Anak Yang Shalih Adalah Investasi Yang Lestari



Bagi sebagian besar orang, harta/ kekayaan merupakan investasi terbaik di dunia, sampai-sampai mereka rela menghabiskan sebagian besar waktu dan umurnya hanya untuk mencari dan mengumpulkan harta. Sedikit saja dari mereka yang berpendapat bahwa “sesungguhnya anak yang shalih itu merupakan investasi terbesar seseorang yang tak ternilai harganya” (selain amal shalih tentunya, red). Mengapa anak yang shalih?. Di saat orang lain tidak tahu dan tidak mau tahu tentang batasan harta yang boleh diambil dan dinikmati, anak yang shalih selalu membekali dirinya dengan ilmu dien [yang syar’i] dalam mencari dan mengumpulkan harta yang halal dan thayib, di saat orang lain tidak tahu bagaimana seharusnya ia memperlakukan kedua orang tuanya yang masih hidup, anak yang shalih mampu memahami dan mengejawentahkan perintah Allah Ta’ala dan RasulNya dengan berbakti kepada keduanya dengan cara yang baik dan syar’i. Di saat orang lain lebih suka menghambur-hamburkan harta [amanah] orang tuanya untuk sesuatu yang sia-sia dengan cara yang boros, anak yang shalih lebih suka membelanjakkan harta keduanya dengan cara yang adil dan bijak demi kemaslahatan dirinya dan orang banyak. Ketika orang lain sibuk mempermalukan kedua orang tuanya di depan manusia dengan perilakunya/ akhlaknya yang tercela, anak yang shalih berjuang dengan gigih agar mampu menahan lisannya, memperbaiki amalan dan akhlaknya sehingga kehormatan dan nama baik keduanya tetap terjaga. Tatkala orang lain tanpa malu menuntut kemewahan duniawi kepada kedua orang tuanya, anak yang shalih lebih suka bersyukur, bersabar dan bersikap qana’ah atas pemberian Allah Ta’ala melalui keduanya. Tatkala orang lain sibuk bermaksiat kepada Rabbnya Azza wa Jalla, anak yang shalih sibuk bermunajat kepadaNya dan membekali dirinya dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Ketika orang lain menelantarkan dan melalaikan hak kedua orang tuanya di waktu senjanya, anak yang shalih sibuk merawat, melayani dan menjaga hak-hak keduanya, Dan ketika orang lain lalai mendoakan kebaikan dan memohonkan ampunan kepada Rabbnya Azza wa Jalla untuk kedua orang tuanya yang telah wafat, anak yang shalih selalu mengisi hari-harinya dengan mendoakan kebaikan dan ampunan bagi keduanya hingga kelak Allah Ta’ala mewafatkan dirinya. Dua kebaikan bisa didapatkan oleh orang tua sekaligus, i.e kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat kelak.


Harta dunia bisa kita cari dan bisa kita kumpulkan kapan saja selama kita mau berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan banyak bersyukur kepadaNya. Tapi mendidik seorang anak yang berakhlak mulia lagi berilmu itu tidak lebih mudah dari mengumpulkan harta dunia. Mendidik anak yang shalih, taat kepada Allah Ta’ala dan RasulNya, serta berbakti kepada kedua Ibu Bapaknya sebagaimana Ibrahim ‘Alaihissalam, Ismail ‘Alaihissalam, Isa ‘Alaihissalam, dan para anbiya yang lain, atau para shahabat radhiyallaahu ‘anhum dan para salafus shalih yang lain sungguh membutuhkan perjuangan yang gigih. Tapi justru di situlah sisi mulia dari para orang tua yang rela bersusah payah mendidik dan menanamkan kebaikan kepada anak-anaknya. Al-‘Allamah al-Fadhil asy-Syaikh Shalih al-Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan –semoga Allah Ta’ala menjaganya- memberikan sedikit nasihat kepada para orang tua. Beliau -hafizhahullaahu- berkata;


“Wahai hamba-hamba Allah, sesungguhnya para pemuda itu adalah tiangnya umat, mereka adalah generasi penerus dan dari merekalah akan berdiri bangunan umat ini. Dari mereka akan muncul para ulama, pembimbing umat, para mujahid, dan para teknokrat. Bila mereka menjadi pemuda yang shalih maka akan menjadi penyejuk mata bagi orang tua mereka yang masih hidup dan menjadi pahala yang terus mengalir bagi orang tua mereka yang telah meninggal dunia. Mereka akan saling bertemu bila kesemuanya masuk ke dalam surga.

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
Allah berfirman (artinya) : “Dan orang-orang beriman lalu diikuti anak keturunannya dalam keimanan, maka Kami pertemukan mereka dengan anak keturunannya tersebut.” [Ath-Thuur : 21]


جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ
Allah berfirman (artinya) : “Surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang shalih dari kalangan bapak-bapak, istri-istri dan anak keturunan mereka. Para malaikat menyambut mereka di setiap pintu surga.” [Ar-Ra’d : 23]

Karena itu, perhatian para Nabi ‘Alaihimussalaam sangat diarahkan kepada anak keturunan mereka sebelum lahir. Inilah Nabi Ibrahim al-Khalil ‘Alaihissalam yang berdoa (artinya) :

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي
“Ya Rabbku, jadikanlah aku sebagai orang yang menegakan shalat dan juga demikian bagi anak keturunanku.” [Ibrahim : 40]


Inilah Nabi Zakariya ‘Alaihissalaam yang berdoa (artinya) :

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Ya Rabbku, anugerahkanlah bagiku anak keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa hamba-Mu.” [Ali Imran : 38]


Hamba yang shalih pun berdoa (artinya) :

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي
“Ya Rabbku, limpahkanlah anugerah untuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu, berbakti kepada kedua orangtuaku, beramal shalih yang Engkau ridhai dan perbaikilah anak keturunanku.” [Al Ahqaf : 15]


Dahulu para salaf ash-shalih memberikan perhatian kepada anak-anak mereka sejak usia dini. Mereka mengajari dan menumbuhkembangkan anak-anak di atas kebaikan, menjauhkan anak-anak dari kejelekan, memilihkan guru yang shalih, pendidik yang bijak dan bertakwa untuk anak-anak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallama mendorong para orang tua untuk memulai dengan pendidikan agama dan akhlak kepada anak-anak sejak usia tamyiz. Beliau bersabda (artinya) :

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat pada usia 7 tahun. Pukullah mereka (bila meninggalkan shalat) pada usia 10 tahun. Pisahkanlah tempat tidur mereka (di usia tersebut).” [HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan al-‘Allamah al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, no. 247]


Wahai hamba-hamba Allah, sesungguhnya pemuda umat ini bila rusak maka robohlah bangunan umat ini. Musuh-musuh Islam akan menguasai mereka. Selanjutnya akan sirnalah keberadaan umat ini. Diantara hal yang menyayat hati dan membuat mata kita menangis adalah apa yang kita saksikan dari kebanyakan pemuda saat ini. Mereka berani kepada orang tuanya, akhlaknya rusak, agamanya rusak, bergerombol di jalan-jalan setelah waktu ashar sampai penghujung malam untuk melakukan kesia-siaan dengan mobil mereka (kalau di negeri kita-motor-pent.), menggangu pengguna jalan dan penduduk, mengundang bahaya bagi orang lain, meninggalkan shalat bahkan mengganggu kekhusyu’an orang shalat, keburukan menyelimuti mereka, menyebarnya rokok dan narkoba, buruknya akhlak dan terjerumus dalam kekejian.


Keburukan telah berhasil membeli mereka, bahaya telah mengancam, mereka telah berani melawan orang yang menasehati dan melarang perbuatan mereka. Hendaknya kalian bertakwa kepada Allah, wahai hamba-hamba Allah. Ketahuilah bahwa kalian sedang berada di masa yang penuh dengan kerusakan. Kalian hidup di tengah-tengah musuh. Orang-orang jahat menebarkan kerusakan di tengah-tengah kalian dalam bentuk makar yang halus dan tipu daya yang jahat. Ketahuilah bahwa perbendaharaan dan kekayaan terbesar yang kalian hasilkan di dunia ini setelah amal shalih adalah anak-anak kalian. Di dalam sebuah hadits, Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda (artinya) :

إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
“Bila anak cucu Adam meninggal dunia, maka terputuslah pahala amal shalihnya, kecuali pahala dari 3 hal : shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan kebaikan untuk orang tuanya.” [HR. Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu]


Sesungguhnya anak-anak itulah yang akan menjaga kalian setelah kalian berusia lanjut dan lemah. Merekalah yang akan mengganti kalian untuk menjaga kehormatan kalian. Mereka lebih bermanfaat bagi kalian daripada harta kalian. Lalu bagimana kalian bisa menyia-nyiakan urusan mereka dan tidak peduli terhadap mereka?!


Seseorang menyesal dan minder takala melihat orang-orang kafir mampu memperhatikan pendidikan anak-anaknya dengan materi duniawi, tidak membiarkan anak-anaknya berkeliaran di jalan-jalan, tidak membiarkan anak-anaknya menganggur, bahkan mengatur kehidupan anaknya dengan tertib. Adapun kebanyakan kaum muslimin, mereka tidak memberikan perhatian kepada anak-anaknya kecuali sebatas memberi nama ketika lahir, memberi makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal lalu tidak mengerti apa yang harus dilakukan setelah itu. Bahkan sebagian kaum muslimin menyediakan sarana-sarana kerusakan untuk anak mereka. Mereka memenuhi saku anak-anaknya dengan uang, memberikan mobil mewah (kalau di negeri kita-motor mahal-pent.), memenuhi rumah dengan alat-alat musik, film yang tidak bermoral, sehingga jangan engkau tanya lagi bagaimana pertumbuhan anak-anak yang mendapatkan sarana-sarana tersebut berupa kerusakan akhlak, kerusakan pola pikir, moral binatang yang melampaui batas. Jangan engkau tanya pula tentang dosa yang ditimpakan kepada orang tua mereka, penyesalan yang dirasakan orang tua tatkala didurhakai sang anak, tidak mendapatkan kebaikan dari sang anak tatkala orang tua tersebut berusia lanjut dan sedang butuh terhadap anaknya. Sesungguhnya balasan itu sesuai dengan jenis perbuatannya. Sebenarnya Allah telah mewasiatkan kepada anak-anak untuk membalas kebaikan orang tua dengan berbakti saat orang tua mereka berusia lanjut.


Allah Ta’ala berfirman (artinya) :

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan Rabbmu telah menetapkan agar kalian tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya (Allah) dan (agar) kalian berbakti kepada orang tua. Bila salah satu atau kedua orangtuanya telah berusia lanjut maka janganlah engkau mengatakan ‘ah’ kepada keduanya dan jangan pula membentak. Namun katakanlah kepada keduanya dengan perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’.” [Al-Israa’ : 23-24]


Allah memerintah seorang anak untuk senantiasa mengingat kebaikan kedua orang tua saat anak tersebut (dahulu) lemah dan masih kecil, agar dapat membalas kebaikan kedua orang tuanya tersebut saat keduanya lemah dan berusia lanjut. Lalu bagimana bila sang anak tidaklah mengingat kedua orangtuanya melainkan kesia-siaan, kejelekan, dan pendidikan yang rusak yang diberikan kedua orang tuanya? Apa yang dilakukan sang anak untuk membalas hal itu?


Maka bertakwalah kepada Allah, wahai hamba-hamba Allah. Ketahuilah bahwa anak itu adalah amanah bagi kalian. Bertakwalah kepada Allah terhadap anak dan amanah. Allah berfirman (artinya) :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah, rasul-Nya, dan amanah yang dibebankan kepada kalian dalam keadaan kalian mengetahui. Ketahuilah bahwa harta dan anak itu adalah ujian bagi kalian. Di sisi Allah-lah pahala yang sangat besar.” [Al-Anfaal : 27-28].  (Al-Khuthab al-Minbariyah fil Munasabatil ‘Ashriyah)


Berkata al-‘Allamah as-Sa’di –raheemahullaahu- ketika menafsirkan QS. Al-Anfal: 28 diatas;

“.. Allah Ta’ala memberitahukan bahwa anak dan harta benda adalah fitnah yang dengannya Allah menguji hamba-hambaNya, dan bahwa ia adalah pinjaman yang akan ditunaikan kepada yang memberinya dan dikembalikan kepada yang menitipkannya.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 3 juz. 9)

Sungguh anak yang shalih adalah investasi yang lestari bagi kedua orang tuanya dan merupakan amanah bagi para orang tua agar mendidiknya menjadi orang-orang yang shalih. Ia tidak hanya akan menyenangkan, membahagiakan dan bermanfaat bagi keduanya di dunia dengan amal baktinya, namun juga kelak di akhirat dengan doa-doanya. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda;

إن الله ليرفع الدرجة للعبد الصالح في الجنة فيقول: يارب أنى لي هذه فيقول: باستغفار ولدك لك
(Artinya); “Sesungguhnya Allah –Subhaanahu wa Ta’ala- mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di surga, maka ia berkata, ‘Rabbku. Dari mana aku memperoleh derajat ini! Allah Ta’ala menjawab: ‘Ini adalah permohonan ampun anakmu untukmu’.”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)




Mudah-mudahan kita mampu menjadi orang tua yang shalih dan berilmu sehingga bisa mengajarkan banyak kebaikan kepada anak-anak kita, sekarang maupun yang akan datang. Kalau tidak diawali dari diri kita sendiri, lalu dari siapa lagi?

Wallaahu subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.


_________
Referensi.
(2). Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 3 juz. 9
[Baca Selengkapnya...]


Mereka Bertanya Bilakah Azab Allah Ta’ala Itu Datang



”Kalau betul kaum luth dihujani batu karena lesbianisme, kenapa Tuhan tak melakukan hal yang sama sekarang pada mereka? Koq mereka aman-aman saja?”, demikian “ocehan” sang pendiri JIL sekaligus tokoh utamanya, Ulil Abshar Abdala. Barangkali yang dimaksud olehnya adalah azab Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya, “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan) dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS. Huud: 82) atau firman-Nya; “Dan Kami turunkan hujan i.e kepada kaum Luth (hujan batu), maka amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberikan peringatan itu.” (QS. An-Naml: 58)


Statementnya memang tidak pernah sepi dari kontroversi. Ia dikenal sebagai sosok yang gemar melabeli orang-orang yang berseberangan dengannya dengan atribut “radikal”, “ekstimis” dll. Di sisi lain ia juga terkenal “hobi” memelintir ayat-ayat Allah dan menakwilkan maknanya sesuai akal dan hawa nafsunya. Coba rekan-rekan perhatikan sekali lagi “igauan” sang “pejuang” HAM dan pengusung kebebasan itu di atas, kemudian bandingkan dengan ucapan berikut, “Kalau memang kaum gay atau lesbian itu salah (berdosa) dan layak mendapatkan azab Allah Ta’ala sebagaimana kaum nabi Luth terdahulu yang  Allah hujani dengan batu panas (akibat penyimpangan mereka, red), lantas kenapa Allah tidak melakukan hal yang sama kepada mereka hari ini?. Toh faktanya mereka aman-aman saja kan?.” Kalau kita cermati, makna inilah yang –secara tersirat- ingin disampaikan oleh tokoh kontroversial tersebut melalui statementnya di atas. Kalau akal dan filsafat lebih dikedepankan daripada wahyu Illahi, ya begitulah akhirnya, rusak!. Maka tidaklah aneh jika al-Imam asy-Syafi’i –raheemahullaahu- jauh-jauh hari mewanti-wanti kita agar berhati-hati dari racun ini (i.e filsafat/ ilmu kalam, red); Imam Harawi meriwayatkan dari Yunus al-Mishri, katanya, Imam Syafi’i رحمه الله pernah berkata: “Seandainya Allah عزّوجلّ memberikan cobaan (ujian) kepada seseorang, sehingga ia melakukan larangan-larangan Allah عزّوجلّ selain syirik, hal itu masih lebih bagus dari pada ia mendapati cobaan (ujian) dengan terperosok pada Ilmu Kalam.” (Ibn Abi Hatim, Manaqib asy-Syafi’i, hal. 182)


Secara eksplisit, Ucapan Pak Ulil itu sejatinya bernada tantangan, “Kalau memang benar kaum gay/ lesbian (homoseks) itu (layak) diazab, silahkan tunjukkan buktinya!”, kurang lebih begitu.  Ada sedikit kemiripan (kalau tidak mau dibilang “persis”, red) dengan ucapan orang-orang kafir terdahulu yang selalu mendustakan risalah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama;

وَيَقُولُونَ مَتَى هَذَا الْوَعْدُ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (71

“Bilakah datangnya azab itu, jika memang kamu orang-orang yang benar?.” (QS. An-Naml: 71)


al-‘Allamah as-Sa’dy –raheemahullaahu- menjelaskan;

ويقول المكذبون بالمعاد وبالحق الذي جاء به الرسول مستعجلين للعذاب: ( مَتَى هَذَا الْوَعْدُ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ ) وهذا من سفاهة رأيهم وجهلهم فإن وقوعه ووقته قد أجله الله بأجله وقدره بقدر، فلا يدل عدم استعجاله على بعض مطلوبهم ولكن -مع هذا- قال تعالى محذرا لهم وقوع ما استعجلوه: ( قُلْ عَسَى أَنْ يَكُونَ رَدِفَ لَكُمْ ) أي: قرب منكم وأوشك أن يقع بكم ( بَعْضُ الَّذِي تَسْتَعْجِلُونَ ) من العذاب

“Dan orang-orang yang mendustakan itu berkata tentang kebangkitan dan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama seraya meminta agar azab segera menimpanya, ‘Bilakah datangnya azab itu, jika memang kamu orang-orang yang benar?’. Ini merupakan kepicikan pikiran dan kebodohan mereka; sebab sesungguhnya terjadinya azab dan waktunya telah ditangguhkan oleh Allah pada waktu yang telah ditentukan dan telah ditetapkan berdasarkan ketetapanNya. Sehingga tidak menunjukkan ketidaksegeraanNya mewujudkan permintaan mereka. Sekalipun demikian Allah Ta’ala berfirman dengan nada mengingatkan mereka akan terjadinya apa yang mereka minta untuk disegerakan.


“Katakanlah, ‘Mungkin telah hampir datang kepadamu’. Maksudnya; sudah dekat dari kalian, atau sudah hampir menimpa kalian, ‘Sebagian dari (azab) yang kamu minta (supaya) disegerakan itu.’ Yaitu berupa azab (siksaan).” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 5, juz. 20)


Beliau –raheemahullaahu- juga menjelaskan dalam tafsir ayat yang lain (i.e QS. Yunus: 48-49);

فليحذر المكذبون لك من مشابهة الأمم المهلكين، فيحل بهم ما حل بأولئك ولا يستبطئوا العقوبة ويقولوا: ( مَتَى هَذَا الْوَعْدُ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ ) فإن هذا ظلم منهم، حيث طلبوه من النبي صلى الله عليه وسلم، فإنه ليس له من الأمر شيء، وإنما عليه البلاغ والبيان للناس وأما حسابهم وإنزال العذاب عليهم، فمن الله تعالى، ينزله  عليهم إذا جاء الأجل الذي أجله فيه، والوقت الذي قدره فيه، الموافق لحكمته الإلهية فإذا جاء ذلك الوقت لا يستأخرون ساعة ولا يستقدمون، فليحذر المكذبون من الاستعجال بالعذاب، فإنهم مستعجلون بعذاب الله الذي إذا نزل لا يرد بأسه عن القوم المجرمين، ولهذا قال :

“Hendaklah orang-orang yang mendustakanmu (i.e Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama) mewaspadai sikap menyerupai umat-umat yang dibinasakan sehingga mereka bisa ditimpa azab yang telah menimpa mereka (yang terdahulu), janganlah menantang azab Allah dan mengatakan, ‘Bilakah datangnya (ancaman) itu, jika memang kamu orang-orang yang benar?. Karena ini adalah kezhaliman dari mereka dimana mereka menuntutnya dari Nabi (kalau case hari ini; JIL dan kaum homoseks menuntutnya (i.e bukti azab itu) dari orang-orang yang menasihati mereka, red), padahal dia (Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama) tidak memiliki hak sedikitpun dalam urusan ini, tugasnya hanyalah menyampaikan dan menjelaskan kepada manusia. Adapun hisab mereka dan penurunan azab atas mereka maka ia dari Allah, Dia menurunkannya kepada mereka jika tiba waktu dan saat yang ditentukan dan diletakkan olehNya yang sesuai dengan hikmah Ilahiyah. Jika waktu tersebut telah hadir maka mereka tidak bisa menunda dan memajukannya (barang) sesaat pun. Orang-orang yang mendustakan hendaklah mewaspadai sikap menuntut turunnya azab karena mereka menuntut disegerakannya azab Allah yang mana jika ia turun maka azabNya tidak tertolak dari orang-orang yang berdosa. Oleh karena itu Dia berfirman;



قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُهُ بَيَاتًا أَوْ نَهَارًا مَاذَا يَسْتَعْجِلُ مِنْهُ الْمُجْرِمُونَ (50) أَثُمَّ إِذَا مَا وَقَعَ آمَنْتُمْ بِهِ آلآنَ وَقَدْ كُنْتُمْ بِهِ تَسْتَعْجِلُونَ (51) ثُمَّ قِيلَ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ الْخُلْدِ هَلْ تُجْزَوْنَ إِلا بِمَا كُنْتُمْ تَكْسِبُونَ (52

“Katakanlah, ‘Terangkan kepadaku, jika datang kepada kamu sekalian siksaanNya di waktu malam atau siang hari, apakah orang-orang yang berdosa itu minta disegerakan juga?. Kemudian apakah setelah terjadinya (azab itu), kamu baru mempercayainya?. Apakah sekarang (baru kamu mempercayai), padahal sebelumnya kamu selalu meminta supaya disegerakan?’. Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang zhalim (musyrik) itu, ‘Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal, tidaklah kamu diberikan balasan melainkan apa yang telah kamu kerjakan.’” (QS. Yunus: 50-52)


Beliau –raheemahullahu- melanjutkan penjelasannya;

 ( أَثُمَّ إِذَا مَا وَقَعَ آمَنْتُمْ بِهِ ) فإنه لا ينفع الإيمان حين حلول عذاب الله، ويقال لهم توبيخًا وعتابًا في تلك الحال التي زعموا أنهم يؤمنون،   ( آلآنَ ) تؤمنون في حال الشدة والمشقة؟ ( وَقَدْ كُنْتُمْ بِهِ تَسْتَعْجِلُونَ ) فإن سنة الله في عباده أنه يعتبهم إذا استعتبوه قبل وقوع العذاب، فإذا وقع العذاب لا ينفع نفسًا إيمانها، كما قال تعالى عن فرعون، لما أدركه الغرق  
قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ   وأنه يقال له:
آلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
وقال تعالى:   فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا سُنَّتَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ   وقال هنا: ( أَثُمَّ إِذَا مَا وَقَعَ آمَنْتُمْ بِهِ آلآنَ ) تدعون الإيمان  ( وَقَدْ كُنْتُمْ بِهِ تَسْتَعْجِلُونَ ) فهذا ما عملت أيديكم، وهذا ما استعجلتم به.

Kemudian apakah setelah terjadinya (azab itu), kamu baru mempercayainya?, Iman tidak lagi berguna pada waktu azab Allah turun. Dikatakan kepada mereka sebagai bentuk penyalahan dan pencacian dalam kondisi tersebut yang mana mereka mengaku beriman (note: persis seperti apa yang dikatakan kaum JIL itu. Kalau mereka ditanya, “Apakah anda beriman?”, niscaya mereka akan menjawab “Ya, kami beriman”. Padahal banyak hal dari ayat-ayat Allah Ta’ala yang mereka dustakan dan simpangkan maknanya, red). ‘Apakah sekarang’, kamu beriman dalam kondisi sulit dan susah?. ‘Padahal sebelumnya kamu selalu meminta supaya disegerakan?’. Karena sunnah Allah yang berlaku bagi hamba-hambaNya adalah bahwa Dia memperingatkan mereka ketika mereka minta diturunkan peringatan sebelum azab itu turun dan jika azab telah turun, maka iman seseorang tidak lagi berguna sebagaimana firman Allah tentang Fir’aun pada saat dia tenggelam;

قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Berkatalah dia, ‘Saya percaya bahwa tidak ada Rabb (yang berhak disembah) melainkan Rabb yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Yunus: 90)
Maka dikatakan kepadanya;

آلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ

“Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan?.” (QS. Yunus: 91)
Dan Allah Ta’ala berfirman;

فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا سُنَّتَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ

“Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hambaNya.” (QS. Al-Mu’min: 85)


Disini Allah Ta’ala berfirman, ‘Kemudian apakah setelah terjadinya (azab itu), kamu baru mempercayainya?’. ‘Apakah sekarang’, kamu mengaku beriman, ‘Padahal sebelumnya kamu selalu meminta supaya disegerakan?’. Ini adalah akibat perbuatanmu, inilah yang kamu tuntut agar disegerakan.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 3, juz. 11)


Kalau saja orang-orang JIL dan kawan-kawannya itu mau memahami dan menghayati ayat-ayat diatas tanpa menakwilkan maknanya, mungkin mereka bisa mengambil pelajaran. Sebagai penutup, mari kita jawab pertanyaan/ pernyataan dari Pak Ulil  di atas, i.e; “Kenapa Tuhan tak melakukan hal yang sama (i.e mengirimkan hujan batu) sekarang pada mereka (i.e kaum homoseks)?”. Allah Subhaanahu wa Ta’ala Yang Mahasuci lagi Mahatinggi berfirman;

وَلَوْ يُعَجِّلُ اللَّهُ لِلنَّاسِ الشَّرَّ اسْتِعْجَالَهُمْ بِالْخَيْرِ لَقُضِيَ إِلَيْهِمْ أَجَلُهُمْ فَنَذَرُ الَّذِينَ لا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (11

“Dan kalau sekiranya Allah menyegerakan keburukan bagi manusia sebagaimana permintaan mereka untuk menyegerakan kebaikan, pastilah diakhiri umur mereka. Maka Kami biarkan orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, bingung di dalam kesesatan mereka.” (QS. Yunus: 11)

al-‘Allamah as-Sa’dy –semoga Allah Ta’ala merahmatinya- menjelaskan;

وهذا من لطفه وإحسانه بعباده، أنه لو عجل لهم الشر إذا أتوا بأسبابه، وبادرهم بالعقوبة على ذلك، كما يعجل لهم الخير إذا أتوا بأسبابه ( لَقُضِيَ إِلَيْهِمْ أَجَلُهُمْ ) أي: لمحقتهم العقوبة، ولكنه تعالى يمهلهم ولا يهملهم، ويعفو عن كثير من حقوقه، فلو يؤاخذ الله الناس بظلمهم ما ترك على ظهرها من دابة ويدخل في هذا، أن العبد إذا غضب على أولاده أو أهله أو ماله، ربما دعا عليهم دعوة لو قبلت منه لهلكوا، ولأضره ذلك غاية الضرر، ولكنه تعالى حليم حكيم وقوله: ( فَنَذَرُ الَّذِينَ لا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا ) أي: لا يؤمنون بالآخرة، فلذلك لا يستعدون لها، ولا يعلمون ما ينجيهم من عذاب الله، ( فِي طُغْيَانِهِمْ ) أي: باطلهم، الذي جاوزوا به الحق والحد  ( يَعْمَهُونَ ) يترددون حائرين، لا يهتدون السبيل، ولا يوفقون لأقوم دليل، وذلك عقوبة لهم  على ظلمهم، وكفرهم بآيات الله

“Ini termasuk kasih sayang dan kebaikan Allah kepada hamba-hambaNya bahwa seandainya Dia menyegerakan keburukan dan hukuman kepada mereka (jika mereka melakukan sebab-sebabnya) sebagaimana Dia menyegerakan kebaikan kepada mereka (jika mereka melakukan sebab-sebabnya), ‘pastilah diakhiri umur mereka’, Yakni hukuman itu akan membinasakan mereka, akan tetapi Allah memberi tempo kepada mereka, dan tidak melalaikan mereka, Dia memaafkan banyak hak-hakNya, seandainya Dia menghukum manusia karena kezhalimannya, pastilah Dia tidak membiarkan seorang hamba pun di muka bumi, termasuk dalam hal ini adalah bahwa seorang hamba jika ia marah kepada anak-anaknya atau keluarganya atau hartanya bisa saja dia mendoakan tidak baik yang mungkin saja jika dikabulkan pastilah mereka binasa, dan hal itu sangat merugikannya, akan tetapi Allah Mahabijaksana dan Mahalembut.

FirmanNya, ‘Maka Kami biarkan orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami.’ Yakni tidak beriman kepada akhirat, oleh karena itu dia tidak bersiap-siap untuknya dan melakukan apa yang menyelamatkan mereka dari azab Allah. FirmanNya, ‘Bingung di dalam kesesatan mereka’, yakni kebatilan dimana mereka melebihi batas-batas kebenaran, ‘bingung’, mondar-mandir kebingungan, tidak mengetahui jalan, tidak dibimbing kepada jalan yang lurus. Hal itu sebagai hukuman kepada mereka atas kezhaliman dan kekufuran mereka kepada ayat-ayat Allah.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 3, juz. 11)

Jika mereka bertanya, “Kapan??”, kita jawab; Azab Allah adalah sesuatu yang ghaib yang hanya Dia Subhaanahu wa Ta’ala sendiri yang mengetahui. فَقُلْ إِنَّمَا الْغَيْبُ لِلَّهِ فَانْتَظِرُوا إِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُنْتَظِرِينَ “Maka katakanlah, ‘Sesungguhnya yang ghaib itu kepunyaan Allah, sebab itu (tunggu) sajalah olehmu, sesungguhnya aku bersamamu termasuk orang-orang yang menunggu.” (QS. Yunus: 20).

Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.
SAY NO TO JIL!, the destruction’s more than Drugs!.

___________

Referensi: Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 3 dan vol 5, al-‘Allamah as-Sa’dy –raheemahullaahu-

[Baca Selengkapnya...]


 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula