فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ

“Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” (QS. Al-Kahfi: 29)

Bukankah itu merupakan sebuah pilihan dari Allah Ta’ala kepada hambaNya?. Hanya saja (sebagaimana yang diterangkan dalam ayat di atas) ada di antara manusia yang lebih menghendaki kehidupan dunia yang fana daripada kehidupan akhirat yang kekal, dan ada pula manusia yang lebih memilih jalan kekafiran daripada jalan keimanan kendati hujjah yang terang sudah ditegakkan kepada mereka. Dan ini adalah fakta yang terjadi dari zaman ke zaman. Perlu kiranya ditegaskan (disini) bahwasannya Allah Ta’ala bukanlah Dzat yang zhalim yang memasukkan manusia ke dalam api neraka dan mengazabnya tanpa (adanya) sebab. Dia adalah Dzat Yang Mahaadil. Jika pada akhirnya manusia mendapatkan azab, itu karena ulah mereka sendiri.

Yang lebih aneh lagi adalah pernyataan Pak Yai berikut, “Jangan dikira kalau kita beramal saleh lalu beriman menurut keyakinan kita masuk surga, sementara yang tidak seiman dengan kita masuk neraka”. Benarkah demikian?. Kami yakin Pak Yai sebenarnya sudah tahu (kebenaran yang sesungguhnya), hanya saja ia berpura-pura tidak tahu atau hanya ingin membiaskan sesuatu yang sudah jelas hukumnya demi tujuan tertentu –wallaahu a’lam-. Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengabarkan (melalui lisan NabiNya Shalallaahu ‘alaihi wa sallama) mengenai balasan orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shalih. Allah Ta’ala berfirman;

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.” (QS. al-Baqarah: 25)

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا (29) إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلا (30) أُولَئِكَ لَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الأَنْهَارُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَيَلْبَسُونَ ثِيَابًا خُضْرًا مِنْ سُنْدُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ مُتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الأَرَائِكِ نِعْمَ الثَّوَابُ وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقًا (31

“Dan katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir’. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zhalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal shalih, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik. Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga ‘Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang mas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah.” (QS. Al-Kahfi: 29-31)

Berkata al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1376 H) tatkala menjelaskan ayat diatas;

أي: قل للناس يا محمد: هو الحق من ربكم أي: قد تبين الهدى من الضلال، والرشد من الغي، وصفات أهل السعادة، وصفات أهل الشقاوة، وذلك بما بينه الله على لسان رسوله، فإذا بان واتضح، ولم يبق فيه شبهة

( فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ) أي: لم يبق إلا سلوك أحد الطريقين، بحسب توفيق العبد، وعدم توفيقه، وقد أعطاه الله مشيئة بها يقدر على الإيمان والكفر، والخير والشر، فمن آمن فقد وفق للصواب، ومن كفر فقد قامت عليه الحجة، وليس بمكره على الإيمان، كما قال تعالى

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ  

وليس في قوله: ( فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر ) الإذن في كلا الأمرين، وإنما ذلك تهديد ووعيد لمن اختار الكفر بعد البيان التام، كما ليس فيها ترك قتال الكافرين.

ثم ذكر تعالى مآل الفريقين فقال: ( إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ ) بالكفر والفسوق والعصيان ( نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ) أي: سورها المحيط بها، فليس لهم منفذ ولا طريق ولا مخلص منها، تصلاهم النار الحامية  ( وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا ) أي: يطلبوا الشراب، ليطفئ ما نزل بهم من العطش الشديد  ( يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ ) أي: كالرصاص المذاب، أو كعكر الزيت، من شدة حرارته  ( يَشْوِي الْوُجُوهَ ) أي: فكيف بالأمعاء والبطون، كما قال تعالى 

يُصْهَرُ بِهِ مَا فِي بُطُونِهِمْ وَالْجُلُودُ * وَلَهُمْ مَقَامِعُ مِنْ حَدِيدٍ

 (بِئْسَ الشَّرَابُ ) الذي يراد ليطفئ العطش، ويدفع بعض العذاب، فيكون زيادة في عذابهم، وشدة عقابهم ( وَسَاءَتْ ) النار ( مُرْتَفَقًا ) وهذا ذم لحالة النار، أنها ساءت المحل، الذي يرتفق به، فإنها ليست فيها ارتفاق، وإنما فيها العذاب العظيم الشاق، الذي لا يفتر عنهم ساعة، وهم فيه مبلسون قد أيسوا من كل خير، ونسيهم الرحيم في العذاب، كما نسوه

ثم ذكر الفريق الثاني فقال: ( إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ) أي: جمعوا بين الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر والقدر خيره وشره، وعمل الصالحات من الواجبات والمستحبات ( إِنَّا لا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلا ) وإحسان العمل: أن يريد العبد العمل لوجه الله، متبعا في ذلك شرع الله. فهذا العمل لا يضيعه الله، ولا شيئا منه، بل يحفظه للعاملين، ويوفيهم من الأجر، بحسب عملهم وفضله وإحسانه، وذكر أجرهم بقوله: ( أُولَئِكَ لَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الأنْهَارُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَيَلْبَسُونَ ثِيَابًا خُضْرًا مِنْ سُنْدُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ مُتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الأرَائِكِ )

“Maksudnya ‘Katakanlah’ wahai Muhammad kepada umat manusia bahwa, ‘Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu,’ maksudnya, sungguh telah menjadi jelas antara petunjuk dan kebatilan, kebenaran dan kesesatan, sifat-sifat orang-orang yang berbahagia dan sifat-sifat orang-orang yang sengsara. Demikian itu berdasarkan hasil penjelasan Allah melalui lisan RasulNya. Apabila telah jelas, nampak, dan tidak ada kesamaran padanya, ‘maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir,’ maksudnya tidak ada pilihan kecuali dengan menempuh salah satu dari dua jalan sesuai dengan adanya taufik bagi seorang hamba atau tidaknya. Allah telah memberinya kehendak untuk memilih antara keimanan dan kekufuran, kebaikan dan keburukan. Barangsiapa beriman, maka sungguh dia telah diberi taufik menuju kebenaran, dan barangsiapa yang kafir, maka sungguh hujjah telah tegak atasnya, tidak ada yang memaksanya untuk beriman. Sebagaimana firman Allah Ta’ala;

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ  

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam; sesungguhnya sudah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.” (QS. al-Baqarah: 256)

Bukan berarti dalam firman Allah, ‘maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir’ mengandung pengertian dibolehkannya dua perbuatan tersebut. Akan tetapi, hal itu merupakan peringatan dan ancaman bagi orang yang memilih kekafiran setelah adanya penjelasan yang sempurna. Sebagaimana ayat itu memuat pengertian untuk membiarkan orang-orang yang kafir tanpa diperangi.

Kemudian Allah Ta’ala menyebutkan tempat kembali dua golongan itu. Allah Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zhalim itu,’ karena kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan mereka, ‘neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.’ Maksudnya pagar-pagarnya mengepung mengelilingi mereka, maka tidak ada celah keluar dan jalan untuk melarikan diri meninggalkannya. Api neraka membakar mereka. ‘Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih,’ maksudnya seperti timah yang mencair atau seperti kerak minyak karena panas, ‘yang menghanguskan muka.’ Maka bagaimana (jadinya) dengan usus-usus dan perut-perut mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala;

يُصْهَرُ بِهِ مَا فِي بُطُونِهِمْ وَالْجُلُودُ * وَلَهُمْ مَقَامِعُ مِنْ حَدِيدٍ

“Dengan air itu dihancurluluhkan segala yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka). Dan untuk mereka, cambuk-cambuk dari besi.” (QS. al-Hajj: 20-21)

‘Itulah minuman yang paling buruk,’ yang ditujukan untuk meghilangkan rasa dahaga dan menolak sebagian azab, namun malah menjadi penambah siksa mereka dan kedahsyatan hukuman mereka. dan ‘yang paling jelek,’ maksudnya, neraka itu (adalah tempat yang paling jelek sebagai) ‘tempat istirahat.’ Ini merupakan celaan tentang keadaan neraka, bahwasannya neraka merupakan seburuk-buruk tempat yang digunakan sebagai tempat beristirahat, karena tidak ada tempat yang nyaman di dalamnya. Akan tetapi, di dalamnya adalah siksa yang besar dan berat, yang tidak berhenti barang sesaat pun dari mereka. Mereka berduka cita di dalamnya, berputus asa dari segala kebaikan. Allah Yang Mahapengasih telah melupakan (tidak mempedulikan) mereka dalam siksa sebagaimana mereka telah melupakanNya (di dunia).


[Baca Selengkapnya...]


Wahyu Vs Logika: Catatan Kecil Untuk Mr. A (Bag. 2)




So, just sami’na wa atha’na saja, mengimani dan menerima apa yang sudah Allah Ta’ala dan RasulNya tetapkan dan jelaskan dengan lapang dada. Masak sih (dalil yang sangat terang dan jelas begitu) masih juga kita ingkari, apalagi dibenturkan dengan akal kita yang kadang jernih dan kadang keruh itu. Atau barangkali sampeyan mempunyai dalil lain yang lebih rajih selain hujjah “logika” yang sering dijadikan barometer kebenaran oleh ahlul kalam (Filsafat) dan kaum Mu’tazilah itu?.. J. Hanya Allah Ta’ala dan si pelaku saja yang tahu, apakah dia bersungguh-sungguh dalam bertaubat kepada Allah Ta’ala (dari tindakan korupsinya), bersungguh-sungguh dalam melakukan amal shalih, atau hanya sekedar bermain-main dan hanya ingin “mengakal-akali” syariat saja…. Kenapa kita harus sewot dan merasa aneh ketika Allah Ta’ala dan Rasul-Nya mengabarkan bahwa amal shalih itu bisa menghapus dosa-dosa?.. :D. Itulah sisi ke-Mahabaikan Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya, sekalipun mereka mempunyai dosa setinggi langit atau membawa dosa sebanyak isi bumi… sekarang tinggal manusianya saja mau bersungguh-sungguh dalam bertaubat dan beramal shalih apa tidak atau hanya sekedar bermain-main saja…. Wallaahu a’lam,…”

Kemudian Mr. A mengkritisi ucapan kami seraya mengatakan, “Jangan remehkan logika,… dst”. Barangkali ini adalah reaksi spontan darinya atas kritikan kami terhadap cara dia beristidlal –wallaahu a’lam- i.e membenturkan atau menimbang dalil yang shahih dengan logika, kemudian menganggapnya “aneh” jika bertentangan dengan logika. Kami mempunyai jawaban singkat terkait reaksinya tersebut –dengan beberapa tambahan redaksi-;

“Kami tidak mengabaikan peran logika (secara mutlak) Pak, namun hanya (sekedar) menempatkan logika pada tempatnya. Yakni, tidak menjadikan logika sebagai tolok ukur dalam menilai kebenaran suatu masalah di atas syariat yang shahih. Itu adalah manhaj para shahabat dan para aimmah yang mengikuti mereka dengan ihsan.  Para pendahulu kita yang shalih lo ya yang mengatakannya, bukan kami yang jahil ini, atau mutaakhirin yang sering anda quote kata-katanya di wall itu. Jika logika/akal kita sejalan dengan syariat yang shahih dalam menilai keabsahan sesuatu, maka memang demikianlah seharusnya. Tapi jika logika kita bertentangan dengan nash yang shahih, ya jangan mengedepankan logika di atas nash karena bisa berkonsekuensi pada penolakan khabar shahih tersebut (sebagaimana kaum Mu’tazilah menolak hadits-hadits shahih yang tidak sejalan dengan logika mereka, red). Coba simak ucapan Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu berikut;

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا حَفْصٌ يَعْنِي ابْنَ غِيَاثٍ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ عَبْدِ خَيْرٍ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ الْأَعْمَشِ بِإِسْنَادِهِ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ مَا كُنْتُ أَرَى بَاطِنَ الْقَدَمَيْنِ إِلَّا أَحَقَّ بِالْغَسْلِ حَتَّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَهْرِ خُفَّيْهِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ الْأَعْمَشِ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ بَاطِنُ الْقَدَمَيْنِ أَحَقَّ بِالْمَسْحِ مِنْ ظَاهِرِهِمَا وَقَدْ مَسَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ظَهْرِ خُفَّيْهِ وَرَوَاهُ وَكِيعٌ عَنْ الْأَعْمَشِ بِإِسْنَادِهِ قَالَ كُنْتُ أَرَى أَنَّ بَاطِنَ الْقَدَمَيْنِ أَحَقُّ بِالْمَسْحِ مِنْ ظَاهِرِهِمَا حَتَّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِهِمَا قَالَ وَكِيعٌ يَعْنِي الْخُفَّيْنِ وَرَوَاهُ عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ الْأَعْمَشِ كَمَا رَوَاهُ وَكِيعٌ وَرَوَاهُ أَبُو السَّوْدَاءِ عَنْ ابْنِ عَبْدِ خَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ عَلِيًّا تَوَضَّأَ فَغَسَلَ ظَاهِرَ قَدَمَيْهِ وَقَالَ لَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ وَسَاقَ الْحَدِيثَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-‘Ala telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari al-A’masy dari Abu Ishaq dari ‘Abdu Khair dari Ali radhiyallaahu ‘anhu dia berkata; “Seandainya agama (Islam) itu berdasarkan hasil pikiran (logika, red), niscaya bagian bawah sepatu lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya, dan sungguh saya telah melihat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama mengusap bagian atas kedua khufnya”. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi’ telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abdul Aziz dari al-A’masy dengan isnadnya, dengan hadits ini, dia (Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu) berkata; “Saya tidak pernah membayangkan kecuali bahwa bagian bawah kedua telapak kaki itu lebih pantas untuk dibasuh, sampai saya melihat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama mengusap bagian atas kedua khuf beliau.” Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-‘Ala telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari al-A’masy dengan hadits ini, dia (Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu) berkata; “Seandainya agama (Islam) itu berdasarkan hasil pikiran (logika), tentulah bagian dalam kedua kaki lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Dan sungguh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama telah mengusap bagian atas kedua khufnya”. Dan diriwayatkan oleh Waki’ dari al-A’masy dengan isnadnya, dia (Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu) berkata; “Saya pernah berpendapat bahwa bagian bawah telapak kaki itu lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya, hingga saya melihat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama mengusap bagian luar (atas) keduanya.” Waki’ berkata; Maksudnya sepasang khuf. Dan diriwayatkan oleh Isa bin Yunus dari al-A’masy sebagaimana diriwayatkan oleh Waki’ dan diriwayatkan oleh Abu as-Sauda dari Ibnu ‘Abdi Khair dari ayahnya dia berkata; ‘Saya pernah melihat Ali berwudhu, dia membasuh bagian luar (atas) kedua telapak kakinya dan berkata, “Seandainya bukan karena aku melihat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama,… lalu dia menyebutkan hadits tersebut.” (HR. Abu Dawud No. 162, al-Baihaqi 1/292. Ad-Daruquthni 1/75, ad-Darimi 1/181, al-Baghawi No. 239 dan Ahmad No. 934 dan 970 dari berbagai jalan dan dinyatakan shahih oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam  at-Talkhish al-Kabir 1/160)

Perhatikan apa yang kami garis bawahi di atas Pak. Menurut akal, seharusnya bagian bawah khuf (yang mungkin terkontaminasi oleh najis atau kotoran) lebih layak untuk diusap atau dibersihkan daripada bagian atasnya (yang tidak menempel langsung ke tanah). Demikian logika shahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu sebelum beliau melihat langsung praktek Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dalam hadits di atas. Bukankah demikian Pak?, Tapi anehnya, pemahaman yang benar justru sebaliknya. Nah itulah yang saya maksud dengan “jangan mengedepankan logika” diatas wahyu, apalagi jika hal tersebut berkaitan dengan permasalahan syariat. Sayangnya cara pandang ini terjadi pada case anda (diatas). Saya coba kutip lagi ya –barangkali lupa-, “Kalau begitu logikanya maka korupsi bisa dibersihkan dengan sholat,...”, kemudian anda meringis (tertawa/tersenyum) seolah-olah hal tersebut aneh. Padahal sangat jelas dan terang (menurut syariat) bahwa amal baik itu bisa menghapus amal buruk jika seseorang itu bertaubat (kalau dosanya dosa besar) dan melakukan amal shalih dengan sungguh-sungguh,..”


Komentar inilah yang terakhir kami posting dan sempat muncul di wall-nya -sebelum beberapa menit kemudian- (status beserta seluruh komentar-komentarnya) dihapus olehnya, Great,.....


Sebagai penutup kami kutip beberapa nasihat [buat kami pribadi -yang dhaif lagi jahil ini- terkhusus Mr. A (yang sepertinya aqlaniy)] dari para Imam ahlus sunnah wal jama’ah terdahulu terkait ahlu ra’yi (orang-orang yang menuhankan akal) dan peringatan terhadap bahayanya orang-orang yang lebih mengedepankan akal diatas wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah) agar kita tidak menjadi bagian darinya atau terjebak di dalamnya;

Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Ahli Ra’yi telah menjadi musuh-musuh Sunnah. Hadits-hadits Nabi telah menjadikan mereka tidak mampu memahaminya, dan tidak dapat meriwayatkannya, sehingga mereka pun bergegas menuju pendapat akal.(Jaami’ Bayan al-‘Ilmi hal. 975 bab; ‘al-Farqu Baina at-Taqliidi wal Ittibaa’, al-Hafizh Ibnu Abdil Barr. Kami nukil dari Syarh Ushul as-Sunnah: Walid bin Muhammad Nubaih)

Mudah-mudahan Mr. A bisa mengubah ushlubnya dalam memandang sesuatu (i.e tidak mengedepankan logika, perasaan di atas nash), karena dikhawatirkan akan terjebak dalam posisi sebagai musuh sunnah secara tidak sadar. Jika demikian keadaannya, tentu merupakan musibah dan kerugian yang besar bagi dirinya. Wallaahu a’lam

Berkata asy-Syaikh al-Imam Abul Muzhaffar ‘Abdul Malik bin Ali bin Muhammad al-Hamdani –raheemahullaahu- dengan sanadnya (bisa rekan-rekan lihat di Syarh Ushul as-Sunnah, red) hingga ‘Abdus bin Malik al-Aththar, dia berkata, “Aku mendengar Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal berkata, “Pondasi ahlus sunnah menurut kami adalah: (salah satunya) ... as-Sunnah tidak boleh dibuat permisalan dan tidak dapat diukur dengan akal dan hawa nafsu, akan tetapi dengan ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dengan ikhlas, red) dan meninggalkan hawa nafsu.(Ushul as-Sunnah, al-Imam Ahmad bin Hanbal. Kami kutip dari Syarhnya)

Demikian pula dengan al-Imam asy-Syafi’i, beliau –raheemahullaahu Ta’ala- berkata; “Sesungguhnya anggapan baik dengan akal adalah menuruti selera nafsu.(ar-Risalah, hal. 507. Kami nukil dari Ilmu Ushul al-Fiqh al-Bida’)

Sebenarnya masih banyak perkataan para ulama salafush shalih terkait larangan mendahulukan akal di atas nash yang shahih. Tapi nukilan perkataan diatas kami kira sudah mencukupi. Wallaahu Ta’ala a’lamu.


Note: Artikel ini tidak kami buat untuk menjatuhkan kredibilitas Mr. A yang kami hormati. Kami dan dia bukanlah person-person yang ma’shum. Seorang yang sangat ahli dan mumpuni dalam ilmu dunia seperti ilmu teknik atau yang memiliki pendidikan yang tinggi (seperti dirinya) pun sangat mungkin terjatuh dalam kesalahan, entah itu karena kejahilan atau pun hawa nafsu. Dan kami tidak merasa kami lebih pandai atau lebih mengetahui darinya, oleh karenanya kami nukilkan perkataan para ulama yang faqih dalam hal ini agar lebih objektif. -Wallaahu a’lam-

_________
Rujukan:
(1). Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 1, juz. 3, tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail
(2). Syarh Ushul as-Sunnah: Walid bin Muhammad Nubaih
(3). Ilmu Ushul al-Fiqh al-Bida’: Ali Hasan al-Halabi
(4). www.ustadzaris.com
(5). http://118.98.214.82/hadisonline/hadis9
[Baca Selengkapnya...]


 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula