Allah Luaskan dan Sempitkan Rezeki Kepada Siapa Saja Yang Dia Kehendaki



al-‘Allamah as-Sa’di –raheemahullaahu- menjelaskan dalam tafsirnya;

ولا ينبغي للإنسان أن يغتر بحالة الإنسان الدنيوية، ويظن أن إعطاء الله إياه في الدنيا دليل على محبته له وأنه على الحق ولهذا قال: ( فَلا يَغْرُرْكَ تَقَلُّبُهُمْ فِي الْبِلادِ ) أي: ترددهم فيها بأنواع التجارات والمكاسب، بل الواجب على العبد، أن يعتبر الناس بالحق، وينظر إلى الحقائق الشرعية ويزن بها الناس، ولا يزن الحق بالناس، كما عليه من لا علم ولا عقل له

“Maka hendaknya seseorang tidak terpedaya dengan kondisi duniawi seseorang, dan hendaknya ia tidak mengira bahwa pemberian Allah yang dilimpahkan kepadanya di dunia ini adalah sebagai bukti atas cinta Allah kepadanya, dan dia berada dalam kebenaran!, Maka dari itu Allah berfirman ( فَلا يَغْرُرْكَ تَقَلُّبُهُمْ فِي الْبِلادِ ) “Karena itu janganlah pulang balik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang lain memperdayakan kamu.” Maksudnya, pulang pergi (bolak-balik) mereka di negeri ini dengan berbagai bentuk perniagaan dan usaha bisnis (jangan sampai membuatmu terlena). Malah yang wajib atas setiap orang adalah menilai orang lain dari sisi kebenarannya dan melihat dari sisi-sisi syariat (norma-norma agama) dan dengannya ia menilai manusia; jangan menilai kebenaran dengan manusia, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berilmu dan tidak berakal.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan, vol. 6 juz. 24)

Banyak orang yang seringkali tertipu dengan keadaan dunia seseorang. Tidaklah berarti bahwa orang yang Allah Ta’ala anugerahi harta yang melimpah atau kedudukan yang tinggi itu adalah orang-orang pilihanNya, tidak berarti pula bahwa orang-orang yang Allah Ta’ala sempitkan kehidupan dunianya menunjukkan kalau Allah Ta’ala menghinakannya. Ketahuilah bahwa itu semua adalah bentuk ujian dari Allah Ta’ala untuk melihat dan memilah mana hamba-hambaNya yang kufur dan mana hamba-hambaNya yang bersyukur. Ah sok tau lo!, Okay,..coba perhatikan firman Allah Ta’ala berikut:

ثُمَّ إِذَا خَوَّلْنَاهُ نِعْمَةً مِنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ (49

“Kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah berdasarkan pengetahuan’. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” (QS. Az-Zumar: 49)

Lihat kalimat yang digarisbawahi, bagaimana,.. iya kan?. Biar semakin jelas, saya tambahkan penjelasan al-‘Alim Rabbani al-‘Allamah as-Sa’di –raheemahullaahu- terkait ayat yang saya garis bawahi;

بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ ) يبتلي اللّه به عباده، لينظر من يشكره ممن يكفره )

( بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ ) “Sebenarnya itu adalah ujian”; yang dengannya Allah menguji hamba-hambaNya, agar Dia melihat siapa yang bersyukur kepadaNya dan siapa pula yang mengingakariNya.

وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ ) فلذلك يعدون الفتنة منحة، ويشتبه عليهم الخير المحض، بما قد يكون سببا للخير أو للشر )

( وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ ) “tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui”; maka dari itu mereka menganggap ujian itu sebagai pemberi kebaikan yang murni, dan tidak jelas bagi mereka antara yang jelas baik dengan apa-apa yang kadang bisa menjadi sebab bagi kebaikan dan bisa menjadi sebab keburukan.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan, vol. 6 juz. 24)

Coba perhatikan, mereka yang tidak mengetahui dan terlena itu malah berkata ( إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ ) ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah berdasarkan pengetahuan’, أي: علم من اللّه، أني له أهل، وأني مستحق له، لأني كريم عليه، أو على علم مني بطرق تحصيله ‘Maksudnya; pengetahuan Allah bahwasanya aku memang ahlinya dan aku berhak mendapatkannya, sebab aku sangat pemurah dengan harta tersebut; atau karena kepintaranku akan cara-cara memperolehnya’. (Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan, vol. 6 juz. 24). Begitulah tabiat “default”nya manusia, sudah dikasih, tapi tidak tahu berterima kasih. Bukannya tawadhu’, malah menyombongkan diri. Akhirnya apa?.. Mereka dibinasakan!. al-‘Allamah as-Sa’di –raheemahullaahu- menjelaskan;

فما زالت متوارثة عند المكذبين، لا يقرون بنعمة ربهم، ولا يرون له حقا، فلم يزل دأبهم حتى أهلكوا

“Dan ia (i.e manusia yang mengklaim haknya dengan sombong itu, red) menjadi warisan bagi orang-orang yang mendustakan, mereka tidak mengakui nikmat Rabb mereka, dan mereka tidak meyakini hakNya (untuk diibadahi, disyukuri, red). Demikianlah kebiasaan dan tabiat mereka berlanjut hingga mereka dibinasakan kemudian.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan, vol. 6 juz. 24)

Padahal (coba kita ingat-ingat kembali, red) apa yang kita lakukan ketika kita merasa sudah tak berdaya dan tak kuasa lagi menanggung ujian dari Allah Ta’ala?. Yup,.. kita menangis tersedu-sedu di setiap doa yang kita panjatkan kepadaNya dan memohon kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala agar Dia menjauhkan kesempitan hidup yang sedang menimpa kita dan menggantinya dengan limpahan nikmat yang banyak, iya kan?. Saya yakin 100% iya karena Allah Ta’ala sendiri yang mengabarkan;

فَإِذَا مَسَّ الإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَا

“Maka apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami...” (QS. Az-Zumar: 49)

يخبر تعالى عن حالة الإنسان وطبيعته، أنه حين يمسه ضر، من مرض أو شدة أو كرب. ( دَعَانَا ) ملحا في تفريج ما نزل به

“Allah Ta’ala mengabarkan tentang kondisi dan tabiat manusia, yaitu apabila ia ditimpa hal yang membahayakan seperti penyakit, kesempitan atau kesusahan, ( دَعَانَا ) ‘ia menyeru Kami’ dengan merengek-rengek untuk membebaskan diri dari apa yang menimpanya.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan, vol. 6 juz. 24)

Dalam kondisi kritis seperti itu, tauhid rububiyyah kita -selaku hamba yang lemah- kembali normal dengan meyakini seyakin-yakinnya bahwasanya hanya ada satu Dzat yang mampu membebaskan kita dari segala macam masalah yakni Allah Tabaaraka wa Ta’ala. Tapi ketika masalah tersebut dihilangkan (atas kehendak dan kebaikanNya), kita lupa bersyukur kepadaNya. Singkatnya, kelebihan dunia yang dimiliki oleh seseorang itu bukanlah tolok ukur kecintaan Allah Ta’ala kepadanya. Diluaskan dan disempitkannya rizki seseorang itu adalah kehedakNya, dan berlaku (secara general) kepada setiap orang. Ingat kisah Qarun?, disebutkan dalam al-Qur’an bahwa ia dianugerahi kekayaan dunia yang melimpah oleh Allah Ta’ala, namun akhirnya Allah cabut (nikmat tersebut) dalam sekejap dan Allah binasakan ia akibat kekufuran dan kesombongannya. Seandainya kekayaan itu adalah tolok ukur kecintaan Allah Subhaanahu wa Ta’ala kepada seorang hamba, tentu orang-orang seperti Qarun berhak dimuliakan (karena kekayaannya yang melimpah, red), namun kenyataannya tidaklah demikian. Allah Ta’ala berfirman;

أَوَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (52

“Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendakiNya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang beriman.” (QS. Az-Zumar: 52)

ولما ذكر أنهم اغتروا بالمال، وزعموا - بجهلهم - أنه يدل على حسن حال صاحبه، أخبرهم تعالى، أن رزقه، لا يدل على ذلك، وأنه ( يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ ) من عباده، سواء كان صالحا أو طالحا ( وَيَقْدِرُ ) الرزق، أي: يضيقه على من يشاء، صالحا أو طالحا، فرزقه مشترك بين البرية، والإيمان والعمل الصالح يخص به خير البرية. ( إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ ) أي: بسط الرزق وقبضه، لعلمهم أن مرجع ذلك، عائد إلى الحكمة والرحمة، وأنه أعلم بحال عبيده، فقد يضيق عليهم الرزق لطفا بهم، لأنه لو بسطه لبغوا في الأرض، فيكون تعالى مراعيا في ذلك صلاح دينهم الذي هو مادة سعادتهم وفلاحهم، واللّه أعلم

Al-‘Allamah as-Sa’di menjelaskan; “Setelah Allah menjelaskan bahwasanya mereka terpedaya dengan harta benda dan mereka mengklaim berdasarkan kebodohannya bahwasanya (nikmat yang diberikan kepada mereka itu) membuktikan baiknya kondisi pemiliknya, maka Allah Ta’ala mengabarkan kepada mereka bahwa rizkiNya tidak menunjukkan kepada yang demikian, dan sesungguhnya Allah ( يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ ) ‘melapangkan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendakiNya’ di antara hamba-hambaNya, yang shalih ataupun yang durhaka, ( وَيَقْدِرُ ) ‘dan menyempitkan’ rizki, artinya menyempitkan rizki bagi siapa saja di antara hambaNya yang shalih atau yang durhaka. Jadi rizki Allah itu diberikan sama kepada semua manusia, sedangkan iman dan amal shalih diistimewakan hanya kepada manusia-manusia terbaik.

( إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ ) ‘Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang beriman’. Maksudnya, Allah melapangkan rizki dan menahannya; karena mereka mengetahui bahwa semua itu kembali kepada hikmah (kebijaksanaan) dan rahmat(Nya); dan mengetahui bahwa Dia lebih mengetahui tentang kondisi hamba-hambaNya. Kadang-kadang Dia menyempitkan rizkiNya terhadap mereka karena sifat lembutNya kepada mereka, sebab kalau seandainya Dia melapangkannya, niscaya mereka akan berbuat congkak di muka bumi ini. Jika demikian, maka itu berarti Allah Ta’ala dalam memberikan rizki tersebut selalu memperhatikan kebaikan agama mereka yang merupakan materi dasar kebahagiaan dan keberuntungan mereka. Wallaahu a’lam.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan, vol. 6 juz. 24)


­­­

___________________

Rujukan:

Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan

[Baca Selengkapnya...]


Say No To Kaum Homoseksual!



Masih ingat tragedi pembunuhan berantai yang dilakukan oleh seorang gay berinisial R (asal Jombang) yang terjadi 3 tahunan yang lalu?. Narapidana kelas berat yang akhirnya divonis hukuman mati oleh pengadilan tinggi ini terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana, perampasan harta benda dan aktivitas seksual yang menyimpang (liwath). Belum lagi hilang kisah mengerikan tersebut dari ingatan masyarakat, muncul lagi tragedi (yang) serupa yang dilakukan oleh seorang gay penyuka sesama jenis berinisial M (asal Nganjuk) beberapa minggu belakangan ini. Ia tertuduh melakukan pembunuhan, perampasan harta benda dan juga penyakit liwath (homoseks)!. Ia pun terancam dengan hukuman yang sama (i.e mati) dengan pendahulunya. Kabar lain yang tak kalah mirisnya juga datang dari seorang “pemuka dan tokoh” terkenal asal Ibukota yang diulamakan, dipanuti dan diteladani oleh para pengikut dan pendukungnya. Ia dilaporkan oleh beberapa pemuda yang mengaku pernah nyantri kepadanya dan pernah menjadi korban syahwatnya kepada pihak Kepolisian setempat atas tuduhan pelecehan seksual dan liwath!. Untuk case yang terakhir ini, tentu semua orang (terkhusus pengikutnya) mengharapkan agar tuduhan tersebut tidak benar-benar terbukti di pengadilan. Karena jika benar –wallaahu Ta’ala a’lamu-, sudah pasti akan mencoreng syariat agama (yang mulia ini) yang selalu ia dakwahkan kepada ummat di majelis-majelisnya. Bagaimana pun juga, yang namanya kebenaran itu pasti akan terungkap dan menggungguli kebatilan kapan pun dan di manapun, sekalipun jalannya lambat, berproses dan berliku.

Liwath (Sodomi, red),... sebuah istilah yang sejujurnya menjijikkan untuk didengar, namun perlu kiranya untuk dikaji agar kita mengetahui dan bisa mengambil pelajaran. Liwath merupakan nisbah kepada kaum Nabi Luth ‘Alaihissalam yang durhaka kepada Allah Tabaaraka wa Ta’ala karena melakukan perbuatan keji yang dilarang oleh syariat berupa praktek-praktek seksualitas yang menyimpang. Liwath is an Arabic term meaning “the men of Lot” (i.e. the men of Sodom); a term meaning “male homosexuality”. Dan merekalah kaum pelopor yang pertama kali melakukan perbuatan keji ini di masa lampau. Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy –raheemahullahu- menjelaskan:

وكونهم ابتدعوها وابتكروها، وسنوها لمن بعدهم، من أشنع ما يكون أيضا

“...Dan mereka jugalah (i.e kaum Nabi Luth ‘Alaihissalam) yang mulai menemukannya (i.e liwath/sodomi) dan mencontohkannya bagi orang-orang setelah mereka, ini juga merupakan perbuatan terburuk.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 3, juz. 8)

Beliau juga menjelaskan:

وكانوا - مع شركهم - يأتون فاحشة لم يسبقهم إليها أحد من العالمين، يختارون نكاح الذكران, المستقذر الخبيث, ويرغبون عما خلق لهم من أزواجهم لإسرافهم وعدوانهم

“Dan mereka, beserta perbuatan syirik yang mereka lakukan, juga melakukan perbuatan keji yang tidak pernah dilakukan oleh seorang manusia pun sebelumnya. Mereka lebih suka memilih mencabuli para laki-laki, (pencabulan) yang sangat menjijikkan lagi sangat busuk, dan mereka tidak menyukai istri-istri mereka yang diciptakan untuk mereka karena sikap melampau batas (ghuluw) dan kedzaliman mereka.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 5, juz. 19)


Apa hukum perbuatan Liwath ini?.

Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ

إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu melampiaskan syahwatmu kepada sesama laki-laki, bukan kepada wanita, kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.’” (Al A’raaf : 80-81)

Sampai-sampai seorang khalifah Bani Ummayyah yang membangun Masjid Jami’ Damaskus mengatakan: “Jika seandainya Allah tidak menceritakan kepada kita tentang perbuatan yang dilakukan kaum Nabi Luth, aku tidak menyangka ada seorang laki-laki yang melampiaskan hawa nafsunya (berhubungan badan) kepada laki-laki lain.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/488, cet. Daarul hadits)

Berkata al-Imam al-Hafizh adz-Dzahabi asy-Syafi’i –rahimahullaahu-: “Sungguh Allah telah mengisahkan kepada kita kisah kaumnya Nabi Luth pada banyak tempat di dalam kitab-Nya (Al Qur’an) yang mulia. Bahwasanya Dia (Allah) telah membinasakan mereka dikarenakan perbuatan busuk mereka. Kaum muslimin dan selain mereka dari orang yang beragama sepakat bahwasanya perbuatan liwath (homoseks) termasuk perbuatan dosa besar.” (Al-Kabaair: 59, cet. Daar Ibnu Hazm)

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda:

“….. Terlaknat orang yang menggauli binatang, terlaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (liwath/homoseks).” (HR. Ahmad dishahihkan oleh al-‘Allamah al-Albani)


Sampai di sini saja sudah serem apalagi mendengar hukumannya, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama melaknat orang-orang yang melakukan perbuatan keji tersebut tanpa membedakan latar belakangnya, apakah ia orang yang munafiq ataukah fasiq, apakah dari keturunan orang biasa ataukah dari nasab yang mulia, sama saja, tidak dibedakan!. Apakah jika yang melakukan perbuatan liwath (sodomi) itu berasal dari nasab yang mulia lantas akan menjamin dirinya tetap mulia gitu?, sekali-kali tidak!. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda;

“Barangsiapa yang lambat amalannya, maka nasabnya tidak dapat mempercepat.” [HR Muslim : 2699, Ahmad 2/252, Abu Dawud : 3643, Tirmidzi : 2646, Ibnu Majah : 225, Darimi 1/99, Baghowi : 127, Ibnu Hibban : 84]

Al-Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali –rahimahullaahu- berkata : “Maknanya, bahwa amalan itulah yang menghantarkan seorang hamba mencapai derajat akhirat. Allah berfirman;

“Artinya : Dan tiap-tiap orang memperoleh derajat-derajat seimbang dengan apa yang dia kerjakan.” [Al-An’am : 132]

Maka barangsiapa yang lambat amalannya untuk sampai pada derajat tertinggi di sisi Allah, nasabnya juga tidak akan mempercepatnya untuk mencapai derajat tinggi tersebut, karena Allah mengiringkan balasan itu seimbang dengan amalan, bukan dengan nasab.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 2/308)

Tapi herannya, tidak sedikit orang-orang yang mendeklarasikan dirinya sebagai “pejuang” HAM, pejuang Islam modernis, pecinta Pluralisme dan Liberalisme dll (bak pahlawan kesiangan) memaksakan opininya bahwa Liwath itu tidak ada masalah, sebuah hak atau budaya masyarakat yang harus dihormati (toh tidak merugikan orang lain katanya, red) dan perlu dihargai demi kemashlahatan bersama dan demi kemanusiaan. Dikemanakan ya firman Rabbnya Azza wa Jall yang sudah menciptakannya, yang sudah memberinya nikmat akal agar bisa merenungi dan memahami ayat-ayatNya diatas?. Dikemanakan pula ya sunnah-sunnah Nabinya Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang menjelaskan hukum dari ayat-ayatNya diatas?. Ada pula segelintir orang yang masih terkungkung dalam sikap taqlid dan ta’ashub (fanatisme buta) pada tokoh-tokoh panutannya hingga apapun yang dikerjakan oleh pemimpinnya itu dianggap benar dan suci!. Padahal tidak ada manusia yang ma’sum (terjaga dari kesalahan) selain Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Jika orang-orang tersebut dinasihati dengan bahasa yang baik, mereka akan berkata, “Sok suci lo!, sok ‘alim lo”, bahkan tidak sedikit pula orang yang menebarkan ancaman, “Tarik ucapan ente, kalau tidak, jangan salahkan ane jika ente ane usir (singkirin)!”. Mirip sekali dengan ucapan kaum Nabi Luth ‘Alaihissalam tatkala Nabinya yang lurus dan istiqamah menyampaikan nasihat kepada mereka;

أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ

“Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri.” (QS. Al-A’raf: 82)

أي: يتنزهون عن فعل الفاحشة

“Yakni sok suci (pura-pura menjauhkan diri) dari perbuatan keji.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 3, juz. 8)

Begitulah tanggapan mereka kepada orang-orang yang ingin berta’awun ‘alal birr wa taqwa supaya mereka (yang mengingatkan, red) berhenti dari nasihat-menasihati. Ucapan mereka hanyalah upaya pembelaan diri dan pembenaran terhadap apa yang sudah mereka lakukan.


Bagaimana dengan hukuman bagi pelakunya?

Dahulu kala di zaman Nabi Luth ‘Alaihissalam, para pelaku Liwath (sodomi) ini Allah Ta’ala hukum/adzab dengan:

وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا

“Dan Kami turunkan kepada mereka hujan...” (QS. Al-A’raf: 84)

أي: حجارة حارة شديدة، من سجيل، وجعل اللّه عاليها سافلها

Yakni: “Batu panas dari tanah yang terbakar (dalam tafsir yang lain disebutkan hujan batu dari Sijjil, red), dan Allah membalik kota mereka, dimana Allah menjadikan bagian atasnya menjadi bawah.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 3, juz. 8)

Penafsiran asy-Syaikh as-Sa’di –raheemahullaahu- diatas sesuai dengan firman-Nya, “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan) dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS. Huud: 82)

Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda:

“Barangsiapa yang kalian temui melakukan perbuatan kaum Luth (liwath/ homoseks) maka bunuhlah pelaku dan orang yang menjadi objeknya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan dishahihkan oleh al Hakim dan disetujui oleh Adz Dzahabi dan dishahihkan pula riwayat ini oleh al-Albani).

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –raheemahullaahu-: “Sepakat mayoritas shahabat atau seluruh shahabat atas melakukan konsekuensi dari hadits ini. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –raheemahullaahu-: ‘Para shahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama tidak berselisih pendapat tentang hukum bunuh bagi orang yang melakukan liwath (homoseks) bagi pelakunya atau orang yang dijadikan objek, akan tetapi berselisih pendapat bagaimana tata cara memberlakukan hukum bunuhnya, sebagian mereka berkata dirajam pakai batu, sebagian lagi berkata dijatuhkan di tempat yang paling tinggi dari sebuah negeri, sebagian mereka berkata dihukum pelaku dan objeknya (korbannya) jika ia ridha (untuk dihomoseks), keduanya dihukum mati dalam keadaan apapun, sama saja sudah pernah menikah ataupun belum pernah menikah, dikarenakan sangat besar dosa pelakunya dan berbahaya jika keduanya berada di komunitas manusia, dikarenakan keberadaan keduanya (pelaku dan objek tersebut) akan membunuh secara maknawi di komunitas manusia dan keutamaan (akhlaq). Dan tidak diragukan binasanya mereka berdua lebih baik dari pada binasanya manusia dan akhlaq mulia.” (Syarh Kitaab al Kabaair, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, pada dosa besar yang ke 21, cet. Daar al Ghadd al Jadiid : 79)


Allah Ta’ala berfirman tatkala menutup kisah tentang kaum Nabi Luth ‘Alaihissalam:

فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ

“Maka perhatikanlah kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS. Al-A’raf: 84)

الهلاك والخزي الدائم

Yakni: “Kebinasaan dan kehinaan (untuk selama-lamanya).” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 3, juz. 8)

Dan akhirnya Allah Ta’ala pun memerintahkan manusia untuk berpikir dan mengambil pelajaran dari kisah Nabi Luth ‘Alaihissalam tersebut dan menjauhi perbuatan liwath seraya berfirman;

إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً وَمَا كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُؤْمِنِينَ * وَإِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti-bukti yang nyata. Dan kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Rabbmu benar-benar Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahapenyayang.” (QS. Asy-Syu’ara: 175)


­______________

Referensi:

1). Taiseer al-Kareem ar-Rahman, asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di vol. 3 & vol. 5

2). www.almanhaj.or.id

3). http://tauhiddansyirik.wordpress.com/2011/04/09/dosa-besar-itu-bernama-homoseks/

[Baca Selengkapnya...]


Menjadi Kaya, Sebuah Cita-Cita?



Dulu ketika masih duduk di Sekolah Dasar (di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah), salah seorang guru kami bercerita kepada murid-muridnya mengenai kisah orang-orang ternama lagi sukses yang (akhirnya menjadi) kaya raya di masa lampau. Di akhir cerita ia pun bertanya kepada anak-anak didiknya, “Siapa diantara kalian yang ingin (menjadi orang) kaya?”, Secara serempak semua murid menjawab, “Saya Paaaak”. Apalagi sebagian besar dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Setelah belasan tahun berlalu, Allah pun menakdirkan beberapa orang di antara mereka hidup layak dan berkecukupan. Kalau pertanyaan yang sama diajukan hari ini, sebagian besar orang (barangkali) akan menjawab dengan jawaban yang sama i.e “Iya, saya ingin menjadi orang kaya”. Apakah ada yang salah dengan jawaban itu?. Tentu tidak. Banyak koq orang-orang shalih terdahulu yang Allah anugerahi kekayaan melimpah seperti Abdurrahman bin ‘Auf, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Al-Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Mas’ud, Hakim bin Hizam bin Khuwailid dll radhiyallaahu ‘anhum ajma’in.

Namun apakah motivasi para pendahulu kita yang shalih (dahulu) dengan orang-orang zaman sekarang dalam mencari/mendapatkan harta kekayaan itu sama?. Wallaahu a’lam. Coba kita perhatian dan telaah perjalanan hidup para salafus shalih diatas terkait harta yang dimiliknya berikut;

Al-Imam Az-Zuhri berkata (terkait shahabat yang mulia, Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallaahu ‘anhu):

تصدق عبد الرحمن بن عوف على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم بشطر ماله ثم تصدق بعد بأربعين ألف دينار ثم حمل على خمسمائة فرس في سبيل الله وخمسمائة راحلة وكان أكثر ماله من التجارة

“Abdurrahman bin Auf mengeluarkan shadaqah pada masa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dari setengah hartanya, kemudian beliau mengeluarkan shadaqah 40.000 dinar setelahnya, kemudian beliau mengeluarkan shadaqah 500 ekor kuda dan 500 ekor unta di jalan Allah. Dan kebanyakan hartanya berasal dari perdagangan.” (Al-Ishabah fi Tamyizish Shahabah: 4/347).

Just info bahwa kurs Dinar dan Dirham per 01/02/2012 adalah sbb: 1 Dinar: Rp 2,218,000 adapun 1 Dirham: Rp 52,000.

Ummu Bakar bintu Miswar berkata:

ان عبد الرحمن باع أرضا له من عثمان بأربعين ألف دينار، فقسمه في فقراء بني زهرة، وفي المهاجرين، وأمهات المؤمنين

“Bahwa Abdurrahman bin Auf membeli sebidang tanah dari Utsman seharga 40.000 dinar. Kemudian beliau membagi-bagikan tanah tersebut untuk orang-orang faqir dari Bani Zuhrah, kaum Muhajirin, dan istri-istri Rasulullah –Shallallaahu ‘alaihi wa sallama-.” (Siyar A’lamin Nubala’: 1/86, al-Hafizh adz-Dzahabi).

Thalhah bin Abdirrahman bin Auf berkata:

كان أهل المدينة عيالا على عبد الرحمن بن عوف: ثلث يقرضهم ماله، وثلث يقضي دينهم، ويصل ثلثا

“Adalah penduduk Madinah menjadi tanggungan atas Abdurrahman bin Auf; sepertiga dari mereka diberi pinjaman oleh Abdurrahman dari hartanya, sepertiga dari mereka dibayarkan hutang mereka olehnya dan sepertiganya disambung olehnya.” (Siyar A’lamin Nubala’: 1/88, al-Hafizh adz-Dzahabi).

Al-Imam Az-Zuhri berkata:

أوصى عبد الرحمن بن عوف لكل من شهد بدرا بأربعمائة دينار فكانوا مائة رجل

“Abdurrahman bin Auf pernah berwasiat (untuk membagikan dari hartanya sepeninggalnya, pen) kepada setiap orang yang ikut perang Badar dengan 400 dinar. Mereka berjumlah 100 orang.” (Al-Ishabah fi Tamyizish Shahabah: 4/349).

Abdurrahman bin Samurah berkata (mengenai shahabat yang mulia Utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anhu):

جاء عثمان بن عفان رضي الله عنه إلى النبي صلى الله عليه وسلم في غزوة تبوك، وفي كمه ألف دينار، فصبها في حجر النبي صلى الله عليه وسلم ثم ولى قال عبد الرحمن: فرأيت النبي صلى الله عليه وسلم يقلبها بيده في حجره ويقول: « ما ضر عثمان ما فعل بعدها أبدا»

“(Ketika perang Tabuk) Utsman bin Affan radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallama. Di lengan bajunya terdapat uang 1.000 dinar. Kemudian ia menuangkannya di pangkuan Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallama dan berpaling (pulang).” Abdurrahman berkata: “Maka aku melihat Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa sallama menerima uang tersebut di pangkuan beliau dengan tangan beliau sendiri dan berkata: “Tidak akan berbahaya apa yang dilakukan oleh Utsman setelah ini.” (HR. Al-Ajurri dalam Asy-Syariah: 1371 (4/55) dan ini adalah redaksinya, At-Tirmidzi: 3634 dan ia berkata: “Hadits hasan gharib.” Di-shahih-kan oleh Al-Hakim dalam Mustadraknya: 4553 (3/110) dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).

Ibrahim At-Taimi berkata (mengenai shahabat yang mulia Thalhah bin Ubaidillah radhiyallaahu ‘anhu):

كان طلحة يغل بالعراق أربع مائة ألف، ويغل بالسراة عشرة آلاف دينار أو أقل أو أكثر، وبالاعراض له غلات وكان لا يدع أحدا من بني تيم عائلا إلا كفاه، وقضى دينه، ولقد كان يرسل إلى عائشة إذا جاءت غلته كل سنة بعشرة آلاف، ولقد قضى عن فلان التيمي ثلاثين ألفا

“Adalah Thalhah mendapatkan penghasilan di Iraq 400.000 (dinar), mendapatkan penghasilan di Sarah 10.000 dinar atau kurang atau lebih, di A’radl juga mendapatkan penghasilan. Dan beliau tidaklah meninggalkan orang miskin dari Bani Taim pun kecuali beliau telah mencukupinya dan membayarkan hutangnya. Dan beliau –ketika penghasilannya datang- mengirimkan setiap tahun 10.000 (dinar) untuk Ibunda Aisyah –radhiyallaahu ‘anha-. Dan beliau telah membayarkan hutang Fulan At-Taimi 30.000 (dinar).” (Siyar A’lamin Nubala’: 1/33, al-Hafizh adz-Dzahabi)

Dan lain-lain. Apakah orang-orang kaya di zaman ini yang begitu tinggi ambisinya terhadap dunia (sampai-sampai tidak lagi mempedulikan apakah itu halal maupun haram, red) meneladani para pendahulunya yang shalih semisal shahabat yang mulia Abdurrahman bin ‘Auf, Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin Ubaidillah dan lain-lain radhiyallaahu ‘anhum ini dalam merealisasikan rasa syukur terhadap karunia harta yang Allah titipkan kepadanya?. Wallaahu a’lam. Yang jelas, tidaklah mereka (i.e para shahabat) radhiyallaahu ‘anhum mengumpulkan harta/ kekayaan untuk kesenangan diri-sendiri, akan tetapi mereka kumpulkan semua itu untuk menyantuni para faqir miskin, berjihad di jalan Allah, menghidupi istri-istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dan menyambung tali silaturahim.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda:

إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ…الخ

“Dunia hanyalah untuk 4 kelompok orang; yaitu seorang hamba yang diberikan rejeki harta dan ilmu oleh Allah kemudian ia menggunakannya untuk bertaqwa kepada Rabbnya, menyambung sanak saudaranya dan ia mengetahui hak-hak Allah yang harus ditunaikan dari harta itu. Orang ini berada pada kedudukan yang paling tinggi; dan seorang hamba…..dst.” (Ahmad: 17339, At-Tirmidzi: 2247 dan di-shahih-kan olehnya dari Abu Kabsyah Al-Anmari t. Hadits ini di-shahih-kan oleh Al-Allamah Al-Albani dalam Shahihul Jami’: 3024).

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama juga pernah berkata kepada Amr bin Al-Ash radhiyallaahu ‘anhu:

يَا عَمْرُو نَعِمَّا بِالْمَالِ الصَّالِحِ لِلرَّجُلِ الصَّالِحِ

“Wahai Amr! Alangkah beruntungnya jika harta yang baik dipunyai oleh orang yang shalih.” (HR. Ahmad: 17134, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya: 22627 (7/18) dan di-shahih-kan oleh Al-Hakim dalam Mustadraknya: 2130 (2/3) dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Dan di-shahih-kan pula oleh Al-Allamah Al-Albani dalam Takhrij Al-Misykat: 3756 (2/355))

Sungguh beruntung harta-harta yang dimiliki para shahabat, karena pemegangnya adalah orang-orang yang shalih dan mulia. Di tangan mereka, harta-harta tersebut disalurkan sesuai dengan proporsinya dalam rangka ketaatan kepada Rabbnya di jalan yang lurus yang Dia ridhai. Mudah-mudahan kita bisa mengikuti jejak-jejak mereka dalam menggunakan harta dunia yang Allah titipkan (kepada kita) dengan baik dan menjauhi sikap kufur nikmat, takabur dan sombong yang disebabkan oleh harta tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Qorun. Ia berkata;

إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي

“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash: 78)

أي: إنما أدركت هذه الأموال بكسبي ومعرفتي بوجوه المكاسب، وحذقي، أو على علم من اللّه بحالي، يعلم أني أهل لذلك

“Maksudnya aku memperoleh harta kekayaan ini karena usahaku dan pengetahuanku tentang berbagai bentuk model usaha dan kepandaianku. Atau berdasarkan pengetahuan Allah tentang keadaanku. Dia telah mengetahui bahwa aku memang berhak untuk itu.” (Taisirul Karimirrahman vol 5, juz. 20)

Hingga akhirnya Allah Ta’ala membinasakannya sebagaimana firmanNya:

فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الأَرْضَ

“Maka Kami timbun Qorun beserta rumahnya ke dalam bumi...” (QS. Al-Qashash: 81)

جزاء من جنس عمله، فكما رفع نفسه على عباد اللّه، أنزله اللّه أسفل سافلين، هو وما اغتر به، من داره وأثاثه، ومتاعه

“Sebagai balasan setimpal atas perbuatannya. Oleh karena dia telah mengangkat dirinya (sombong) di atas hamba-hamba Allah, maka Allah menurunkannya pada derajat manusia yang paling rendah. Dia tenggelamkan bersama semua harta yang telah menjadikannya terpedaya, yaitu rumah, seluruh harta benda dan kekayaannya.” (Taisirul Karimirrahman vol 5, juz. 20)

Dan mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan kita para hambaNya yang bersabar dan bisa meraih pahala yang melimpah dari kesabaran tersebut. Dia berfirman;

وَلَايُلَقَّاهَاإِلَّاالصَّابِرُونَ

“..Dan tidaklah diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Qashash: 80)

الذين حبسوا أنفسهم على طاعة اللّه، وعن معصيته، وعلى أقداره المؤلمة، وصبروا على جواذب الدنيا وشهواتها، أن تشغلهم عن ربهم، وأن تحول بينهم وبين ما خلقوا له، فهؤلاء الذين يؤثرون ثواب اللّه على الدنيا الفانية

“Yaitu mereka yang menahan diri mereka semata-mata untuk ta’at kepada Allah, menahan diri mereka dari kedurhakaan terhadap Allah, dan menerima takdir-takdir Allah yang menyakitkan, mereka sabar atas gemerlap dunia dan kenikmatannya sehingga tidak memalingkan mereka dari Allah, dan tidak menjadi penghalang antara mereka dengan tujuan mereka diciptakan. Merekalah orang-orang yang mengutamakan pahala dari Allah atas dunia yang fana ini.” (Taisirul Karimirrahman vol 5, juz. 20). Wallaahu Ta’ala a’lamu.

___________

Maraji’:

1). http://sulaifi.wordpress.com/2011/10/14/menjadi-kaya-siapa-takut/

2). Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan vol. 5, juz. 20, tafsir QS. Al-Qashash

[Baca Selengkapnya...]


Memindahkan Hasil Olah Data Dari Excel ke PowerPoint Using VBA



Anda terbiasa mengolah data menggunakan Visual Basic Application (VBA) di Microsoft Excel? Atau, apakah anda sering membuat presentasi business menggunakan data-data hasil olahan Microsoft Excel (seperti Tabel & Grafik) yang (kemudian) anda pindahkan ke Microsoft PowerPoint (secara manual)?. Jika iya, maka ada trik VBA sederhana (dengan sedikit modifikasi dari penulis, red) dari seorang MVP (Microsoft Valuable Player) Excel asal India, Purna Duggirala yang mengupas mengenai cara memindahkan data-data presentasi dari Microsoft Excel ke Microsoft PowerPoint secara otomatis hanya dengan sekali “Click”. Berikut adalah langkah-langkahnya:




a). Build your charts in Excel (Silahkan anda buat chart beserta keterangannya di Excel). Contoh:



b). Open VBA. To do this, you can press ALT + F11 (silahkan anda buka VBA di Excel ada dengan menekan ALT + F11)

c). In your VBA Editor window, click Insert Module. (Setelah jendela VBA Editor terbuka, klik menu Insert Module)

d). Paste the following code into the module. (Copy dan paste syntax berikut pada Module1 yang sudah ada insert tersebut)

Sub CreatePowerPoint()

'Add a reference to the Microsoft PowerPoint Library by:

'1. Go to Tools in the VBA menu

'2. Click on Reference

'3. Scroll down to Microsoft PowerPoint X.0 Object Library, check the box, and press Okay

'First we declare the variables we will be using

Dim newPowerPoint As PowerPoint.Application

Dim activeSlide As PowerPoint.Slide

Dim cht As Excel.ChartObject

'Let's create a new PowerPoint

If newPowerPoint Is Nothing Then

Set newPowerPoint = New PowerPoint.Application

End If

'Make a presentation in PowerPoint

If newPowerPoint.Presentations.Count = 0 Then

newPowerPoint.Presentations.Add

End If

'Show the PowerPoint

newPowerPoint.Visible = True

'Loop through each chart in the Excel worksheet and paste them into the PowerPoint

For Each cht In ActiveSheet.ChartObjects

'Add a new slide where we will paste the chart

newPowerPoint.ActivePresentation.Slides.Add newPowerPoint.ActivePresentation.Slides.Count + 1, ppLayoutText

newPowerPoint.ActiveWindow.View.GotoSlide newPowerPoint.ActivePresentation.Slides.Count

Set activeSlide = newPowerPoint.ActivePresentation.Slides(newPowerPoint.ActivePresentation.Slides.Count)

'Copy the chart and paste it into the PowerPoint as a Metafile Picture

cht.Select

ActiveChart.ChartArea.Copy

activeSlide.Shapes.PasteSpecial(DataType:=ppPasteMetafilePicture).Select

'Set the title of the slide the same as the title of the chart

With activeSlide.Shapes(1).TextFrame.TextRange

.Text = cht.Chart.ChartTitle.Text

.Font.Size = 28

End With

'Adjust the positioning of the Chart on Powerpoint Slide

With newPowerPoint.ActiveWindow.Selection.ShapeRange

.Left = 45

.Top = 125

End With

With activeSlide.Shapes(2)

.Width = 200

.Left = 505

End With

'If the chart is the "US" consumption chart, then enter the appropriate comments

If InStr(activeSlide.Shapes(1).TextFrame.TextRange.Text, "CIANJUR") Then

activeSlide.Shapes(2).TextFrame.TextRange.Text = Range("J5").Value & vbNewLine

End If

'Now let's change the font size of the callouts box

activeSlide.Shapes(2).TextFrame.TextRange.Font.Size = 14

Next

AppActivate ("Microsoft PowerPoint")

Set activeSlide = Nothing

Set newPowerPoint = Nothing

End Sub

e). Click Tools References. Add the Microsoft PowerPoint Library. (Masih pada jendela VBA Editor, klik menu Tools References. Tambahkan “Microsoft PowerPoint 12.0 Library”.)



f). Now all you need to do is go to Excel and run the CreatePowerPoint macro! To make this easy, draw a rectangle shape in your Excel worksheet which contains all the charts you want to export to PowerPoint. (Sekarang, yang perlu anda lakukan adalah kembali ke jendela Excel dan menjalankan “CreatePowerPoint Macro”. Biar lebih mudah, anda bisa membuat “rectangle shape” atau kalau tidak, anda juga bisa menggunakan ActiveXControl [Command Button] di worksheet yang terdapat grafik yang ingin anda pindahkan/copy ke PowerPoint).


g). Right click the rectangle/ Command Button and click Assign Macro (if you use rectangle and Click on the CreatePowerPoint macro and press Okay) or view Code if you use Command Button then paste this code:

Private Sub Export_Click()

Run "CreatePowerPoint"

End Sub


h). That’s it! Just click your rectangle/ Command button then sit back and watch it run! You’ll have your presentation in no time!

Mudah-mudahan bermanfaat.


[Baca Selengkapnya...]


Merenungkan Bilamana Nikmat Allah Itu Tiada



Belasan tahun yang lalu, ada seorang anak yang begitu gigih memohon dan memelas di hadapan Ibunya, berharap agar ia dibelikan sesuatu. Sang Ibu berkata sembari menyelesaikan pekerjaannya (secara makna), “Nah coba engkau perhatikan orang tua itu nak, ia berjalan jauh membawa kursi (bambu) di pundaknya, hampir setiap minggu ia berlalu lalang di jalan itu, meneriakkan dan menawarkan sesuatu agar orang lain mendengar dan tertarik untuk membelinya (i.e kursi tersebut). Tidakkah engkau bayangkan betapa berat perjuangan hidupnya. Sekarang coba engkau renungkan, bagaimana jika engkau ada di posisinya, atau di posisi anaknya?. Kemudian engkau bandingkan dengan apa yang sudah engkau miliki saat ini. Jangan lupa bayangkan bagaimana jika semua itu hilang darimu. Jika engkau berada di posisi mereka, belum tentu engkau bisa menikmati apa yang engkau nikmati hari ini.”


Sederhana, tapi cukup dalam pesannya. Beliau mencoba bersikap bijak dengan tidak menolak maupun mengiyakan permintaan anaknya. Beliau lantas mengajaknya berpikir kemudian merenungkan keberadaan nikmat-nikmat yang ada padanya dan memintanya membayangkan ketidakberadaannya. Suatu nikmat seringkali baru terasa (besar manfaatnya) setelah nikmat tersebut hilang atau Allah cabut dari diri seorang hamba. Merenungkan ketidakberadaannya akan membantu seorang hamba untuk mensyukuri nikmat-nikmat tersebut.


Saya kembali teringat ucapan seorang Ibu kepada anaknya tersebut tatkala membaca tafsir QS. Al-Qashash: 71-73 berikut, Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman:


قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ جَعَلَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ اللَّيْلَ سَرْمَدًا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَنْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ يَأْتِيكُمْ بِضِيَاءٍ أَفَلا تَسْمَعُونَ (71) قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ جَعَلَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ النَّهَارَ سَرْمَدًا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَنْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ يَأْتِيكُمْ بِلَيْلٍ تَسْكُنُونَ فِيهِ أَفَلا تُبْصِرُونَ (72) وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (73


“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus menerus sampai Hari Kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kamu tidak mendengar?’ Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai Hari Kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?’ Dan karena rahmatNya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebagian dari karuniaNya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepadaNya.” (QS. Al-Qashash: 71-73)


Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di –rahemahullaahu- menjelaskan:

هذا امتنان من اللّه على عباده، يدعوهم به إلى شكره، والقيام بعبوديته وحقه، أنه جعل لهم من رحمته النهار ليبتغوا من فضل اللّه، وينتشروا لطلب أرزاقهم ومعايشهم في ضيائه، والليل ليهدأوا فيه ويسكنوا، وتستريح أبدانهم وأنفسهم من تعب التصرف في النهار، فهذا من فضله ورحمته بعباده، فهل أحد يقدر على شيء من ذلك؟


“Ini adalah karunia dari Allah –Subhaanahu wa Ta’ala- terhadap hamba-hambaNya. Dia mengajak mereka bersyukur (berterima kasih) kepadaNya, melaksanakan pengabdian kepadaNya dan menunaikan hakNya, karena Dia telah menjadikan untuk mereka sebagian dari rahmat (kasih sayang)Nya berupa siang, agar mereka dapat mencari karunia Allah dan bertebaran untuk mencari rizki dan penghidupan di bawah cahayaNya, dan berupa malam agar mereka merasakan ketenangan dan kedamaian, agar jasad dan jiwa mereka beristirahat dari kelelahan beraktifitas di siang hari. Ini semua bagian dari karunia dan rahmatNya kepada hamba-hambaNya (manusia). Apakah ada seseorang yang mampu melakukan hal itu (yaitu melakukan apa yang diperbuat oleh Allah, red)?”


Tapi kita (khususnya penulis, red) seringkali lupa terhadap nikmat-nikmat tersebut. Katakanlah saat kondisi tubuh kita sehat, sudah berapa banyak amal shalih yang kita tinggalkan, terlena oleh kesenangan dunia yang fana. Bahkan nikmat sehat itu sendiri pun luput dari rasa syukur. Belum lagi nikmat waktu luang yang begitu tinggi harganya. Namun ketika satu-persatu penyakit mulai datang (menyerang) hingga tubuh yang dulunya kokoh tidak lagi bisa digerakkan, mulut yang dulunya lantang tidak lagi bisa mengucapkan sesuatu, mata yang dulunya tajam tidak lagi bisa melihat, telinga yang sebelumnya normal tidak lagi bisa mendengar dll, baru kita tersadar bahwa (ternyata) sehat itu sangat berharga, sehat itu mahal, dan sehat itu nikmat!. Kita juga baru tersadar bahwa amal shalih itu (ternyata) penting melebihi segala-galanya, melebihi apa yang kita kejar-kejar hari ini dari perkara dunia. Di saat sakit, ibadah seseorang tidak lagi bisa leluasa dan seoptimal ketika waktu sehatnya. Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.


Penjelasan asy-Syaikh –raheemahullaahu- selanjutnya sangat “in line” dengan nasihat Ibu di atas. Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- melanjutkan:


وفي هذه الآيات، تنبيه إلى أن العبد ينبغي له أن يتدبر نعم اللّه عليه، ويستبصر فيها، ويقيسها بحال عدمها، فإنه إذا وازن بين حالة وجودها، وبين حالة عدمها، تنبه عقله لموضع المنة، بخلاف من جرى مع العوائد، ورأى أن هذا أمر لم يزل مستمرا، ولا يزال. وعمي قلبه عن الثناء على اللّه، بنعمه، ورؤية افتقاره إليها في كل وقت، فإن هذا لا يحدث له فكرة شكر ولا ذكر


“Di dalam ayat-ayat di atas terkandung peringatan bahwa seorang hamba hendaklah merenungkan karunia dan nikmat-nikmat Allah kepadanya dan berupaya mengenalnya dan menganalogikannya dengan kondisi ketidakberadaannya. Sebab apabila ia membandingkan antara kondisi keberadaan nikmat tersebut dengan kondisi ketiadaannya, maka akalnya akan menyadari letak kebaikan Allah. Berbeda halnya dengan orang yang sudah terbiasa dengan berbagai kebiasaan, dan dia melihat bahwa yang menjadi kebiasaan ini adalah perkara yang akan terus berlanjut, sedangkan mata hatinya buta, tidak bisa memuji Allah atas nikmatNya dan tidak bisa merasakan betapa sangat butuhnya dia kepada nikmat-nikmat tersebut setiap saat, maka hal seperti itu tidak akan menimbulkan pikiran (kesadaran) untuk bersyukur dan tidak pula mengingat (Allah Subhaanahu wa Ta’ala).”


Ketika seseorang berjalan di jalanan yang penuh dengan onak dan duri, ia akan selalu memandang ke bawah agar tidak terperangkap/ terjebak olehnya. Begitu pula dengan sebuah kenikmatan (kecil atau besar), seorang hamba sangat perlu melihat/ memandang ke bawah kepada hamba-hamba Allah Ta’ala lainnya yang tidak mendapatkan kenikmatan tersebut agar ia bersyukur dan tidak meremehkan nikmat-nikmat (yang datang kepadanya), dan perlunya merenungkan kembali bagaimana kiranya jika kenikmatan tersebut hilang darinya untuk selama-lamanya. Berdasarkan penjelasan asy-Syaikh –raheemahullaahu-, sikap seperti itu bisa membangun rasa syukur seorang hamba kepada Rabbnya Azza wa Jalla. Wallaahu Ta’ala a’lamu.


__________

Maraji’: Taiseer al-Kareem ar-Rahman fii Tafsir Kalam al-Mannan vol 5, juz. 20

[Baca Selengkapnya...]


 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula